Konsekuensi Hukum Bila PK Ahok Dikabulkan
Berita

Konsekuensi Hukum Bila PK Ahok Dikabulkan

Perkara ini menjadi ujian kredibilitas majelis hakim agung.

Aji Prasetyo/Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok saat menjalani persidangan di PN Jakarta Utara. Foto: RES
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok saat menjalani persidangan di PN Jakarta Utara. Foto: RES

Permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang dilakukan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok masih berproses di Mahkamah Agung. Saat sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, kuasa hukum Ahok menyatakan alasan utama mengajukan PK berdasarkan putusan Buni Yani.

 

Sejumlah pakar hukum pidana mempertanyakan alasan ini. Sebab, ada perbedaan yang cukup mencolok antara kasus Ahok dan Buni Yani. Salah satunya mengenai dugaan tindak pidana yang berbeda yang berujung pada aturan hukum yang didakwakan kepada masing-masing pihak.

 

"Kasus Buni Yani tidak ada korelasi dengan kasusnya Ahok, karena kasus Ahok bukan karena Buni Yani, yang di Pulau Seribu yang di-upload Humas Pemprov DKI. Itu artinya putusan Ahok diputus atas upload-an Pemprov DKI, dan itu ada disitu, ini tidak ada hubungannya dengan Buni Yani," kata Muzakir, pakar hukum pidana UII Yogyakarta kepada Hukumonline. Baca Juga: Alasan Ini Jadi Dasar Ahok Ajukan PK

 

Muzakir berpendapat yang menjadi masalah utama kasus Ahok adalah pernyataannya yang dianggap menistakan agama karena membawa ayat dari kitab suci Al-Quran. Sejumlah pihak merasa keberatan dan melaporkannya kepada aparat penegak hukum.

 

Seperti diketahui, Ahok divonis 2 tahun penjara karena terbukti melakukan tindak pidana dalam Pasal 156a KUHP, yakni secara sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama terkait pernyataan soal Surat Al-Maidah 51 saat berkunjung ke Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, September 2016 lalu.

 

Sedangkan Buni Yani dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana terkait Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Ia terbukti secara sah dan meyakinkan melawan hukum dengan mengunggah video di akun Facebook tanpa izin Diskominfomas Pemprov DKI Jakarta.

 

Unggahan itu berupa potongan video pidato Ahok pada 27 September 2016, yang diunggah di akun Youtube Pemprov DKI Jakarta. Selain itu, hakim menilai Buni Yani terbukti mengubah durasi video. Video asli berdurasi 1 jam 48 menit 33 detik, sedangkan video yang diunggah Buni di akun Facebook hanya 30 detik.

 

"Jadi kalau pakai putusan Buni Yani, tiba-tiba jadi novum (bukti baru) menurut saya tidak relevan. Kalau dipertimbangkan dalam putusan itupun tidak akan pengaruhi putusan (sebelumnya)," tutur Muzakir.

 

Kemudian hal lain, sulitnya putusan Buni Yani dijadikan alasan mengajukan PK yaitu karena kasusnya sendiri belum berkekuatan hukum tetap atau inkracht. Sehingga, menurut Muzakir putusan itu belum bisa menjadi dasar hukum atau sumber hukum baru.

 

Lalu, bagaimana jika PK itu sendiri dikabulkan? "Seandainya dikabulkan berdasarkan putusan Buni Yani itu, sudahlah tidak ada Mahkamah Agung (MA) tidak apa. Karena tugas MA sebagai judex jurist, harus mengkaji penerapan hukum berdasarkan ilmu hukum pidana," jelasnya.

 

Muzakir menerangkan dalam hukum pidana itu pengajuan PK harus berdasarkan bukti yang relevan dan jika dipertimbangkan bisa mengubah substansi pokok perkara. Sedangkan kasus Buni Yani dan Ahok mempunyai dasar hukum berbeda yaitu UU ITE dan pasal penistaan agama dalam KUHP.

 

Bisakah tuntut ganti rugi?

Hal senada disampaikan pakar hukum pidana Universitas Indonesia Akhiar Salmi. Ia juga berpendapat sulit menggunakan putusan Buni Yani untuk mengajukan PK atas vonis penistaan agama yang dilakukan mantan Bupati Belitung Timur tersebut.

 

"Kalau saya sih enggak tahu dimana kaitannya itu dijadikan alasan PK, karena apa ada dua hal yang berbeda, peristiwa pidato Ahok di Pulau Seribu, kena Pasal 156a KUHP, termasuk penistaan. Itu satu fakta. Ada lagi fakta Buni Yani upload yang menurut informasi diedit (videonya ditambahkan caption)," ujar Akhiar.   

 

Akhiar pun mempertanyakan bagaimana dua aturan hukum yang berbeda bisa dijadikan dasar dalam mengajukan PK. Meski begitu, ia menyerahkan semua keputusan kepada majelis hakim agung yang akan mengadili perkara ini. Apalagi, menurut Akhiar juga tidak mengetahui secara rinci apa isi memori PK dan argumentasi para penasihat hukum Ahok.

 

Alasan kedua pun sama, kasus Buni Yani sendiri belum inkracht, sehingga menurutnya tidak bisa menjadi dasar hukum pengajuan PK. Namun bisa saja ada potensi dalam proses PK, majelis hakim tidak sependapat dengan putusan majelis hakim sebelumnya. "Tapi enggak tahu hakim punya pandangan berbeda, menurut saya kasus yang belum inkracht tidak bisa dijadikan alasan PK itu," lanjutnya.

 

Lalu, bagaimana jika majelis hakim PK mengabulkan Ahok, sementara Ahok sudah menjalani hukuman lebih dari 10 bulan, apakah Ahok bisa menuntut ganti rugi? "Paling nanti diajukan terpisah kalau sekiranya dinyatakan tidak bersalah. Kalau diterima itu bisa dinyatakan membebaskan dia, dinyatakan membebaskan dari hukuman, kalau terbukti tidak bersalah kan bisa punya hak rehabilitasi dan ganti rugi," kata Akhiar.

 

Hak rehabilitasi dan ganti rugi bagi seseorang yang tidak terbukti melakukan tindak pidana diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Seperti Pasal 1 angka 22 KUHAP, Pasal 1 angka 10 KUHAP mengenai praperadilan, Pasal 95 dan 96 KUHAP serta Pasal 97 KUHAP khusus soal rehabilitasi.

 

Hak Ganti Rugi

Hak Rehabilitasi

Pasal 1 angka 22 KUHAP

Ganti kerugian adalah hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam KUHAP.

Pasal 1 angka 10 KUHAP huruf c :

Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

Pasal 95 KUHAP

(1) Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan;

(2) Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri, diputus di sidang praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77;

(3) Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya kepada pengadilan yang berwenang mengadili perkara yang bersangkutan;

(4) Untuk memeriksa dan memutus perkara tuntutan ganti kerugian tersebut pada ayat (1) ketua pengadilan sejauh mungkin menunjuk hakim yang sama yang telah mengadili perkara pidana yang bersangkutan;

(5) Pemeriksaan terhadap ganti kerugian sebagaimana tersebut pada ayat (4) mengikuti acara praperadilan.

Pasal 96 KUHAP

(1) Putusan pemberian ganti kerugian berbentuk penetapan;

(2) Penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat dengan lengkap semua hal yang dipertimbangkan sebagai alasan bagi putusan tersebut.

Pasal 97 KUHAP

(1) Seorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap

(2) Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1);

(3) Permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri diputus oleh hakim praperadilan yang dimaksud dalam Pasal 77.

 

Akhiar Salmi menceritakan awal mula ganti rugi ini populer sejak munculnya kasus Sengkon dan Karta di Bekasi pada sekitar tahun 1974. Keduanya dijatuhi hukuman masing-masing selama 7 dan 12 tahun karena membunuh. Dan selama mereka dipenjara ada seseorang bernama Gunel yang mengaku melakukan pembunuhan itu.

 

Albert Hasibuan seorang advokat merasa iba dengan nasib keduanya dan berbekal pengakuan Gunel memohon kepada MA untuk membuka kembali kasus tersebut. Omar Seno Adji, Ketua MA kala itu mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 1980 mengenai upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali (PK).

 

"Nah ada ganti rugi disitu," ujar Akhiar. Namun permohonan ganti rugi sebesar Rp100 juta yang diajukan ditolak Mahkamah Agung.

 

Senada, Peneliti senior Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) Arsil menilai apabila permohonan PK Ahok dikabulkan bisa saja yang bersangkutan mengajukan gugatan ganti rugi sesuai Pasal 95 KUHAP. “Tetapi, setahu saya belum pernah ada yang diputus bebas karena PK dikabulkan, lalu minta ganti rugi,” kata Arsil.

 

Menurut dia, Pasal 95 KUHAP itu tidak hanya mengatur kesalahan prosedur penangkapan atau penahanan, tetapi juga termasuk kesalahan penerapan hukum atau kesalahan orang. “Hanya saja, hukum acara ganti kerugian dalam pasal itu nggak terlalu clear. Sebab, di Pasal 95 KUHAP, hukum acara serupa dengan praperadilan. Jadi ganti rugi ini diatur di KUHAP itu sendiri. Prinsip ganti rugi memang perdata, tetapi ini khusus,” katanya.     

Tags:

Berita Terkait