Konflik SDA dan Agraria Berpotensi Meluas
Berita

Konflik SDA dan Agraria Berpotensi Meluas

Pemerintah direkomendasikan untuk melakukan moratorium izin sampai pembentukan lembaga penyelesaian konflik agraria.

ADY
Bacaan 2 Menit
Konflik SDA dan Agraria Berpotensi Meluas
Hukumonline

Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) memperkirakan konflik sumber daya alam dan agraria akan terus meluas. Anggota Divisi Data dan Informasi, HuMa, Widiyanto, mencatat sampai November 2012 ada 232 konflik SDA dan agraria. Konflik terjadi di 98 kabupaten/kota di 22 provinsi dengan luasan area sengketa mencapai 2 juta hektar.

Masyarakat yang menjadi korban dari konflik itu lebih dari 91 ribu orang. Kasus terbanyak terjadi di Provinsi Kalimantan Tengah dengaan 67 kasus, Jawa Tengah 36 kasus dan Banten 14 kasus.

Konflik tertinggi, pria yang disapa Wiwit itu melanjutkan, berada di sektor perkebunan dengan 119 kasus, kehutanan 72 kasus dan pertambangan 17 kasus. Dari berbagai konflik itu tercatat ada enam pihak yang ditengarai menjadi pelaku utama. Yaitu Taman Nasional/Kementerian Kehutanan, Perhutani, PT Perkebunan Nusantara (PTPN), Perusahaan/Korporasi, Perusahaan Daerah dan instansi lain seperti TNI.

Sedangkan tipologi konflik berdasarkan pelaku, 50 persen konflik terjadi antara komunitas lokal vs perusahaan/korporasi, 12 persen sengketa petani vs perusahaan, 11 persen komunitas lokal vs Perhutani dan 9 persen meliputi masyarakat adat vs perusahaan. Bermacam konflik itu menyebabkan hak masyarakat dilanggar.

Wiwit mencatat ada sejumlah hak yang dilanggar yaitu pelanggaran hak rakyat untuk memanfaatkan kekayaan dan sumber-sumber alam dan hak rakyat untuk memiliki atau menguasai SDA. Tentu saja hak rakyat itu dijamin dalam peraturan yang ada seperti Kovenan Hak Ekonomi Sosial dan Budaya (Ekosob), Kovenan Hak Sipil Politik (Sipol) dan UU 39 No.1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).

Jika pemerintah dan pihak terkait tak kunjung melakukan upaya yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah yang ada, Widiyanto berpendapat konflik SDA dan agraria berpotensi terus terjadi. HuMa mengusulkan agar pihak terkait melakukan sejumlah upaya. Pertama, moratorium semua izin perusahaan di bidang perkebunan, kehutanan, pertambangan dan pesisir. Kedua, menghentikan segala bentuk penanganan konflik dengan cara kekerasan. Ketiga, membentuk lembaga khusus yang berfungsi menyelesaikan konflik agraria dengan menerbitkan rekomendasi.

Keempat, pemerintah harus menindaklanjuti rekomendasi dari komisi penyelesaian konflik agraria itu dengan tindakan tegas seperti mencabut izin perusahaan dan menindak aparat pemerintah yang merampas tanah rakyat. Kelima, meninjau ulang kebijakan dan izin yang diterbitkan pemerintah pusat atau daerah di bidang SDA. Keenam, mengembalikan tanah hasil rampasan perusahaan ataupun pemerintah kepada rakyat.

Semua itu dilakukan dalam rangka menjalankan amanat TAP MPR No.IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA. Jika usulan itu tak dipertimbangkan pihak berwenang, Widiyanto cemas konflik SDA dan agraria tak akan memudar. "Perubahan tren konflik tersebut (sekarang,-red) menjadi merata di seluruh Indonesia," kata dia dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat (15/2).

Pada kesempatan yang sama, aktivis bidang Analisis dan Resolusi Konflik HuMa, S Rakhma Mary, maraknya konflik SDA dan agraria salah satunya bersumber dari banyaknya izin yang diberikan oleh pemerintah, khsusunya di daerah untuk perusahaan. Ujungnya, dengan dalih mengantongi izin dari pihak berenang dan merasa sebagai pihak yang secara hukum sah menggunakan lahan, perusahaan tersebut mengambil alih lahan yang sudah digunakan masyarakat. Menurutnya sebelum menerbitkan kebijakan, pemerintah dan pihak terkait harus melibatkan masyarakat yang sudah lebih dulu menggunakan lahan itu.

Bagi Rakhma semangat untuk melibatkan peran masyarakat secara aktif sudah tertuang dalam UU Pokok Agraria. Sayangnya, peraturan perundang-undangan yang ada terkait SDA dan agraria seperti UU Minerba dan Pengadaan Tanah dirasa tak mengikuti amanah UU Pokok Agraria. Apalagi, fokus pemerintah saat ini membangun ekonomi lewat kebijakan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). “Akibatnya, terjadi pengambilalihan tanah warga secara sewenang-wenang,” ucapnya.

Dalam proses perampasan tanah warga itu, Rakhma menjelaskan ada beberapa modus yang kerap digunan seperti banyaknya izin yang diterbitkan Pemda, pemalsuan dan penduplikasian dokumen oleh oknum. Bahkan, dalam proses pengambilalihan lahan, Rakhma menyebut pihak perusahaan menggunakan aparat keamanan dan preman untuk mengusir warga dari lahan yang digarapnya. Tak ketinggalan, cara-cara paksaan itupun menurut Rakhma terjadi ketika pihak pemerintah mengambilalih tanah warga.

Tentu saja untuk memperjuangkan hak atas tanah, Rakhma menyebut warga tak tinggal diam, karena telah menempuh berbagai cara. Langkah yang kerap digunakan adalah jalur non litigasi seperti bermusyawarah dengan pihak berwenang. Tapi, warga selalu dikalahkan dan posisinya dilemahkan. Hal serupa juga terjadi ketika warga menempuh jalur hukum. Misalnya, ketika mengajukan sengketa ke pengadilan, warga selalu kalah karena pengadilan berdalih kalau warga tak punya bukti-bukti tertulis yang sah seperti sertifikat.

Padahal, faktanya, warga telah turun temurun menggunakan lahan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ironisnya, ketika warga meminta bantuan pihak pemerintahan yang berwenang, cenderung diarahkan untuk menyelesaikan sengketa yang ada lewat jalur pengadilan. Tapi, saat ini Rakhma menemukan bahwa pemerintah mulai menggunakan pendekatan baru, dinamakan program kemitraan. Dalam program itu, warga yang menggarap lahan, ditawarkan untuk bekerja di perusahaan yang akan beroperasi di atas lahan garapan itu.

Walau pemerintah memandang pendekatan itu sebagai salah satu cara terbaik untuk melakukan mencegah konflik, tapi Rakhma menilai hal itu tak menuntaskan masalah yang ada. Karena, pada intinya pendekatan kemitraan itu tak menyelesaikan persoalan karena konflik yang ada tak dituntaskan yaitu hak rakyat atas tanah. Atas dasar itu, Rakhma berpendapat harus ada lembaga khusus yang independen untuk menyelesaikan konflik agraria. Misalnya, membentuk Komisi Penyelesaian Konflik Agraria.

Tags:

Berita Terkait