Kongkalikong THR Hakim dan Potensi Korupsi
Utama

Kongkalikong THR Hakim dan Potensi Korupsi

Selain berpotensi korupsi, permintaan THR juga melanggar aturan perilaku pegawai MA.

FAT
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi THR. Ilustrator: BAS
Ilustrasi THR. Ilustrator: BAS
Mendengar Ketua Pengadilan Negeri (PN) Tembilahan, Riau, meminta Tunjangan Hari Raya (THR) kepada pengusaha sangat menggelikan. Apalagi, permintaan itu dibalut dalam sebuah surat dengan dalih THR dan bingkisan untuk para karyawan/karyawati PN Tembilahan dalam rangka menyambut hari raya Idul Fitri 1437 H tahun 2016. Surat itu lengkap dengan tandatangan dan nomor induk pegawai sang ketua.

Atas tindakannya itu, Mahkamah Agung (MA) mencopot jabatan Y Erstanto Windiolelono dari Ketua PN Tembilahan. Sepaket, MA juga mendemosi Wakil Ketua PN Tembilahan, Mohamad Indarto dari jabatannyakarena tidak mengingatkan tindakan partnernya itu. Putusan ini ditetapkan pimpinan MA dalam sebuah rapat pada Selasa 28 Juni 2016.

Padahal, Pemerintah telah menetapkan bahwa THR bagi para pejabat negara maupun PNS, prajurit TNI, dan anggota Polri akan dibayarkan pada bulan Juni 2016. Anggaran untuk pembayaranTHR mereka berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun APBD.

Hal ini sesuai dengan PMK Nomor: 96/PMK.05/2016 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pemberian Gaji, Pensiun, Atau Tunjangan Ketiga Belas Kepada Pegawai Negeri Sipil, Prajurit Tentara Nasional Indonesia, Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Negara, Dan Penerima Pensiun Atau Tunjangan.

Namun apa daya, entah karena sudah menjadi kebiasaan atau THR dari pemerintah kurang, maka surat permintaan pun dilayangkan kepada para pengusaha. Walau imbauan, setidaknya sang hakim telah memiliki niat dengan harapan permintaannya itu ada yang menyanggupi.

Dalam berbagai peraturan perundang-undangan, hakim disebut sebagai pejabat negara. Namun, pada kenyataannya status dan pegawai negeri masih melekat pada hakim. Seperti terkait kepangkatan dan golongan, pembinaan yang masih mengikuti mekanisme PNS dan diperlakukan sebagai PNS.

Atas dasar itu, Forus Diskusi Hakim Indonesia (FDHI) melayangkan uji materi sejumlah pasal dalam PP No. 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim ke Mahkamah Agung (MA). Beleid ini dinilai telah mendegradasi kedudukan hakim sebagai pejabat negara karena struktur gaji dan tunjangan hakim masih bernuansa PNS. Sayangnya, MA menolak uji materi tersebut.

Dua status bagi hakim, “pejabat negara” dan “PNS” pun masih melekat. Otomatis, seluruh aturan yang menyangkut “pejabat negara” maupun “PNS” tetap berlaku. Misalnya terkait permintaan THR oleh hakim. Jika dirunut dengan statusnya, permintaan tersebut bisa berujung pada potensi korupsi, khususnya suap.

Ada dua potensi suap, yakni suap aktif dan pasif. Jika keinginan permintaan datang dari sang hakim, maka suap aktif berlaku. Sebaliknya, apabila hakim diberikan sesuatu hadiah atau uang terkait jabatannya, maka suap pasif bisa dikenakan. Apapun itu, imbauan pemberian THR tetap saja salah baik secara etika maupun moral.

Pasal 5 ayat (2) huruf a UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tipikor menyebutkan, bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya (suap aktif).

Pasal 5 ayat (2) huruf b UU Tipikor menyatakan, bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji karena berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan degan kewajiban dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya (suap pasif). Hukuman kedua pasal ini adalah pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun dan denda paling rendah Rp50 juta dan paling tinggi Rp250 juta.

Gratifikasi ujungnya juga bisa menjadi suap pasif. Aturan mengenai gratifikasi ini terdapat dalam Pasal 12B UU Tipikor. Aturan itu menyebutkan bahwa setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.

Penjelasan pasal itu menyebutkan, yang dimaksud dengan gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

Hal ini terjadi pada Erstanto dan Indarto yang akhirnya didemosi menjadi hakim non palu oleh pimpinan MA. Kenyataan ini semakin miris jika dilihat dari catatan bahwa Erstanto pernah mengikuti seminar UU Tipikor tahun 2008. Persisnya, seminar nasional ‘Penentuan tentang Kerugian Negara Dikaitkan dengan Pelaksanaan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi’.

Selain berpotensi korupsi, perbuatan sang hakim juga melanggar Pasal 5 ayat (2) huruf a, b dan g Keputusan Sekretaris MA No.008-A/Sek/SK/2012 tentang Aturan Perilaku Pegawai MA. Dalam aturan ini melarang pegawai MA menyalahgunakan kewenangannya sebagai pegawai negeri dengan tujuan memperkaya/menguntungkan diri sendiri/pihak lain.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Aradila Caesar menilai, permintaan THR oleh hakim sudah masuk kategori suap. Walaupun dalam UU Tipikor, tidak diatur khusus mengenai penelengara negara meminta suap, tapi hal itu bisa dikualifikasikan dalam delik percobaan.

“Percobaan dalam tipikor bisa dipidana. Jelas surat itu Ketua PN Tembilahan menggunakan kewenangannya untuk meminta sesuatu demi kepentingan pribadi atau kelompoknya. KPK harus telusuri lebih jauh jangan-jangan ada unsur pemerasan,” tuturnya kepada hukumonline, Jumat (1/7).

Sebagai institusi antirasuah, KPK bisa saja berinisiatif menyelidiki dugaan potensi korupsi dari permintaan THR ini. Mungkin saja, cara-cara seperti ini bukan pertama kali dilakukan. Bisa jadi, sejumlah aparat peradilan lain melakukan hal yang sama, hanya tak ketahuan lebih dulu oleh publik. Bagaimanapun juga, etika meminta THR ini menjadi cikal bakal masalah etika yang perlu diperbaiki. Baik melalui serangkaian pencegahan atau cara lain yang efektif. Sehingga, ke depan tak ada lagi “pejabat negara” atau PNS yang meminta THR dari swasta. Semoga..!!!
Tags:

Berita Terkait