Komnas HAM Menolak Pengesahan RUU Ormas
Berita

Komnas HAM Menolak Pengesahan RUU Ormas

Dinilai tidak selaras dengan HAM.

ADY
Bacaan 2 Menit
Komnas HAM Menolak Pengesahan RUU Ormas
Hukumonline

Komnas HAM mendesak DPR untuk tidak mengesahkan RUU Ormas karena dinilai bertentangan dengan nilai-nilai HAM. Menurut anggota Komnas HAM, Roichatul Aswidah, kesimpulan itu dihasilkan setelah meneliti pasal-pasal yang terdapat dalam draf terakhir RUU Ormas yang diterima Komnas HAM. Mengingat besok RUU Ormas rencananya akan disahkan, perempuan yang disapa Roi itu mengatakan Komnas HAM sudah menyatakan dan menyampaikan sikap tersebut kepada DPR.

Menurut Roi, Ormas merupakan wujud kebebasan berserikat, dimana setiap warga negara berhak membentuk dan masuk dalam sebuah organisasi. Walau hak berserikat dapat dibatasi, tapi tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang. Nampaknya, dalam RUU Ormas, Roi melihat adanya ketentuan-ketentuan yang bersinggungan dengan pembatasan tersebut.“Setelah membaca cermat draf RUU Ormas 19 Juni 2013, direkomendasikan untuk tidak disahkan. Dengan pertimbangan draf RUU Ormas itu dapat menjadi ancaman terhadap kebebasan berserikat,” katanya dalam jumpa pers di kantor Komnas HAM Jakarta, Senin (24/6).

Roi mengatakan dalam menjamin kebebasan berserikat, pemerintah mestinya menerbitkan instrumen pelaksana yang mengakomodir hak itu. Sekalipun dalam butir menimbang di RUU Ormas disebut bahwa hak berserikat dijamin konstitusi, namun yang tercermin dalam ketentuan malah mengendalikan kebebasan berserikat secara substantif dan cenderung membatasi. Misalnya, tujuan organisasi harus mengacu pasal 5 RUU Ormas. Pada pasal 5 RUU Ormas, terdapat daftar tujuan organisasi yang harus dipatuhi setiap organisasi yang ada di Indonesia. Dalam RUU Ormas, tujuan organisasi itu menurut Roi dalam kerangka mewujudkan tujuan nasional.

Bagi Roi, pengaturan dan pembatasan tersebut tidak mencerminkan adanya penjaminan terhadap hak berserikat. Padahal, kebebasan berserikat harus menjadi fokus utama dalam menerbitkan peraturan yang berkaitan dengan ormas. Dengan adanya penetapan tujuan organisasi itu, maka terlihat adanya pengendalian terhadap kebebasan berserikat. Belum lagi ketentuan bagi organisasi untuk memberikan laporan kegiatan secara berkala.

Bahkan, pasal 51 RUU Ormas, Roi melihat untuk organisasi asing, ada aturan pelarangan yang rumusannya dianggap tidak jelas. Begitu pula soal pendanaan dan izin untuk ormas asing sangat dibatasi. “Kewenangan pencabutan izin ormas asing ada di tangan pemerintah,” ucapnya.

Terkait sanksi, Roi melanjutkan, RUU Ormas menerapkan sanksi secara berjenjang mulai dari administratif sampai pencabutan status hukum. Pasal 21 tentang Kewajiban dan Pasal 61 tentang Larangan disinyalir akan menimbulkan pelanggaran HAM. Sebab, dalam pasal 21 dan 61 memuat ketentuan yang kabur dan berdefenisi luas. Pembatasan yang ada dalam ketentuan tentang pembatasan dan pelarangan menurutnya bertentangan dengan UU HAM dan UU Pengesahan Kovenan Sipol. “Pembatasan tersebut tidak didasarkan atas adanya kebutuhan yang nyata,” tukasnya.

Roi mengingatkan, pada Februari tahun ini, Komnas HAM sudah menyatakan sikapnya bahwa pembahasan RUU Ormas harus dihentikan. Pasalnya, Komnas HAM menilai RUU Ormas perlu dibenahi secara menyeluruh. Namun, setelah berbulan-bulan berlalu, sampai pada draf RUU Ormas yang diterima Komnas HAM pertengahan bulan ini, perubahan seperti yang diharapkan tidak terjadi.

Agar selaras dengan HAM, Roi mengatakan Komnas HAM hanya berkeinginan agar pengaturan ormas dilakukan bukan pada substansinya, tapi bentuknya saja. Oleh karenanya, ketimbang RUU Ormas, Komnas HAM lebih memilih agar segera dibentuk dan disahkan UU Perkumpulan sebagai pendamping UU Yayasan. “Keberadaan ormas itu cermin kebebasan berserikat dalam demokrasi, jika RUU Ormas disahkan, maka mencederai demokrasi di Indonesia,” urainya.

Dalam ranah kebebasan berserikat, Roi menyebut pemerintah berkewajiban melindungi. Sehingga dalam menerbitkan peraturan, yang diatur yaitu untuk mencegah agar sebuah organisasi tidak mengganggu hak orang lain. Sedangkan yang paling utama, pemerintah harus memfasilitasi warganya untuk menggunakan hak berserikat.

Misalnya, ormas yang membutuhkan status badan hukum, maka pemerintah wajib memfasilitasinya. Jadi, yang diatur pemerintah ada pada tahap tersebut, bukan membatasi kegiatan yang dilakukan ormas. “Yang diatur itu bentuknya (ormas,-red) saja, bukan substansinya,” tutur Roi.

Untuk menyampaikan sikap Komnas HAM itu, Roi bersama rekannya hari ini akan menemui pimpinan Pansus RUU Ormas. Pertemuan itu menurut Roi hasil dari pernyataan sikap Komnas HAM yang dilayangkan pada Jumat kemarin.

Sebelumnya, ketua Pansus RUU Ormas, Malik Haramain, mengatakan sudah berupaya mengakomodir kritikan-kritikan yang dilontarkan sejumlah organisasi masyarakat sipil. Misalnya, soal asas organisasi, sudah diubah. Jika dikatakan masih terdapat ketentuan yang sifatnya represif, Malik menyebut hal tersebut tidak ada lagi. Pasalnya, berbagai ketentuan yang ditengarai bakal menjadi represif ketika diimplementasikan, sudah dilihat satu per satu.

Terkait pendaftaran organisasi yang dinilai mempersulit, Malik menandaskan hal itu sudah direvisi sejak awal. Sekarang, dalam RUU Ormas, bagi organisasi yang berbadan hukum tidak perlu ke Kemendagri untuk mendapat SK, tapi ke Kemenkumham. Namun, bagi organisasi yang tidak berbadan hukum, masih diwajibkan mendapat SKT. Untuk mendapat SKT menurut Malik cukup mudah, hanya butuh keterangan domisili dari Kecamatan. “Berbadan hukum hanya ke Kemenkumham, tidak perlu lagi ke Kemendagri,” katanya kepada wartawan di DPR, akhir pekan lalu.

Tags: