Konsensus ASEAN Harus Jadi Rujukan Hukum Nasional
Berita

Konsensus ASEAN Harus Jadi Rujukan Hukum Nasional

Karena sebagian besar negara anggota ASEAN belum memiliki hukum nasional yang berperspektif HAM terkait perlindungan buruh migran.

Ady TD Achmad
Bacaan 2 Menit
Konsensus perlindungan buruh migran di ASEAN. Foto: www.aseansec.org
Konsensus perlindungan buruh migran di ASEAN. Foto: www.aseansec.org

Buruh migran yang bekerja di negara anggota ASEAN bisa sedikit bernapas lega setelah ada konsensus perlindungan buruh migran yang ditandatangani 10 pemimpin negara ASEAN beberapa waktu lalu. Konsensus itu memuat ketentuan yang mengakui dan menjamin hak-hak dan perlindungan buruh migrant beserta keluarganya. Seperti misalnya, buruh migran berhak memegang dokumen pribadi seperti paspor dan kontrak kerja. Secara terbatas, negara tujuan juga harus melindungi buruh migran baik yang berdokumen ataupun tidak.

 

Program Manajer Advokasi HAM ASEAN HRWG, Daniel Awigra menerangkan konsensus itu secara normatif menunjukan ada peningkatan di ASEAN dalam tata kelola buruh migran. Namun, aturan itu seolah dipenggal oleh banyak pasal dalam konsensus yang mengarahkan pelaksanaannya disesuaikan dengan hukum nasional yang berlaku di negara tujuan. Sayangnya, tidak semua negara anggota ASEAN memiliki regulasi yang punya perspektif HAM dalam melindungi buruh migran.

 

Pria yang disapa Awi itu mencatat dari 10 negara anggota ASEAN, hanya 2 negara yang punya hukum nasional yang cukup kuat untuk melindungi buruh migran yakni Indonesia dan Filipina. Kedua negara itu setidaknya telah meratifikasi konvensi PBB tentang Perlindungan Hak-Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya. Indonesia sendiri telah meratifikasi konvensi itu melalui UU No.6 Tahun 2012.

 

Akibatnya, perlindungan terhadap buruh migran berpotensi tidak jauh beda seperti yang selama ini berjalan. Misalnya, pemerintah Malaysia seolah tutup mata terhadap terhadap buruh migran yang tidak berdokumen. Padahal buruh migran yang tidak berdokumen posisinya sangat rentan dan dianggap tidak punya hak sama sekali. Faktanya, keberadaan buruh migran tidak berdokumen itu kerap dimanfaatkan dengan upah yang dibayar murah dan (padahal) tenaga mereka dibutuhkan.

 

Karena itu, Awi mendesak pembahasan rencana aksi regional konsensus ASEAN yang akan digelar ke depan harus melibatkan buruh migran. Hal ini penting agar amanat yang tertuang dalam konsensus tersebut dapat dijalankan dan berpihak terhadap perlindungan buruh migran. Sebab, selama ini buruh migran tidak dilibatkan dalam membahas konsensus ASEAN sehingga hasilnya tidak sesuai harapan.

 

Awi berharap rencana aksi itu menjadi acuan bagi negara anggota ASEAN dalam tata kelola (perlindungan) buruh migran. Konsensus ASEAN harus mampu mempengaruhi hukum nasional di setiap negara anggota ASEAN dalam melindungi buruh migrannya masing-masing. “Konsensus itu harus dipandang sebagai hukum regional yang menjadi rujukan dalam hukum nasional,” katanya di Jakarta, Sabtu (25/11). Baca Juga: ASEAN Sepakati Konsensus Perlindungan Buruh Migran

 

Kelemahan lain, menurut Awi, konsensus ASEAN ini tidak ada mekanisme evaluasi berkala terhadap pelaksanaannya. Menurutnya, rencana aksi regional perlu memuat aturan mengenai mekanisme evaluasi tersebut. Mekanisme itu penting untuk menilai bagaimana implementasi konsensus dan apa yang harus dibenahi ke depan.

 

Sebelumnya, pengacara publik LBH Jakarta, Eni Rofiatul, meragukan mekanisme penyelesaian sengketa sebagaimana diatur dalam konsensus karena aturannya mengacu pada hukum nasional di negara tujuan. Ironisnya, sebagian negara anggota ASEAN khususnya negara tujuan, tidak punya aturan hukum yang punya perspektif HAM dalam melindungi buruh migrannya. Misalnya, Malaysia, negara itu tidak punya mekanisme penyelesaian sengketa yang menyangkut segala persoalan buruh migran.

 

Eni mengingatkan penyelesaian sengketa antar negara anggota ASEAN diatur dalam Piagam ASEAN. Piagam itu memuat prosedur bagaimana sebuah keluhan dapat diajukan dalam konsultasi. Kemudian, ada batas waktu bagi pihak terkait untuk merespon keluhan itu. Ironisnya, mekanisme tersebut tidak berjalan sesuai aturan karena pihak terkait tidak memberi persetujuan untuk merespon, sehingga penyelesaian sengketa dibawa ke proses mediasi, rekonsiliasi, dan arbitrase.

 

“Perlu diketahui di ASEAN saat ini tidak ada mekanisme tribunal, maka mustahil bagi kasus pekerja migran untuk dapat diselesaikan melalui mekanisme pengadilan regional,” urainya sebagaimana dalam keterangan pers yang diterima di Jakarta, Selasa (21/11) kemarin.

 

Menurut Eni, rencana aksi regional sebagaimana mandat konsensus harus mendorong perbaikan hukum nasional di setiap negara anggota ASEAN agar semakin menghargai, memajukan, dan melindungi hak-hak buruh migran. Rencana aksi itu harus memiliki kekuatan dan terdesiminasi dengan baik melalui kerja sama lintas sektoral di badan-badan dan pemerintah negara-negara ASEAN.

Tags:

Berita Terkait