Kompensasi Korban Terorisme Masih Jadi Figuran dalam Revisi UU Anti Terorisme
Berita

Kompensasi Korban Terorisme Masih Jadi Figuran dalam Revisi UU Anti Terorisme

Mengenai janji kompensasi yang harus dibayarkan negara masih belum memuaskan.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit

 

(Baca Juga: Simak Tanggapan Ahli Soal Usulan Definisi Terorisme di RUU Terorisme)

 

Belum lagi jumlah korban yang dapat diidentifikasi sangat terbatas. Termasuk kelemahan identifikasi nama-nama korban secara akurat dalam dokumen-dokumen persidangan. Akibatnya jumlah korban yang mendapatkan kompensasi berdasarkan putusan pengadilan sangat sedikit.

 

Catatan ICJR dari seluruh pengadilan terorisme menemukan hanya ada 8 nama yang secara resmi dicantumkan dalam putusan pengadilan sebagai korban yang berhak mendapat kompensasi.

 

Mekanisme syarat kompensasi ini pun melibatkan peran Jaksa untuk mendorong permohonan kompensasi tersebut. Namun UU Anti Terorisme tidak memberikan batas waktu jelas kapan saatnya permohonan kompensasi didorong dalam pengadilan. “Jaksa berpegang bahwa di KUHAP nggak ada aturannya(memasukkan tuntutan kompensasi korban-red),” ujar Anggara.

 

Selama ini Jaksa bersifat menunggu atau pasif soal hak kompensasi bagi korban. Tidak ada pengaturan tegas yang mewajibkan Jaksa aktif mengajukan kompensasi. Padahal partisipasi korban dalam UU hanya terbatas dalam hal telah dikabulkan dalam amar putusan pengadilan. ICJR menilai pengajuan kompensasi ini wajib dilakukan oleh Jaksa dalam persidangan. Partisipasi korban dalam pengajuannya selama proses peradilan juga harus dibuka lebar.

 

Pasal 38

  1. Pengajuan kompensasi dilakukan oleh korban atau kuasanya kepada Menteri Keuangan berdasarkan  amar putusan pengadilan negeri.

 

Menunda kompensasi hingga dibacakan amar putusan pengadilan pun selama ini dinilai merugikan. Selain proses pengadilan yang memakan waktu lama, korban tentu membutuhkan bantuan finansial yang bersifat segera. Apalgi pembayaran kompensasi yang sudah dikabulkan dalam putusa pun tidak diatur jangka waktu pembayarannya. 

 

“Misalnya suami atau istri kena jadi korban, kan nggak bisa kerja, ngurusin anak-anak, potensi kehilangan pendapatan,” tambahnya lagi.

Tags:

Berita Terkait