Komnas HAM Minta Pemerintah Hormati Hak Hidup
Berita

Komnas HAM Minta Pemerintah Hormati Hak Hidup

Eksekusi mati persulit Indonesia bicara HAM di forum internasional.

ADY
Bacaan 2 Menit
Jajaran Komisioner Komnas HAM. Foto: RES
Jajaran Komisioner Komnas HAM. Foto: RES
Eksekusi enam terpidana mati kasus narkotika membuat posisi Indonesia dilematis di forum internasional. Komnas HAM mendesak agar pemerintah Indonesia menghormati hak hidup yang dijamin konstitusi.

Eksekusi mati terhadap enam terpidana narkotika bukan hanya mendatangkan protes dari negara asal terpidana, seperti Belanda dan Brazil, tetapi juga kecaman dari dalam negeri. Para aktivis dan pejuang HAM berharap banyak eksekusi itu ditunda, dan pemerintah berkomitmen menghapus hukuman mati. Tak hanya itu, lembaga negara juga menolak pelaksanaan hukuman mati.

Lembaga yang menolak itu adalah Komnas HAM. Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM, Siane Indriani, bercerita beberapa hari menjalang eksekusi, wakil sejumlah lembaga negara bertemu. Enam lembaga yang mengirim perwakilan adalah Kemenko Polhukham, Kemenkumham, Kemenlu, Polri, Kejaksaan Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komnas HAM. Dalam pertemuan itu, kata Siane, hanya Komnas HAM yang menolak pelaksanaan hukuman mati. “Sebagai lembaga negara kami tetap berkesimpulan hukuman mati tidak sesuai dengan amanat konstitusi pasal 28 A,” ujarnya.

Sikap Komnas HAM ini tak lepas dari pandangan bahwa pemerintah seharusnya menjamin hak hidup setiap warga negara. Hak hidup telah diatur dalam konstitusi. Jika pemerintah mengabaikan hak itu sama saja upaya melanggar konstitusi. Siane khawatir pelanggaran semacam itu bisa menjadi pintu masuk pemakzulan.

Ketua Komnas HAM, Hafid Abbas, mengingatkan kecenderungan masyarakat dunia saat ini menghapuskan hukuman mati dari perundang-undangan dan dari praktek. Ia menegaskan hak untuk hidup adalah nilai universal yang diakui dunia. Maka wajar pasca pemerintah melakukan eksekusi hukuman mati terhadap enam terpidana kasus narkotika memunculkan reaksi internasional.

Hafid menjelaskan banyak negara menyadari dalam memberantas kejahatan, terutama narkotika, tidak bisa hanya mengandalkan hukuman mati. Peredaran narkotika bisa diberantas jika instrumen hukum yang berjalan di negara tersebut kuat. Misalnya, mafia enggan mengedarkan narkotika di Singapura ketimbang Indonesia karena kualitas hukum di Singapura lebih baik ketimbang Indonesia. Sehingga, ancaman hukuman berat lebih berpotensi menjerat mafia ketika mengedarkan narkotika di Singapura daripada di Indonesia.

Merujuk data World Bank Hafid menyebut kualitas hukum Indonesia rendah, hanya 3,56. Sedangkan Malaysia lebih tinggi yakni 5,6, Singapura 10 dan Australia 9,7. Oleh karenanya jika pemerintah serius memberantas narkotika maka instrumen hukum nasional harus diperkuat, bukan sekadar menjatuhi hukuman mati.

Siane menilai eksekusi mati terhadap enam terpidana kasus narkotika hanya sekadar pencitraan pemerintah. Sayangnya, pencitraan itu dilakukan dengan cara melanggar HAM. “Itu sesuatu yang salah, pemerintah telah melanggar HAM dan membuka peluang untuk di-impeachment,” paparnya.

Komisioner Komnas HAM subkomisi Pemantauan dan Penyelidikan, Natalius Pigai, mengusulkan agar pemerintah tidak lagi melakukan eksekusi mati. Ia menyesalkan sikap pemerintah yang mengabaikan saran Komnas HAM untuk tidak melakukan eksekusi mati. Ia juga mendesak agar pemerintah dan DPR segera merevisi serta menghapus ketentuan hukuman mati dalam KUHP. Selama proses revisi itu berlangsung, pemerintah bisa menerbitkan moratorium hukuman mati.

Selain itu Pigai mendesak agar Presiden Jokowi jangan menggunakan isu HAM sebagai alat politik dan pencitraan. Sebab, salah satu isu yang banyak diusung Presiden Jokowi ketika kampanye adalah isu-isu HAM seperti penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu dan penegakan serta pemenuhan HAM. “Saya tekankan kepada Presiden agar jangan menggunakan HAM sebagai alat pencitraan,” tukasnya.

Koordinator KontraS, Haris Azhar, menilai eksekusi mati terhadap enam terpidana kasus narkotika bedampak negatif terhadap pemberantasan kejahatan narkotika. Sebab, yang dihukum mati adalah kurir yang punya informasi tentang jaringan narkotika. Dengan mengeksekusi mati para terpidana itu berarti pemerintah kehilangan informasi untuk membongkar jaringan peredaran narkotika ilegal. “Eksekusi mati itu justru berdampak negatif dalam membongkar kejahatan narkotika,” katanya.

Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos, melihat pemerintah kerap menjadikan Amerika Serikat (AS) sebagai alasan dalam menerapkan hukuman mati. Walau mengakui AS sebagai salah satu negara yang masih menerapkan hukuman mati, tapi Tigor menekankan pelaksanaannya tidak untuk kejahatan narkotika. “Pelaku kejahatan narkotika di AS tidak ada yang dihukum mati, mereka dijatuhi hukuman berat. Ada yang dipenjara sampai ratusan tahun,” paparnya.

Direktur Eksekutif Imparsial, Poengky Indarti, mengingatkan pemerintah Jokowi melakukan eksekusi mati pada saat pemerintahan baru berumur 91 hari. Alih-alih dilakukan dalam rangka penegakan hukum, ia memandang itu sekedar pencitraan. Pasalnya, popularitas Presiden Jokowi saat ini sedang menurun. 

Direktur LBH Masyarakat, Ricky Gunawan, menyebut Presiden Jokowi tercatat dalam sejarah Indonesia sebagai Presiden pertama yang dimasa pemerintahannya melakukan eksekusi mati paling banyak dalam satu hari. “Mengeksekusi mati 6 orang sekaligus dalam semalam,” tukasnya.

Lewat kebijakan itu Ricky memprediksi Presiden Jokowi akan canggung ketika berada dalam forum internasional yang dihadiri kepala pemerintahan Brazil dan Belanda. Apalagi ketika berbicara tentang penegakan dan pemenuhan HAM serta perdamaian. Sebab, pemerintah Jokowi telah melakukan eksekusi mati terhadap 6 terpidana kasus narkotika.
Tags:

Berita Terkait