Kompensasi Korban Terorisme Masih Jadi Figuran dalam Revisi UU Anti Terorisme
Berita

Kompensasi Korban Terorisme Masih Jadi Figuran dalam Revisi UU Anti Terorisme

Mengenai janji kompensasi yang harus dibayarkan negara masih belum memuaskan.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Aparat kepolisian saat menggelar latihan penanganan tindak pidana terorisme. Foto: RES
Aparat kepolisian saat menggelar latihan penanganan tindak pidana terorisme. Foto: RES

Pansus Revisi UU Anti Terorisme telah menandatangani naskah yang disepakati semua fraksi dalam pembicaraan tingkat satu di DPR, Kamis malam (24/5). Semakin dekat dengan pengesahan, masih terdapat sejumlah catatan kritis. Persoalan kompensasi bagi korban dinilai belum cukup memadai oleh organisasi masyarakat sipil Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).

 

Padahal korban adalah pihak yang menderita dampak buruk dari kejahatan ini. Penilaian senada disampaikan pula oleh Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Abdul Haris Semendawai.

 

Dalam laporan ICJR mengenai catatan kritis soal Revisi UU Anti Terorisme disebutkan bahwa dalam UU Anti Terorisme tahun 2003 dan Revisi UU Anti Terorisme, tim perumus belum mencantumkan hak-hak korban terorisme secara lebih spesifik. Menurut ICJR, tidak ada hak korban yang diperkuat dalam Revisi UU Anti Terorisme. Fokus revisi dalam Revisi UU lebih mengatur mengenai tersangka atau terpidana sampai dengan urusan mengenai radikalisasi.

 

Padahal, ICJR menilai pengaturan terkait kompensasi, restitusi dan rehabilitasi di UU Anti Terorisme yang masih berlaku saat ini (pasal 36-42) serba minimalis. “Kompensasi masih bergantung putusan pengadilan, korban-korban langsung jadi sulit mengakses,” kata Direktur Eksekutif ICJR, Anggara, kepada hukumonline, Kamis (24/5).

 

(Baca Juga: Sekelumit Kisah Perjalanan UU Anti-Terorisme)

 

Selama ini kompensasi bagi korban harus dituangkan dalam tuntutan Jaksa dalam persidangan dan baru bisa diberikan setelah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. “Yang kami minta, hak kompensasi bagi korban langsung diberikan segera,” kata dia.

 

Pemberian kompensasi yang menunggu putusan pengadilan menurut ICJR sangat merugikan korban.

Pasal 36

  1. Setiap korban atau ahli warisnya akibat tindak pidana terorisme berhak mendapatkan kompensasi atau restitusi.
  2. Kompensasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pembiayaannya dibebankan kepada negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah.
  3. Restitusi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), merupakan ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku kepada korban atau ahli warisnya.
  4. Kompensasi dan/atau restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan.

 

Berdasarkan praktik pengadilan kejahatan terorisme hingga saat ini, tidak semua korban terorisme dapat diakomodasi namanya dalam putusan pengadilan. Hanya nama-nama korban yang disebutkan dalam dakwaan jaksa atau nama-nama korban yang dipanggil untuk memberikan keterangannya dalam sidang pengadilan saja yang akan disebutkan dalam putusan.

 

(Baca Juga: Simak Tanggapan Ahli Soal Usulan Definisi Terorisme di RUU Terorisme)

 

Belum lagi jumlah korban yang dapat diidentifikasi sangat terbatas. Termasuk kelemahan identifikasi nama-nama korban secara akurat dalam dokumen-dokumen persidangan. Akibatnya jumlah korban yang mendapatkan kompensasi berdasarkan putusan pengadilan sangat sedikit.

 

Catatan ICJR dari seluruh pengadilan terorisme menemukan hanya ada 8 nama yang secara resmi dicantumkan dalam putusan pengadilan sebagai korban yang berhak mendapat kompensasi.

 

Mekanisme syarat kompensasi ini pun melibatkan peran Jaksa untuk mendorong permohonan kompensasi tersebut. Namun UU Anti Terorisme tidak memberikan batas waktu jelas kapan saatnya permohonan kompensasi didorong dalam pengadilan. “Jaksa berpegang bahwa di KUHAP nggak ada aturannya(memasukkan tuntutan kompensasi korban-red),” ujar Anggara.

 

Selama ini Jaksa bersifat menunggu atau pasif soal hak kompensasi bagi korban. Tidak ada pengaturan tegas yang mewajibkan Jaksa aktif mengajukan kompensasi. Padahal partisipasi korban dalam UU hanya terbatas dalam hal telah dikabulkan dalam amar putusan pengadilan. ICJR menilai pengajuan kompensasi ini wajib dilakukan oleh Jaksa dalam persidangan. Partisipasi korban dalam pengajuannya selama proses peradilan juga harus dibuka lebar.

 

Pasal 38

  1. Pengajuan kompensasi dilakukan oleh korban atau kuasanya kepada Menteri Keuangan berdasarkan  amar putusan pengadilan negeri.

 

Menunda kompensasi hingga dibacakan amar putusan pengadilan pun selama ini dinilai merugikan. Selain proses pengadilan yang memakan waktu lama, korban tentu membutuhkan bantuan finansial yang bersifat segera. Apalgi pembayaran kompensasi yang sudah dikabulkan dalam putusa pun tidak diatur jangka waktu pembayarannya. 

 

“Misalnya suami atau istri kena jadi korban, kan nggak bisa kerja, ngurusin anak-anak, potensi kehilangan pendapatan,” tambahnya lagi.

 

Anggara berpendapat pemberian kompensasi harusnya diberikan segera setelah proses identifikasi korban dilakukan. “Kewajiban negara memberikan rasa aman pada masyarakat, termasuk membayarkan kompensasi, kalau di perdata seperti subrogasi hutang saja, dibayarkan dulu,” kata dia.

 

Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Abdul Haris Semendawai, mengatakan sebagian besar permasalahan soal korban telah dikompromikan dalam Revisi UU Anti Terorisme. Meskipun memang ada yang belum memuaskan.

 

(Baca Juga: Begini Hukumnya Libatkan Anak dalam Aksi Terorisme)

 

“Meskipun kalau menurut kami, berdasarkan pengalaman di banyak negara, untuk kompensasi ini tidak perlu menunggu atau berdasarkan putusan pengadilan. Cukup tentukan saja skema kompensasi yang bisa dibayarkan seperti apa,” katanya kepada hukumonline.

 

Semendawai menjelaskan model tersebut telah digunakan di berbagai negara dalam pembayaran kompensasi bagi korban terorisme. Skema ini mirip seperti cara perusahaan asuransi mengatur besaran nilai yang dapat dibayarkan bagi pemegang polis asuransi.

 

“Misalnya kalau meninggal dunia dibayarkan sekian, cacat permanen besarnya sekian, kalau harta benda rusak maksimal berapa persen bisa dibayarkan, bagi korban tinggal mendapatkan keterangan dia korban dan apa kerugian yang diderita,” jelas Semendawai.

 

Selama ini memang tidak ada kejelasan formula penghitungan besar kompensasi yang bisa didapatkan korban. Apalagi mekanismenya harus menunggu dikabulkan oleh putusan pengadilan.

 

Semendawai mengatakan bahwa LPSK memang sudah dilibatkan dalam RUU Anti Terorisme. Namun soal skema besaran hak kompensasi tidak ada pembahasan sama sekali. “Ganti kerugian bergantung pada nilai yang diajukan korban, nanti hakim memutuskan. Nanti akan lewat LPSK yang verifikasi dan koordinasi ke Jaksa untuk dimasukkan dalam tuntutan. Tidak ada patokan besarnya,” lanjutnya.

 

Semendawai mengakui bahwa kompromi yang dilakukan tidak bisa memenuhi sepenuhnya harapan LPSK. Menurutnya, setidaknya dengan melibatkan LPSK untuk ikut menangani hak korban menjadi langkah maju agar hak-hak korban bisa terpenuhi lebih baik ketimbang sebelumnya.

 

Tags:

Berita Terkait