Komnas Perempuan: Pelaporan Kasus KDRT Meningkat Setiap Tahunnya
Terbaru

Komnas Perempuan: Pelaporan Kasus KDRT Meningkat Setiap Tahunnya

Dari pengaduan dan pemantauan Komnas Perempuan, dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga beragam. Mulai dari korban alami luka-luka fisik, trauma dan depresi, menjadi disabilitas, sampai dengan kehilangan nyawa.

Ferinda K Fachri
Bacaan 3 Menit
Kantor Komnas Perempuan di Jakarta. Foto: Istimewa
Kantor Komnas Perempuan di Jakarta. Foto: Istimewa

Belum lama ini, masyarakat Indonesia dihebohkan dengan adanya laporan dari seorang public figure berinisial LK terhadap suaminya RB yang melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dalam bentuk fisik dan psikis. Menanggapi itu, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) memahami kompleksitas perempuan korban kekerasan untuk bisa keluar dari siklus kekerasan yang terjadi. Meski telah didukung berbagai kalangan, pelaporan dicabut oleh LK dengan pertimbangan dampak terhadap anak dan adanya harapan kondisi rumah tangganya dapat diperbaiki.

“Komnas Perempuan menyerukan agar kepolisian dan semua pihak waspada dengan potensi siklus kekerasan dalam penanganan kasus KDRT. Dalam siklus kekerasan, korban dan pelaku akan terus berputar dari kondisi tanpa kekerasan; kondisi ketegangan yang ditandai dengan perselisihan; kondisi ledakan kekerasan; dan kondisi rekonsiliasi dimana situasi menenangkan setelah adanya permintaan maaf. Namun, dari waktu ke waktu, ledakan kekerasan dapat menjadi lebih intensif dan menjadi sangat fatal dengan mengakibatkan luka yang serius hingga meninggal dunia,” ujar Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, dalam rilisnya, Senin (17/10/2022).

Ia melanjutkan ketika menangani kasus KDRT yang dalam hal ini KTI, pendekatan restorative justice dirasa dapat membuka celah impunitas pelaku dan meneguhkan siklus KDRT. Padahal, pasal yang disangkakan terhadap pelaku tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana ringan (tipiring). Selanjutnya, Komnas Perempuan juga melihat Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia No.8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif masih belum mengakomodir penanganan khusus dalam kasus kekerasan terhadap perempuan (seperti KDRT) yang diselesaikan dengan mekanisme keadilan restoratif.

“Komnas Perempuan menegaskan penegakan UU No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) dimaksudkan untuk menghentikan siklus kekerasan di dalam keluarga,” tegas Andy.

Setidaknya, terdapat 4 tujuan mendasarkan diundangkannya UU PKDRT yang dijabarkan oleh Ketua Komnas Perempuan itu. Pertama, mencegah terjadinya segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga. Kedua, melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga. Ketiga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga. Keempat, memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.

Sebagai pelaksanaan dari Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No.7 Tahun 1984, UU PKDRT merupakan harapan bersama untuk bisa membetulkan situasi perempuan dan anak atau siapa pun yang rentan dalam relasi rumah tangga. Berdasarkan Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan, data menunjukkan pelaporan kasus KDRT mengalami peningkatan setiap tahunnya. Hal ini jelas amat mengkhawatirkan.

Bila menelisik tahun 2021 lalu misalnya, terdapat pengaduan langsung 771 kasus kekerasan terhadap istri (KTI). Dengan kata lain, 31% dari jumlah laporan 2.527 kasus kekerasan di ranah rumah tangga/personal yang diterima Komnas Perempuan. “Berdasarkan pengaduan dan pemantauan yang dilakukan oleh Komnas Perempuan dampak kekerasan dalam rumah tangga terhadap korban beragam dan berlapis. Korban mengalami penderitaan luka-luka fisik, trauma dan depresi, bahkan menjadi disabilitas maupun kehilangan nyawa,” kata dia.

Perhatian serius dari segi penguatan korban untuk berani melaporkan kasus kekerasan yang dialaminya dan dari segi penanganannya perlu memperoleh perhatian serius. Pasalnya, bagi perempuan korban untuk mendapatkan perlindungan serta keadilan, pelaporan menjadi pijakan awal yang harus ditempuh. Komnas Perempuan mencatat tidak semua korban KDRT (terkhususnya KTI) memiliki kemauan dan keberanian untuk buka suara mengenai kekerasan yang dialaminya.

“Istri tidak melakukan pelaporan kasusnya berdasarkan berbagai pertimbangan terkait peran sosial perempuan, diantaranya demi menjaga nama baik keluarga, keutuhan keluarga, masa depan anak-anak. Pertimbangan lainnya adalah ketergantungan yang dimiliki, secara emosi, ekonomi dan sosial. Mengenali tantangan yang dihadapi korban, Komnas Perempuan mengapresiasi dan mendukung setiap perempuan korban untuk berani bicara dan melaporkan kasusnya ke kepolisian,” katanya.

Tags:

Berita Terkait