Konflik Advokat Bikin Bingung Hakim di Daerah
Berita

Konflik Advokat Bikin Bingung Hakim di Daerah

Mahkamah Agung meminta hakim-hakim di daerah tetap mengacu kepada SK KMA No 089 Tahun 2010 yang mengakui Peradi sebagai satu-satunya wadah tunggal organisasi advokat.

Ali/ASh
Bacaan 2 Menit
Konflik dua organisasi advokat PERADI dan KAI menjadi <br> isu hangat di Rakernas MA 2010 di Balikpapan <br> Kalimantan Timur. Foto: Ilustrasi (Sgp)
Konflik dua organisasi advokat PERADI dan KAI menjadi <br> isu hangat di Rakernas MA 2010 di Balikpapan <br> Kalimantan Timur. Foto: Ilustrasi (Sgp)

Perseteruan dua organisasi advokat, Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) dan Kongres Advokat Indonesia (KAI) menjadi salah satu isu hangat di Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Mahkamah Agung 2010 di Balikpapan, Kalimantan Timur. Berdasarkan materi Rakernas yang diperoleh hukumonline, sejumlah hakim di daerah mempertanyakan bagaimana sikap mereka di ruang sidang terkait konflik dua organisasi itu.

 

Apakah advokat di luar Peradi bisa beracara di dalam persidangan?” demikian inti pertanyaan yang tertulis dalam berkas materi Rakernas. Sayangnya, kru hukumonline yang berada di lokasi Rakernas tidak diberi akses untuk meliput ke dalam pembahasan komisi-komisi yang telah ditetapkan panitia.  

 

Uniknya, sebagaimana tertuang dalam materi Rakernas, pertanyaan mengenai konflik advokat justru banyak datang dari hakim-hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Seorang hakim dari PTUN Banda Aceh, misalnya, mempertanyakan berlakunya Surat Keputusan Ketua MA (SK KMA) No 089 Tahun 2010 yang mengakui Peradi sebagai wadah tunggal advokat.

 

Persoalannya, bagaimana dengan advokat yang berasal dari luar Peradi yang sampai sekarang masih aktif beracara di setiap institusi penegakan hukum. Yakni, di tingkat Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan. “Bagaimana sikap ketua atau majelis hakim menghadapi hal ini di persidangan,” hakim itu bertanya.

 

Pertanyaan serupa juga datang dari hakim dari PTUN Pekanbaru. “Bagaimanakah menyikapi para advokat yang masih menggunakan kartu tanda pengenal yang dikeluarkan KAI dalam beracara di pengadilan?” Mereka yang bertanya mengaku bingung karena berdasarkan SK KMA No 089 Tahun 2010, calon advokat yang bisa disumpah oleh Ketua Pengadilan Tinggi disyaratkan harus berasal dari Peradi.

 

Menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Medan, masih berdasarkan materi Rakernas, berpendapat advokat yang berasal dari bukan Peradi sebaiknya tetap dapat diterima mengingat saat ini masih dalam masa transisi atau peralihan. “Tetapi tetap disarankan agar segera satu wadah dengan Peradi,” demikian saran dari Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Medan.

 

Tidak hanya Sumatera, hakim PTUN Kendari juga melontarkan pertanyaan yang sama, bahkan lebih spesifik. “Dengan adanya SK KMA itu (SK KMA No 089) apakah Ketua Majelis yang memeriksa perkara dapat menolak surat kuasa atau kuasa hukum atau advokat yang belum disumpah oleh Ketua Pengadilan Tinggi setempat?tanyanya.

 

Dalam materi Rakernas, MA hanya meminta agar SK KMA No 089 Tahun 2010 yang mengakui Peradi sebagai wadah tunggal organisasi advokat tetap dijadikan rujukan. Selain itu, para hakim juga harus merujuk ke UU No 18 Tahun 2003 tentang Advokat. “Baca seksama ketentuan UU Advokat khususnya Pasal 3 ayat (2) jo Pasal 4 ayat (1) jo Pasal 28 ayat (1) dan kaitkan dengan SK KMA No 089 Tahun 2010,” demikian penjelasan pihak MA dalam materi Rakernas.

 

Sebagai informasi, Pasal 3 ayat (2) mengatur syarat-syarat pengangkatan advokat dan Pasal 4 ayat (1) mengatur advokat wajib di sumpah di Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukum si calon advokat. Sedangkan, Pasal 28 ayat (1) mengatur bahwa harus ada satu organisasi wadah tunggal advokat.

 

Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Nurhadi mengatakan sikap MA terhadap persoalan konflik organisasi advokat ini sudah jelas, yakni mengacu pada kesepakatan perdamaian antara petinggi KAI dan Peradi di MA, beberapa waktu lalu. Berdasarkan kesepakatan itu, MA menerbitkan SK KMA No 089 Tahun 2010 yang mengakui Peradi sebagai wadah tunggal advokat.

 

Terkait advokat yang bisa beracara di pengadilan, Nurhadi mengatakan sikap MA hanya berbasis kepada sudah atau tidak advokat itu disumpah di hadapan Ketua Pengadilan Tinggi setempat. “Kalau advokat itu sudah disumpah oleh Ketua Pengadilan Tinggi, ya mereka bisa beracara di pengadilan. Kalau belum disumpah, berarti itu ilegal,” jelasnya kepada hukumonline, di sela-sela Rakernas MA 2010, Selasa (12/10).

 

Nurhadi tak menutup mata bahwa ada calon advokat KAI yang belum disumpah oleh Ketua Pengadilan Tinggi. “Seharusnya Peradi dan KAI duduk bersama untuk membicarakan ini. Peradi juga harusnya mengakses calon advokat dari KAI yang belum disumpah,” tuturnya. Persoalan ini muncul, lanjut Nurhadi, karena setelah kesepatakan damai belum ada lagi upaya duduk bersama antara petinggi Peradi dan KAI.

 

Sekedar mengingatkan, persoalan ini bermula dari konflik organisasi advokat. Peradi dan KAI saling mengklaim sebagai wadah tunggal organisasi advokat. Padahal, UU Advokat menyebutkan hanya ada satu organisasi wadah tunggal advokat. Perseteruan ini diakhiri dengan penandatanganan kesepakatan damai. Namun, belakangan KAI sendiri menolak kesepakatan itu.

 

Tak semua hakim bingung dengan perseteruan organisasi advokat ini. Ketua Pengadilan Tinggi Kalimantan Tengah (Palangkaraya) Nommy HT Siahaan bertekad hanya akan mengacu SK KMA No 089 Tahun 2010 yang mengamanatkan agar tercapainya wadah tunggal organisasi advokat yang bernama Peradi. “Kita nggak bisa menyimpang dari situ karena Keputusan MA ini kan memang berdasarkan kesepakatan yang sudah ditandatangani Peradi dan KAI,” ujarnya.

 

Karenanya, lanjut Nommy, pengadilan di wilayah hukum Kalimantan Tengah hanya menerima penyumpahan calon advokat yang berasal dari Peradi. Lalu, bagaimana dengan advokat di luar Peradi yang akan beracara di pengadilan negeri di wilayah hukum Kalimantan Tengah? Nommy menegaskan akan tetap menolak. “Sama halnya (dengan penyumpahan,-red) advokat di luar Peradi akan kita tolak,” tegasnya.

 

Berdasarkan catatan hukumonline, penolakan advokat dari luar Peradi juga pernah terjadi di Pengadilan Negeri Bekasi. Seorang advokat dari KAI, Prio Handoko, ditolak beracara di PN itu dengan surat penetapan majelis hakim. Prio sempat menggugat SK KMA 089 karena penolakan ini, tetapi gugatan itu dinyatakan tidak dapat diterima oleh PTUN Jakarta. 

Tags: