Konferensi Nasional APHTN-HAN Usulkan Hapus Kementerian Koordinator
Terbaru

Konferensi Nasional APHTN-HAN Usulkan Hapus Kementerian Koordinator

Demi mengefektikan kebijakan dan koordinasi langsung antara menteri dan Presiden.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 6 Menit
Pakar HAN Universitas Gadjah Mada Oce Madril (tengah) bersama pakar hukum lain saat membacakan rumusan rekomendasi. Foto: NEE
Pakar HAN Universitas Gadjah Mada Oce Madril (tengah) bersama pakar hukum lain saat membacakan rumusan rekomendasi. Foto: NEE

Konferensi Nasional ke-2 Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) merekomendasikan menghapus keberadaan Kementerian Koordinator. Usulan ini bagian dari satu paket peninjauan kembali UU No.39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (UU Kementerian Negara).

Pokok-Pokok Pikiran dan Rekomendasi Konferensi Nasional ke-2 APHTN-HAN ini dibacakan oleh pakar HAN Universitas Gadjah Mada Oce Madril, pakar HTN Universitas Brawijaya Pan Mohamad Faiz, pakar HAN Universitas Negeri Semarang Rofi Wahanisa, pakar HAN Universitas Indonesia Fitriani Ahlan Sjarif, dan pakar HTN Universitas Airlangga Radian Salman.

“Ada lima panel yang mendiskusikan seratus makalah yang masuk. Pembahasan berjalan panjang dengan diakhiri rumusan rekomendasi ini,” kata Oce Madril yang memimpin pembacaan rekomendasi. Salah satu isi rekomendasi itu menyatakan Keberadaan Kementerian Koordinator perlu dipertimbangkan untuk dihapus, sebab secara regulasi, pembentukan Kementerian Koordinator tidak diwajibkan dan untuk mengefektikan kebijakan dan koordinasi langsung antara menteri dan Presiden.

Baca Juga:

“Kami juga mengkritisi UU Kementerian Negara agar ditinjau kembali untuk disesuaikan dengan kebutuhan penyusunan kabinet terhadap situasi saat ini dan mendatang, sehingga jumlah kementerian dapat ditentukan oleh Presiden berdasarkan program kerja Presiden dalam sistem Presidensial,” kata Radian Salman saat membacakan paket usulan itu. Rekomendasi ini menilai penentuan jumlah kementerian oleh Presiden harus adaptif dengan kebutuhan masyarakat dan negara.

Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Saldi Isra merespon rekomendasi ini dalam pidato penutup konferensi yang disampaikannya. Ia menilai rekomendasi itu harus dilengkapi kajian lebih detil. “Mengapa sampai ke usul ini kan belum ada kajian komprehensifnya. Saya menyambut baik kalau ada kajian lebih komprehensif soal itu,” kata Saldi.

Ia mengatakan sampai saat ini belum ada kajian dengan data yang kuat tentang struktur ideal kabinet. Oleh karena itu, ia berharap para pakar yang menjadi peserta konferensi harus mulai memadukan ilmu hukum tata negara dan hukum administrasi negara dengan kajian yang memiliki data empiris. “Kira-kira kebutuhan kabinet itu berapa dikaitkan dengan isi konstitusi?” kata Saldi melanjutkan responnya.

Ia khawatir rekomendasi ini akan mudah diabaikan. Koalisi partai politik dari calon Presiden terpilih selalu bisa memaksa agar jumlah Kementerian jauh lebih besar. Tentu saja tujuannya cenderung pembagian jatah kekuasaan pada partai koalisi alih-alih demi efektivitas dan efisiensi. “Masih ada waktu untuk membuat kajian ini dan menawarkannya kepada para calon Presiden,” ujar Saldi

Rekomendasi Lengkap

Panel diskusi berjudul “Penegakan Hukum dan Penyelesaian Sengketa Pemilu” menghasilkan rekomendasi sebagai berikut:

1. Banyaknya ruang (kanal) penegakan hukum Pemilu berdampak pada keadilan dan kepastian hukum. Maka ke depan (pasca 2024), diperlukan penyederhanaan kelembagaan penegakan hukum Pemilu, seperti dengan pembentukan Peradilan khusus Pemilihan (Pemilu).

2. Perlunya memegang prinsip saling memahami dan menghormati kewenangan antar lembaga dalam penyelesaian sengketa proses Pemilu yaitu antara Bawaslu dan PTUN untuk menjamin efektivitas penegakan hukum administrasi (proses) Pemilu.

3. Peningkatan efektivitas penegakan hukum pidana Pemilu terkait dengan kelembagaan Gakkumdu. Bawaslu melalui Gakkumdu perlu memberikan perhatian khusus pada penegakan hukum terhadap politik uang (money politics).

4. Harmonisasi antar lembaga Penyelenggara Pemilu dalam penggunaan kewenangan masing-masing agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan demi kepastian hukum Pemilu.

5. KPU dan Bawaslu agar dapat konsisten melaksanakan seluruh tahapan Pemilu sesuai dengan prinsip-prinsip Keadilan Pemilu. Termasuk diantaranya dalam pelaksanaan tahapan pendaftaran hingga penetapan Capres dan Cawapres 2024.

6. Mendisain ulang tugas dan wewenang DKPP terkait penegakan etik terhadap penyelenggara Pemilu supaya kompetensi DKPP menjadi lebih jelas dan fokus pada persoalan etik bukan pada kebijakan, regulasi atau diskresi dalam pelaksanaan Pemilu.

Panel diskusi berjudulReformasi Regulasi dalam Penyelenggaraan Pemerintahanmenghasilkan rekomendasi sebagai berikut:

1. Metode omnibus law yang memiliki muatan lebih kompleks dari legislasi UU biasa

hendaknya diiringi pula dengan proses deliberasi yang lebih panjang dan tingkat kehati-hatian maupun ketelitian yang lebih tinggi. Hal ini diperlukan untuk menjaga koherensi norma dan pemenuhan prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan.

2. Mengingat dampak penggunaan Metode omnibus law berbeda dengan metode biasa, sudah selayaknya persyaratan pembentukannya lebih diperketat dibandingkan metode biasa. Perlu dibuat prosedur khusus pembentukan dengan Metode omnibus law dalam Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (saat ini UU 12/2011).

3. Memperkuat pelaksanaan prinsip meaningful participation dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang tidak hanya dilakukan secara formalitas, tetapi benar-benar membuka ruang diskusi dengan melibatkan publik yang memiliki hak untuk didengar, dipertimbangkan pendapatnya, dan mendapat penjelasan.

4. Pentingnya terus memperkuat keselarasan antara produk hukum daerah dengan peraturan perundang-undangan di tingkat pusat dalam konteks negara kesatuan, dimana upaya harmonisasi dalam pembentukan produk hukum daerah harus terus diperkuat.

5. Dalam rangka penyederhanaan regulasi diperlukan: (i) penataan kelembagaan pemerintah yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan; (ii) penyusunan data komprehensif secara digital dan terintegrasi mengenai produk peraturan perundang-undangan; dan (iii) penggunaan teknologi informasi yang adaptif dan menjamin keamanan untuk membantu proses penyusunan regulasi.

6. Perlu dilakukan penilaian dampak dan evaluasi rutin dan sistematis terhadap peraturan perundang-undangan oleh Lembaga pembentuk.

Panel diskusi berjudulSistem Presidensiil dan Pembentukan Kabinet ke Depan menghasilkan rekomendasi sebagai berikut:

1. Pencapaian tujuan negara dilakukan melalui pelaksanaan fungsi negara melalui berbagai urusan pemerintahan. Pembentukan kabinet sebagai kekuasaan Presiden mempunyai dampak pada pelaksanaan urusan pemerintahan. Oleh karena itu pembentukan kabinet perlu memperhatikan berbagai aspek; yakni aspek politik, professional/ teknokratik dan representasi berbagai kekuatan/ kepentingan, termasuk daerah (teritori).

2. Komposisi pembentukan kabinet Indonesia, perlu mempertimbangkan keseimbangan atau proporsi politik dan teknis. Proporsi politik diberikan kepada partai politik untuk urusan yang bersifat kebijakan makro. Proporsi teknis diberikan untuk profesional atau berbasis merit untuk urusan yang membutuhkan hal-hal yang bersifat netral dan berdasarkan pada keahlian tertentu. Untuk itu, perlu untuk melakukan pemetaan urusan-urusan yang bersifat politis dan bersifat teknis.

3. Keberadaan Kementerian Koordinator perlu dipertimbangkan untuk dihapus, sebab secara regulasi, pembentukan Kementerian Koordinator tidak diwajibkan dan untuk mengefektikan kebijakan dan koordinasi langsung antara menteri dan Presiden.

4. Pengaturan lebih lanjut mengenai Lembaga Kepresidenan perlu dipertimbangkan pengaturan dalam UU Kepresidenan. Tujuan UU ini adalah untuk memberikan keleluasaan Presiden dalam penggunaan hak-hak prerogatif, termasuk dalam hal penyusunan kabinet yang efektif guna menyokong sistem pemerintahan Presindensial.

5. UU Kementerian Negara perlu ditinjau kembali untuk disesuaikan dengan kebutuhan penyusunan kabinet terhadap situasi saat ini dan mendatang, sehingga jumlah kementerian dapat ditentukan oleh Presiden berdasarkan program kerja Presiden dalam sistem Presidensial. Penentuan jumlah kementerian oleh Presiden juga ditujukan untuk adaptif dengan kebutuhan masyarakat dan negara.

Panel diskusi berjudulHukum Administrasi Negara Sektoral” menghasilkan rekomendasi sebagai berikut:

1. Perlunya penyelerasan aturan HAN Materiil dan HAN formil termasuk dalam HAN sektoral yang pengaturannya telah mengalami perubahan berkaitan dengan adanya Omnibus Law;

2. Pengaturan HAN sektoral di bidang SDA yang meliputi: Sumber Daya Air, Mineral, dan Penataan Ruang masih menyisakan banyak “Pekerjaan Rumah” bagi pembuat kebijakan, yakni perlu adanya konsistensi antara satu peraturan dengan peraturan yang lain dan memperhatikan partisipasi serta keberadaan masyarakat lokal (hukum adat).

3. Tetap perlunya campur tangan atau intervensi pemerintah baik dalam bentuk pengaturan atau kebijakan untuk menjamin terwujudnya Amanah pasal 33 dan konsep welfare state.

4. Diperlukan reformasi sistem administrasi pemerintahan dengan melakukan digitalisasi administrasi pemerintahan dan penyederhanaan perizinan untuk aktivitas perekonomian.

Panel diskusi berjudul“Kewenangan PTUN Dalam Mewujudukan Keadilan Hukum” menghasilkan rekomendasi sebagai berikut:

1. Berkaitan dengan kewenangan PTUN, bahwa UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan telah memperluas kewenangan Peradilan Administrasi. PTUN memiliki peran strategis untuk mewujudkan keadilan hukum bagi masyarakat yang dirugikan oleh kebijakan pemerintah. Terdapat 2 mekanisme yang perlu diperkuat yaitu mekanisme gugatan terhadap keputusan administrasi negara (KTUN) dan perbuatan melawan hukum oleh pemerintah (onrechtmatige overheidsdaad).

2. Perlu pengaturan yang jelas tentang mekanisme penyelesaian upaya administratif melalui keberatan dan banding administratif bagi masyarakat yang keberatan dengan kebijakan pemerintah.

3. Perlu transformasi yang komprehensif mengenai kelembagaan dan tata kelola Pengadilan Pajak yang berada di bawah Mahkamah Agung (MA) sebagai tindak lanjut Putusan MK Nomor 26/PUU-XXI/2023.

Selain itu, APHTN-HAN turut mencermati polemik yang terjadi terkait rencana aktivitas investasi perkenomian di Pulau Rempang. Berikut rekomendasi yang diberikan:

1. Perlunya pemerintah dalam membuat kebijakan pembangunan untuk senantiasa memperhatikan pemenuhan meaningful participation khususnya bagi masyarakat terdampak.

2. Mengedepankan upaya dialogis, persuasif dan keadilan restoratif dalam mencari solusi penyelesaian perbedaan pendapat antara masyarakat setempat dan pemerintah berkaitan dengan rencana pembangunan untuk kepentingan ekonomi.

3. Menghormati aspek kekhasan masyarakat hukum adat yang secara faktual telah hidup bersama di lingkungannya dalam waktu yang lama, dalam pelaksanaan kebijakan pembangunan.

Tags:

Berita Terkait