Komnas HAM Susun Standar Norma dan Pengaturan Bisnis dan HAM
Terbaru

Komnas HAM Susun Standar Norma dan Pengaturan Bisnis dan HAM

Ada tiga tujuan penyusunan SNP. Tahap konsultasi publik bakal digelar secara daring dan luring di beberapa kota yang dinilai banyak terkait dengan dampak operasional korporasi/perusahaan.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
 Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM, Saurlin P Siagian. Foto: Instagram Saurlin P Siagian
Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM, Saurlin P Siagian. Foto: Instagram Saurlin P Siagian

Pemerintah terus berupaya mendorong pelaksanaan berbagai perjanjian internasional di bidang HAM. Salah satu instrumen internasional yang penting adalah Prinsip-Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan HAM (Guiding Principles on Business and Human Rights: Implementing the UN Protect, Respect, and Remedy Framework). Guna melaksanakan mandat tersebut, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No.60 Tahun 2023 tentang Strategi Nasional Stranas) Bisnis dan HAM (BHAM).

Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Saurlin P Siagian, mengatakan lembaga negara tempatnya bernaung merespon positif dengan mengapresiasi terbitnya Perpres 60/2023. Sebagai lembaga negara yang independen Komnas HAM sesuai tugas pokok dan fungsinya bakal melakukan pengkajian dan monitoring terhadap Perpres 60/2023

“Untuk itu, selain menangani pengaduan masyarakat terkait dampak operasional korporasi melalui Pemantauan dan Mediasi, Komnas HAM juga memiliki mandat melakukan Penelitian dan Pengkajian sebagaimana tercantum Pasal 89 ayat (1) UU No.  39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,” katanya dalam keterangan tertulis, Rabu (04/10/2023) kemarin.

Saurlin menjelaskan, saat ini Komnas HAM sedang melakukan penelitian untuk mengembangkan Standar Norma dan Pengaturan (SNP) tentang Bisnis dan HAM. SNP adalah kaidah-kaidah dan ukuran-ukuran dalam menilai upaya promosi, pemenuhan, dan perlindungan hak di Indonesia. SNP merupakan dokumen rujukan bagi internal Komnas HAM sekaligus publik termasuk pemerintah dalam pemaknaan, penilaian, dan petunjuk pelaksanaan atas kaidah-kaidah HAM. Dengan dokumen tersebut diharapkan tidak lagi terjadi kesimpangsiuran pemaknaan atas tema-tema tertentu.

Baca juga:

Tujuan penyusunan SNP itu sedikitnya mencakup 3 hal. Pertama, memberikan pedoman kepada negara untuk memastikan segala regulasi, kebijakan, dan tindakan yang diambil baik dalam kerangka administratif, teknis, dan penganggaran, dalam rangka menghormati, memenuhi, dan melindungi hak yang diatur, serta menghindari tindakan pembiaran dan/atau pengabaian atas penikmatan hak.

Kedua, memberikan pedoman kepada setiap orang, baik individu maupun kelompok, untuk memahami cakupan, pelanggaran, pembatasan dan kewajiban negara dalam konteks HAM. Ketiga, memberikan pedoman kepada aktor non-negara untuk menghormati HAM dan menghindari tindakan yang dapat melanggar HAM.

SNP tentang Bisnis dan HAM ini masih dalam proses penyusunan dan masuk tahap konsultasi publik yang rencananya digelar 24 Oktober–15 Nopember 2023. Konsultasi publik dilaksanakan secara daring dan luring di beberapa kota yang dinilai banyak terkait dengan dampak operasional korporasi/perusahaan. Melalui konsultasi publik itu diharapkan semua pemangku kepentingan (pemerintah, korporasi dan masyarakat) dapat memberikan masukan seluas-luasnya terkait atas draf SNP tersebut.

Tak ketinggalan Saurlin menjelaskan laporan Komnas HAM tahun 2021 dan 2022 menunjukkan korporasi menduduki peringkat kedua sebagai institusi yang banyak diadukan ke Komnas HAM. Isu-isu terkait dengan sengketa lahan, sengketa ketenagakerjaan dan kepegawaian, dan kehidupan yang layak menjadi isu sentral yang diadukan masyarakat. Situasi tersebut menunjukkan keberadaan perusahaan-perusahaan yang berdampak terhadap HAM dan upaya-upaya yang dilakukan perusahaan untuk melakukan mitigasi terhadap potensi dan dampak yang terjadi terbilang minim.

Menurut Saurlin diperlukan instrumen dan/atau pedoman pelaksanaan yang mampu mendorong peningkatan kesadaran dan pengetahuan perusahaan-perusahaan mengenai tanggung jawabnya untuk memajukan dan menghormati hak asasi manusia dalam seluruh rantai operasional bisnisnya.

Persoalan lainnya yakni kesenjangan tata kelola (governance gap) yang kian meningkat akibat kekuatan korporasi multinasional yang kian besar dan terus berkembang, didukung oleh ribuan perjanjian investasi. Kedudukan korporasi semakin menguat ketika mendapatkan dukungan elit yang berkuasa di negara penerima investasi dengan tata kelola dan tatanan hukum (rule of law) yang lemah dan sering kali koruptif.

3 pilar panduan bisnis dan HAM

Dalam lampiran Perpres 60/2023 memuat 3 pilar utama Prinsip-Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan HAM. Pilar pertama yakni kewajiban negara melindungi HAM yang dijabarkan dalam 2 poin. Pertama, negara harus melindungi dari pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pihak ketiga termasuk Pelaku Usaha, di dalam wilayah dan/atau yurisdiksinya.

“Untuk itu, negara harus mengambil langkah yang tepat untuk mencegah, menyelidiki, menghukum, dan memulihkan pelanggaran HAM tersebut melalui kebijakan, Iegislasi, peraturan, dan jaminan atas sistem akses terhadap keadilan baik yudisial maupun non-yudisial yang efektif,” begitu bunyi sebagian lampiran Perpres yang diundangkan 26 September 2023 itu.

Kedua, negara menyampaikan secara jelas ekspektasinya bahwa seluruh Pelaku Usaha yang berkedudukan di dalam wilayah/yurisdiksinya menghormati HAM di setiap tahapan kegiatan usaha mereka. Pilar kedua yang menitikberatkan pada tanggung jawab Pelaku Usaha dalam menghormati HAM. Pelaku usaha harus menghormati HAM, mencegah, berkontribusi serta meminimalisir, dan mengatasi terjadinya pelanggaran HAM dari kegiatan usaha oleh para Pelaku Usaha dan mitra kerjanya.

Dalam pilar kedua itu, Pelaku Usaha dimandatkan untuk memiliki kebijakan dan proses yang cukup terkait HAM. Termasuk memiliki kebijakan untuk menghormati HAM. Melakukan proses uji tuntas HAM (due diligence) untuk mengidentifikasi, mencegah, memitigasi, dan mempertanggungjawabkan risiko pelanggaran HAM dari kegiatan usaha oleh Pelaku Usaha dan/atau mitranya. Sekaligus mengupayakan proses pemulihan atas setiap dugaan pelanggaran HAM yang diakibatkan oleh kegiatan usaha dari Pelaku Usaha dan/atau mitranya.

Pilar ketiga Prinsip-Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan HAM sebagaimana dikutip Perpres menitikberatkan pada hak korban pelanggaran HAM untuk mendapatkan akses atas pemulihan yang efektif, sah, dapat diakses, berkepastian, adil, transparan, dan berakuntabilitas baik melalui mekanisme yudisial maupun non yudisial. Pilar ketiga ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kewajiban negara untuk melindungi HAM dan pertanggungjawaban Pelaku Usaha untuk menghormati HAM.

Tags:

Berita Terkait