Konsistensi Prof Maria Sumardjono Terkait Kebijakan Agraria
Perempuan dan Pendidikan Hukum

Konsistensi Prof Maria Sumardjono Terkait Kebijakan Agraria

Dibutuhkan keteguhan hati dan keberanian sikap (pembentuk UU/kebijakan) untuk mengakui, menghormati, dan melindungi tanah hak serta pemegang haknya yang dijamin UUD Tahun 1945 dan UU PA.

Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Guru Besar Hukum Agraria Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Maria Sriwulani Sumardjono saat acara diskusi di Jakarta. Foto: Istimewa
Guru Besar Hukum Agraria Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Maria Sriwulani Sumardjono saat acara diskusi di Jakarta. Foto: Istimewa

Meski telah pensiun 11 tahun silam, Guru Besar Hukum Agraria Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Maria Sriwulani Sumardjono, S.H., MCL, MPA masih terlihat sangat sehat. Di usianya menginjak 76 tahun lebih, pikiran dan ingatannya masih tajam, mampu menyikapi permasalahan isu aktual, khususnya masalah kebijakan pertanahan (agraria). Wanita yang dikenal sebagai pakar hukum agraria ini, kerap mengkritisi kebijakan/regulasi bidang agraria hingga kini.   

 

Wanita kelahiran Yogyakarta 23 April 1943 ini, ternyata satu dari sekian elemen masyarakat yang pernah menolak keberadaan RUU Pertanahan dan RUU terkait. Belum lama ini, dalam sebuah diskusi, Prof Maria Sumardjono bersama Guru Besar Agraria Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Endriatmo Soetarto, Komnas HAM, YLBHI, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), kompak menolak substansi RUU Pertanahan yang dianggap mengesampingkan keadilan masyarakat dalam kepemilikan tanah karena lebih menguntungkan pemilik modal besar.            

 

Dalam kesempatan itu, Prof Maria Sumardjono menilai RUU Pertanahan tidak berpihak pada masyarakat lemah dan terpinggirkan seperti petani, perempuan, dan masyarakat hukum adat. Sebaliknya, RUU Pertanahan berpihak terhadap mereka yang kuat posisi tawarnya dari segi ekonomi (pemilik modal besar/korporasi, red).

 

"Bagi pihak yang kuat posisi tawarnya dapat memperoleh perpanjangan hak untuk kedua kalinya dengan pertimbangan ekonomi, modal, dan akses politik yang sangat sulit dijangkau masyarakat awam," kata Prof Maria di Kantor Komnas HAM Jakarta, Jumat (6/9/2019) lalu. Baca Juga: Beragam Alasan Agar Pengesahan RUU Pertanahan Ditunda

 

Dalam RUU Pertanahan, kata Prof Maria, pihak yang kuat posisi tawar bisa menguasai batas maksimum tanah/lahan dengan perpanjangan tanpa perincian jelas asalkan bisa bayar pajak yang ditentukan. Berbeda dengan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UU PA) yang menyebutkan apabila pemilik tanah melanggar batas maksimum, wajib melepaskan hak atas tanahnya. Substansi RUU Pertanahan ini tidak menganggap penting reforma agraria. Pengaturannya hanya menyalin Perpres No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria tanpa memasukkan pasal-pasal reforma agraria dalam RUU Pertanahan.

 

Ia berpendapat RUU Pertahanan belum bisa menjadi landasan untuk mencapai cita-cita keadilan agraria sesuai tujuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Nawacita. RUU Pertanahan ini diharapkan memuat prinsip-prinsip reforma agraria itu apa, subjek prioritas pemanfaatan itu untuk siapa, objek reforma agraria itu untuk apa, dan bagaimana memecahkan konflik lahan? 

 

“Seharusnya RUU Pertanahan menerjemahkan cita-cita keadilan agraria sesuai tujuan Nawacita yakni kepastian hukum kepemilikan tanah, cegah krisis ekologi, atasi konflik, mengurangi kemiskinan, dan turunkan ketimpangan ekonomi,” ujar Alumnus Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang (1966) ini.

 

RUU Pertanahan dinilainya menafikan UU sektoral dan tidak sejalan dengan UU PA dan Pasal 33 ayat (3) UUD Tahun 1945 (mereduksi filosofi agraria). RUU Pertanahan pun melanggar amanat Tap MPR Nomor IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA).   

 

Prof Maria menilai sudah 18 tahun Tap MPR No.IX Tahun 2001 berlaku, tapi sampai sekarang pemerintah dan DPR belum melaksanakan. Padahal, Pasal 6 Tap MPR No.IX Tahun 2001 ini secara tegas menugaskan DPR dan Presiden menindaklanjuti pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan SDA serta mencabut, mengubah dan/atau mengganti semua UU dan peraturan pelaksanaan yang tidak sejalan dengan ketetapan ini.

 

“Tap MPR ini seharusnya menjadi acuan DPR dan pemerintah dalam menyusun peraturan terkait SDA, dan agraria agar berkelanjutan dan berkepastian hukum,” ujar penulis buku berjudul Kebijakan Pertanahan: antara Regulasi dan Implementasi. (Jakarta: Kompas, 2001) dan Tanah dalam Perpektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya. (Jakarta: Kompas, 2008) ini.  

 

Masih dalam ingatan, RUU Pertanahan dan RUU terkait ditunda pengesahannya dalam rapat paripurna DPR pada 24 September 2019 lalu. RUU yang dimaksud yakni RKUHP, RUU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, RUU Pertanahan, dan RUU Pertambangan Mineral dan Batubara (RUU Minerba). Empat RUU itu dinilai bermasalah dan menuai polemik di masyarakat. Keempat RUU ini bakal disempurnakan dan dibahas kembali oleh DPR dan pemerintahan periode 2019-2024 ini.Baca Juga: Akhirnya DPR Tunda Pengesahan Empat RUU Ini

 

Konsisten 

Jika ditelisik lebih jauh sikap Prof Maria itu konsisten dengan pemikirannya saat pidato pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum Agraria pada Fakultas Hukum UGM di hadapan Senat Terbuka pada 14 Februari 1998 silam. Sejak awal, Maria memang dikenal sebagai ilmuwan (pakar) yang fokus pada bidangnya. Pernah memegang jabatan penting di Kementerian Agraria/BPN, kerap terlibat dalam penyusunan RUU yang berhubungan dengan pertanahan, hingga menulis sejumlah buku.          

 

Dalam pidatonya berjudul “Kewenangan Negara untuk Mengatur dalam Konsep Penguasaan Tanah oleh Negara" ini, Maria mencoba meluruskan pemahaman atau mengingatkan makna “hak menguasai negara” dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 Tahun 1945 dalam konteks kebijakan negara di bidang pertanahan/agraria.

 

Dalam orasi ilmiah itu, Prof Maria Sumardjono berpandangan falsafah negara mengenai perumusan kebijakan pertanahan diletakkan pada Pasal 2 UU PA sebagai penjabaran Pasal 33 ayat (3) UUD Tahun 1945. Kewenangan negara mengatur itu diperoleh atau bersumber dari penguasaan negara terhadap bumi (termasuk tanah), air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.           

 

“Hak menguasai tanah oleh negara bukan dalam arti memiliki (hubungan kepemilikan tanah), bukan tak terbatas, tetapi dibatasi konstitusi (UUD Tahun 1945) dan dibatasi Pasal 2 UU PA. Isi pidato ini masih relevan untuk kondisi kebijakan agraria saat ini, seperti RUU Pertanahan, RUU Minerba yang belum memberi rasa keadilan bagi masyarakat,” ujar Maria kepada Hukumonline di sela-sela usai acara diskusi yang diselenggarakan AMAN, Senin (9/12/2019) di Jakarta.  

 

Konsep “menguasai negara” itu diperoleh dari mandat rakyat dimana negara hanya berwenang mengatur pemanfaaatan tanah, menentukan hubungan dan perbuatan hukum berkaitan dengan tanah termasuk mengawasinya. Kata lain, negara hanya petugas melaksanakan hak masyarakat, mengatur, mengelola, mengawasi, menentukan sumber daya alam (SDA), bumi, air, termasuk tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

 

“Sejatinya negara hanya penerima mandat dari rakyat yang bersatu sebagai bangsa. Negara juga harus mempertanggungjawabkan pengelolaan SDA itu kepada pemberi mandat, dalam hal ini masyarakat,” ujar mantan Dekan Fakultas Hukum UGM dua periode (1991-1997) ini.      

 

Sebagai sumber daya alam yang langka, tanah mempunyai nilai ekonomis, magis religius, dan fungsi sosial. Namun, penekanan berlebihan terhadap nilai ekonomis tanah, bisa berdampak tidak terkendalinya harga tanah dan menumpuknya tanah pada sebagian kecil masyarakat (yang memiliki modal besar) untuk tujuan investasi atau spekulasi. Kenyataan ini berakibat semakin sulitnya akses kebutuhan tanah bagi sebagian besar masyarakat.            

 

“Kelangkaan tanah dapat menimbulkan konflik atau persaingan memperolehnya antara pihak yang kuat dan lemah secara ekonomi,” kata dia dalam pidatonya.     

 

Dia mengingatkan perumusan kebijakan hukum pertanahan ini harus memberi nilai keadilan, kepastian, dan kemanfaatan sebagai tujuan dari hukum. “MK kan sudah membuat kriteria/paramater nilai ‘kemanfaatan’ yakni manfaatnya apa, seberapa besar pemerataan manfaatnya itu, bagaimana partisipasi rakyat memutuskan kebijakan yang bermanfaat itu, dan menghormati hak-hak rakyat yang sudah ada (yang dijamin konstitusi, red),” ujar wanita yang pernah menjabat Penasihat Ahli Menteri Negara Agraria/Kepala BPN (1995–2000) dan Wakil Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (2002–2005) ini.   

 

Jika dicermati pandangan Prof Maria mengenai “hak menguasai negara” ini selaras dan pernah diadopsi dalam beberapa putusan MK yang memberi tafsir “hak menguasai negara” dalam Pasal 33 ayat (3) UUD Tahun 1945. Seperti termuat dalam putusan MK No. 001-021-022/PUU-I/2003 tentang pengujian UU No.20 Tahun 2003 tentang Ketenagalistrikan; Putusan MK No. 002/PUU-I/2003 tentang UU No.22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi; dan Putusan MK No. 058-059-060-063/PUU-II/2004 tentang UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air; dan Putusan MK setelahnya.

 

Dalam beberapa putusan itu, MK berketetapan, yang dimaksud dengan hak menguasai negara mencakup lima pengertian. Negara merumuskan kebijakan (beleid), melakukan pengaturan (regelen daad), melakukan pengurusan (bestuurdaad), melakukan pengelolaan (beheer daad) dan melakukan pengawasan (toezicht houden daad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 

 

Pemerintahan saat ini, kata dia, tengah gencar-gencarnya berupaya meningkatkan investasi dengan memberi beragam kemudahan (insentif). Namun, Maria mempertanyakan apakah beragam kemudahan bagi calon investor itu diimbangi dengan pemberian keadilan bagi masyarakat? Keadilan yang dimaksud merujuk pada Pasal 33 ayat (3) yang dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 2 ayat (3), Pasal 6 UU PA yang menitikberatkan pada fungsi sosial dan keadilan sosial dimana hak dan kewajiban warga negara dan negara diatur secara proporsional.  

 

Maria mengutip pandangan Frans Magnis Suseno dalam pidatonya, “Negara tidak boleh sekedar netral terhadap semua golongan, melainkan harus berpihak pada mereka yang paling lemah dan membutuhkan bantuan. Berpihak, dalam arti negara mengambil tindakan-tindakan khusus untuk menjamin kesejahteraan dasar bagi mereka. Ketentuan ini bukan hanya tuntutan kesetiakawanan seluruh masyarakat, melainkan tuntutan keadilan.” (Magnis-Suseno, 1994).     

 

“Derasnya arus investasi akan memacu peningkatan konflik berbagai pihak (perseorangan, masyarakat hukum adat, swasta/investor, pemerintah) yang memiliki posisi tawar yang berbeda karena perbedaan akses modal dan akses politik,” tutur Maria dalam pidatonya.

 

Lalu bagaimana hukum (kebijakan agraria) dapat mencegah konflik itu? Menurut Maria dibutuhkan keteguhan hati dan keberanian sikap (pembentuk UU/kebijakan, red) untuk mengakui, menghormati, dan melindungi tanah hak serta pemegang haknya yang dijamin UUD Tahun 1945 dan UU PA. Negara yang berwenang merumuskan peraturan perundang-undangan bidang pertanahan harus netral sekaligus berpihak pada yang lemah (secara ekonomi, red).

 

“Negara wajib mengawasi pelaksanaan peraturan itu. Jika terjadi konflik (sengketa pertanahan, red), negara harus menjadi wasit yang adil. Ketika negara menjadi pelaku, ia harus tunduk pada peraturan yang dibuatnya sendiri.”

Tags:

Berita Terkait