Komnas HAM Serahkan Hasil Kasus HAM Abepura ke Kejaksaan Agung
Berita

Komnas HAM Serahkan Hasil Kasus HAM Abepura ke Kejaksaan Agung

Jakarta, hukumonline. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) hari ini (17/5) resmi menyerahkan penyelidikan dan rekomendasi pelanggaran HAM berat peristiwa Abepura 7 Desember 2000 kepada Kejaksaan Agung (Kejagung). Selanjutnya, mendesak kepada pihak Kejagung untuk menyidik lebih lanjut kasus pelanggaran HAM berat dengan segera membentuk Tim Penyidik Ad hoc untuk kasus HAM Abepura.

Tri/Zae
Bacaan 2 Menit
Komnas HAM Serahkan Hasil Kasus HAM Abepura ke Kejaksaan Agung
Hukumonline

Demikian diungkapkan H.R Djoko Soegiarto, Ketua Komnas HAM, kepada wartawan seusai menyerahkan berkas penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat Abepura kepada Jaksa Agung, Marzuki Darusman. Dalam laporan penyelidikan tersebut, Djoko mengatakan bahwa dalam peristiwa Abepura telah terjadi pelanggaran HAM berat yang dilakukan secara sistematik serta meluas.

Pelanggaran HAM yang dimaksud  berupa penyiksaan, pembunuhan kilat, penganiayaan, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lainnya yang dilakukan secara sewenang-wenang kepada rakyat sipil. "Namun tidak ditemukan adanya kejahatan genosida," ungkap Djoko yang mantan pensiunan hakim.

Menurut Djoko, peristiwa pelanggaran HAM berat tersebut terjadi pasca penyerangan Polsek Abepura pada tanggal 7 Desember 2000. Saat itu, pasukan satuan Brimob yang di BKO-kan di polres Jayapura telah melakukan pengeledahan dan penangkapan tanpa prosedur dan surat perintah, melakukan pengungsian secara paksa terhadap penduduk sipil dan mahasiswa, serta penangkapan yang sewenang yang menimbulkan trauma dan rasa tidak aman.

Akibat peristiwa tersebut, berdasarkan penyelidikan Komnas HAM, telah ditemukan indikasi adanya penyiksaan di Mapolsek Abepura dan Mapolres Jayapura, sehingga dua orang meninggal dunia dan dua orang cacat seumur hidup. Terjadi juga pembunuhan kilat terhadap Elkius Suhuniap di daerah Skyline yang dilakukan anggota Brimob, serta penganiayaan yang berupa makian terhadap perempuan atas dasar ras dan agama.

Lebih lanjut, Djoko menegaskan bahwa pelanggaran HAM berat Abepura tersebut merupakan rangkaian kejahatan terhadap kemanusian yang merupakan tanggung jawab lembaga kepolsian Daerah Irian Jaya, Satuan Brimob Polda Irian Jaya, Polres Jaya Pura, dan Polsek Abepura. "Mereka adalah pelaku langsung yang berada di lapangan, pengendali operasi 7 Desember 2000, serta penanggung jawab kebijakan keamanan dan ketertiban di Irian Jaya," papar Djoko.

Sidang Pelanggaran HAM berat pertama

Djoko Soegiarto yang didampingi Albert Hasibuan ketua Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM Papua /Irian Jaya, Bambang W Soehato dan Asmara Nababan, mengatakan bahwa kasus pelanggaran HAM berat di Abepura merupakan pelanggaran HAM berat pertama yang diselidiki setelah berlakunya UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM.

"Dan rencananya persidangan kasus ini akan di gelar di Makasar," jelas Djoko. Menurut Djoko, alasan pemilihan lokasi tersebut  karena letaknya lebih dekat serta memang berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000, pengadilan HAM baru dibentuk di 4 wilayah yaitu Medan, Jakarta, Surabaya dan Makasar.

Selain mendesak Kejaksaan Agung untuk membentuk tim penyidik Ad hoc kasus pelanggaran HAM berat Abepura, Komnas HAM juga mendesak pemerintah untuk segera mengeluarkan Peraturan pemerintah mengenai konpensasi, restitusi dan rehabilitasi, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 35 ayat (3) UU No. 26 Tahun 2000. "Menimbang keadaan korban pelanggaran HAM berat Abepura saat ini, pemerintah hendaknya memberikan ganti rugi," ungkap Djoko.

Selanjutnya, Komnas HAM mendesak guna mencegah terulangnya (non-recurrence) pelanggaran HAM seperti peristiwa Abepura dimasa depan, maka perlu diambil kebijakan dan tindakan untuk meningkatkan profesionalisme anggota Polri dari jajaran pimpinan sampai dengan pangkat terendah. Yaitu melalui pendidikan dan latihan serta sosialisasi nilai-nilai penghormatan terhadap HAM.

Tidak mengacu KUHP

Kepada wartawan, Djoko Soegiarto juga menjelaskan bahwa penanganan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat sepenuhnya mengacu pada ketentuan internasional. "Baik itu konvensi internasional, International customary law,  dan tidak sama sekali mengacu kepada KUHP," jelas Djoko.

Menurut Djoko hal ini bisa dilihat dalam pasal 104 UU No. 39 Tahun 1999 dan UU No. 26 Tahun 2000. "Jadi dalam memutus dan memeriksa kasus pelanggaran HAM berat hakim-hakim maupun penyidik mengacu pada hukum internasioan dan bukan KUHP". jelas Djoko.

Sementara itu, Asmara Nababan yang juga merupakan Sekjen Komnas HAM mengatakan bahwa penyelesaian berbagai masalah HAM di Indonesia harus segera dituntaskan. Alasannya, komnas HAM tidak punya pilihan dengan besarnya tekanan masyarakat Indonesia untuk menyelesaiak masalah HAM yang terjadi di Indoensia. "Jadi kami mesti optimistis bahwa masalah pelanggaran HAM bisa kami selesakan," tegas Asmara.

Tags: