Komnas Perempuan Beberkan Persoalan Pengaturan Kekerasan Seksual Qanun Jinayat
Terbaru

Komnas Perempuan Beberkan Persoalan Pengaturan Kekerasan Seksual Qanun Jinayat

Pengaturan kekerasan seksual di Qanun Jinayat memiliki permasalahan substantif intrinsik yang menghambat akses korban pada keadilan dan pemulihan.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Kantor Komnas Perempuan. Foto: Istimewa
Kantor Komnas Perempuan. Foto: Istimewa

Pengaturan kekerasan seksual yang tertuang dalam Qanun Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat mengandung persoalan yang berdampak terhadap korban. Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, mengatakan secara umum pengaturan kekerasan seksual dalam Qanun Jinayat memiliki permasalahan substantif intrinsik yang menghambat akses korban pada keadilan dan pemulihan.

Qanun Jinayat atau peraturan daerah tentang pidana yang berlaku di Aceh dimaknai sebagai wujud otonomi khusus Aceh. Andy mencatat sedikitnya ada 10 jarimah atau tindak pidana yang diatur dalam Qanun Jinayat yang dibagi dalam 3 unsur penting yang membedakan antara satu jarimah dengan jarimah lainnya. Ketiga unsur itu meliputi jenis perbuatannya berdasarkan perbuatan yang dilarang syariat; dasar perbuatannya karena kerelaan (korbannya diri sendiri) dan akibat paksaan/ancaman/kekerasan (korbannya orang lain); dan objeknya seksualitas dan di luar seksualitas.

Delapan dari sepuluh jarimah didasarkan pada kerelaan atau persetujuan dan dianggap sebagai pelanggaran pada norma sosial, sedangkan dua diantaranya yaitu jarimah perkosaan dan pelecehan seksual yang merupakan kekerasan atau tanpa persetujuan korban.

Menurut Andy, dengan mencampurkan perbuatan kekerasan/tanpa persetujuan dengan perbuatan yang dengan persetujuan, menyebabkan korban perkosaan atau pelecehan seksual kerap dituduh sebagai pelaku jarimah lainnya ketika tidak mampu membuktikan kekerasan atau ancaman kekerasannya.

Hal ini terlihat dari penggunaan Pasal 52 tentang kewajiban korban membawa bukti permulaan dan sumpah korban sebagai alat bukti. “Artinya, negara membebankan kewajiban pembuktian justru pada korban kekerasan seksual,” ujar Andy saat dikonfirmasi, Senin (14/11/2022). 

Selain itu, dalam Qanun Jinayat ketika korban tidak mampu menghadirkan bukti dan telah bersumpah, maka pelaku juga dimintakan untuk bersumpah.  Pengaturan ini serupa dengan penanganan kasus zina, di mana saksi diutamakan adalah saksi yang melihat jarimah. Oleh karena itu Andy melihat yang lebih didengar adalah sumpah pelaku dan atas dasar sumpah itu, pelaku akan dibebaskan dari ancaman hukuman.

Lebih lanjut, cambuk bagi pelaku lebih kerap dipilih sebagai bentuk penghukuman karena menjadi simbol otonomi khusus Aceh. Padahal, berdasarkan pemantauan Komnas Perempuan dan berbagai kelompok masyarakat sipil di Aceh, bentuk penghukuman itu telah menyebabkan perempuan korban berulang mengalami teror dan intimidasi oleh pelaku.

“Hukuman ringan pada pelaku hanya membuat perempuan korban merasa tidak adil dan tetap mengalami diskriminasi,” kata Andy. 

Sebelumnya, Direktur LBH Banda Aceh, Syahrul Putra, mengatakan Qanun Jinayat mengatur 10 tindak pidana dalam Islam yakni Khamar, Maisir; Khalwat; Ikhtilath; Zina; Pelecehan Seksual; Pemerkosaan; Qadzaf; Liwath; dan Musahaqah.

Qanun Jinayat tidak mengatur komprehensif tindak pidana kekerasan seksual, karena hanya mengatur tentang pelecehan seksual dan pemerkosaan. Fokus pengaturannya hanya untuk menghukum pelaku dan tidak memberi perhatian terhadap hak-hak korban. Bahkan dalam proses penanganannya juga tidak berpihak kepada korban. Misalnnya, korban dibebankan pembuktian.

“Bulan lalu hakim Mahkamah Syariah di Aceh Barat Daya menganulir hak anak dengan cara membebaskan pelaku karena alasan tidak ada saksi yang melihat langsung. Bayangkan hakim berharap ada saksi yang melihat pelecehan seksual dan pemerkosaan,” kata Syahrul dalam Instagram Live Hukumonline bertema “Potret Kekerasan Seksual Terhadap Anak di Aceh: Kondisi dan Tantangan”, Kamis (11/8/2022) lalu.

Menurut Syahrul, hal tersebut memicu meningkatnya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Aceh. Melansir data dari Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Perempuan dan Anak Aceh (DP3A) pada tahun 2019 tercatat ada 1.067 korban, 2020 ada 905 korban, dan periode Januari-September 2021 ada 702 korban. Dari 702 korban di tahun 2021 itu sebanyak 347 perempuan meliputi 612 kasus. Jenis kasus kekerasan yang dialami perempuan tahun 2021 itu antara lain kekerasan fisik (75 kasus), kekerasan dalam rumah tangga (241 kasus), psikis (141), pelecehan seksual dan pemerkosaan masing-masing 14 kasus.

Tags:

Berita Terkait