Komisioner Komnas HAM Temukan Indikasi Pelanggaran HAM Berat Kasus Munir
Terbaru

Komisioner Komnas HAM Temukan Indikasi Pelanggaran HAM Berat Kasus Munir

Pembunuhan terhadap aktivis HAM, Munir Said Thalib menggunakan instrumen negara.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Sudah 18 tahun berlalu sejak kematian aktivis HAM Munir Said Thalib, tapi sampai saat ini kasusnya belum diusut tuntas. Kalangan masyarakat sipil mendesak kasus pembunuhan Munir ini dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat. Komnas HAM telah membentuk Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM yang Berat untuk Peristiwa Pembunuhan Munir yang terdiri dari 2 komisioner Komnas HAM dan 3 perwakilan masyarakat sipil.

Komisioner Komnas HAM M Choirul Anam menilai kasus pembunuhan terhadap Munir bersifat sistematis. Hal itu bisa dilihat dari pola kejahatan, sasaran, fasilitas yang digunakan dan lainnya. Kemudian unsur meluas misalnya sebaran banyaknya korban dan wilayahnya.

Terkait pembunuhan terhadap Munir atau disapa Cak Munir, Anam menilai ada indikasi memenuhi syarat sistematis. Salah satunya adalah penggunaan instrumen dan fasilitas negara dalam proses pembunuhan itu. “Apakah ada perintah ataukah tidak? Memang belum ditemukan rekam jejak soal ada perintah, tapi polanya menunjukkan bahwa ada pola yang menggunakan fasilitas negara, ada pola yang menggunakan instrumen negara. Oleh karenanya, hal itu memungkinkan untuk disebut sebagai upaya sistematis,” kata Choirul Anam dalam diskusi sebagaimana dilansir komnasham.go.id, Minggu (11/2/2022).

Baca Juga:

Terkait unsur penduduk sipil, syarat ini menurut Anam jelas bahwa Munir sebagai penduduk sipil dengan identitas pembela hak asasi manusia (HAM). Melihat pengalaman panjang Komnas HAM RI menangani kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat, korbannya selalu dalam jumlah banyak.

Dalam konteks kasus Munir, Anam menilai dimungkinkan tetap memenuhi unsur pelanggaran HAM yang berat meski ada berbagai perdebatan standar. Anam yakin walaupun jumlah korban hanya satu orang, namun jika memenuhi unsur sistematis, meluas, tetap bisa dibawa ke Pengadilan HAM.

Terkait perdebatan mengenai daluwarsa kasus, menurut Anam, tidak berlaku jika terbukti pelanggaran HAM yang berat. Hal ini merunut logika peristiwa yang terjadi pada suatu rezim sebagian besar tak dapat diadili saat rezim itu masih berkuasa.

Sebagaimana diketahui UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM mengatur 2 jenis pelanggaran HAM berat yakni genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan terhadap kemanusiaan dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistemik yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, seperti pembunuhan.

Pada kesempatan yang sama, Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti, mendukung pemikiran bahwa dalam pelanggaran HAM memiliki prinsip “one is too many”. Kuantitas tidak menjadi konsep utama untuk menetapkan suatu pelanggaran HAM merupakan pelanggaran HAM yang berat.

“Tidak melulu soal angka. Ketika ada satu orang yang dihilangkan secara paksa atau dibunuh oleh negara itu sudah bisa masuk dalam kejahatan atas kemanusiaan, kita harus melihat unsur-unsur dan elemen lain,” ujar Fatia.

Tags:

Berita Terkait