Kompleksitas Pembuktian Tindak Pidana Pemalsuan QRIS dan Peran Bank Indonesia
Kolom

Kompleksitas Pembuktian Tindak Pidana Pemalsuan QRIS dan Peran Bank Indonesia

Perlu juga membuat peraturan yang mempermudah pelaku usaha pengguna QRIS sebagai salah satu sistem pembayaran untuk mendapatkan informasi tentang pelaku penyalahgunaan QRIS.

Bacaan 5 Menit

Pengaturan lebih teknis diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor:2/19/PBI/2000 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Perintah atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank (PBI). Pasal 6 PBI ayat (1) mengatur: “Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, Pimpinan Bank Indonesia dapat memberikan izin tertulis kepada polisi, jaksa, atau hakim untuk memperoleh keterangan dari Bank mengenai simpanan tersangka atau terdakwa pada Bank.”

Sesuai dengan Pasal 6 PBI, maka untuk kepentingan penyelidikan (termasuk kepentingan peradilan) pimpinan bank Indonesia dapat memberikan izin tertulis kepada polisi untuk mendapatkan keterangan dari bank mengenai simpanan pelaku, namun perlu diingat pelaku harus sudah menyandang status sebagai tersangka terlebih dahulu. Sedangkan Pasal 6 PBI ayat (2) mengatur: “Izin tertulis dari Pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan atas permintaan tertulis dari Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia atau Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia.”

Mengacu pada ketentuan di atas, mendapatkan izin tertulis dari Pimpinan Bank Indonesia dalam setidaknya harus dengan adanya permintaan tertulis lebih dahulu dari Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Bercermin pada kasus Rani, proses yang harus ditempuh cukup rumit dan menimbulkan dilema. Rani tidak berdaya. Di sisi lain dia harus menghadapi mandeknya laporan polisi akibat kurangnya bukti permulaan yang cukup dalam membuat laporan. Belum lagi prosedur untuk mendapatkan informasi dari pihak bank yang kian rumit seperti dijelaskan di atas. Ditambah lagi dengan penolakan dari pihak bank. Meski awalnya mengalami penolakan, Rani mendapat solusi setelah melakukan konsultasi dan menjelaskan kondisi yang dialaminya dengan salah satu bank terkait. Bank menawarkan bantuan dengan menyarankan Rani membuat laporan yang menjelaskan kronologi secara detil melalui surel yang disikapi pihak bank melalui tim investigasi. Kemudian, pihak bank berjanji akan memproses permintaan Rani selama 2-3 hari kerja untuk membantu masalah yang dialaminya. Tetapi, bantuan tersebut tetap saja tidak menjamin pihak bank akan membuka informasi mengenai pelaku.

Pasal 9 ayat (1) Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 21/18/PADG/2019 tentang Implementasi Standar Nasional Quick Response Code mengatur bahwa “Skema dan biaya pemrosesan Transaksi Qris ditetapkan oleh Bank Indonesia”. Menurut hemat Penulis, kompleksitas pembuktian bagi korban seperti kasus di atas bisa diurai dengan dukungan Bank Indonesia. Sepatutnya Bank Indonesia selaku regulator membuat peraturan untuk mencegah penyalahgunaan sistem pembayaran melalui QRIS. Perlu juga membuat peraturan yang mempermudah pelaku usaha pengguna QRIS sebagai salah satu sistem pembayaran untuk mendapatkan informasi tentang pelaku penyalahgunaan QRIS. Hanya dengan begitu kasus serupa yang menimpa Ibu Rani dapat diatasi dan tidak ada lagi masyarakat yang menjadi korban dari oknum-oknum yang menyalahgunakan QRIS demi keuntungan semata.

*)Benedictus S. Habonaran, S.H., adalah advokat di Jakarta, Sarjana Hukum lulusan Fakultas Hukum Universitas Katolik Atma Jaya. 

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait