Komisi Yudisial Pantau Persidangan Perkara Pemilu
Berita

Komisi Yudisial Pantau Persidangan Perkara Pemilu

Pemantauan dilakukan secara massif dan serentak.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Komisi Yudisial Pantau Persidangan Perkara Pemilu
Hukumonline

Pesta demokrasi sudah berlangsung dan akan bergulir hingga pemilihan presiden dan wakil presiden berakhir pada 2019 mendatang. Sebagian dari masalah hukum pemilihan umum diprediksi akan bermuara ke pengadilan. Sehubungan dengan itu, Komisi Yudisial menggelar program pemantauan persidangan pemilu guna menjaga agar proses peradilan berlangsung tanpa dicederai pelanggaran kode etik oleh hakim-hakim yang menanganinya.

 

“Pemantauan akan dilakukan secara massif dan serentak,” kata Ketua Komisi Yudisial, Jaja Ahmad Jayus, dalam keterangan kepada wartawan di Jakarta, Rabu (01/8). Beberapa saat kemudian pimpinan Komisi Yudisial melakukan pertemuan tertutup dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla guna membahas program pemantauan sidang-sidang perkara pemilu.

 

Salah satu masalah yang disampaikan Komisi Yudisial dalam pertemuan, jelas Jaja, adalah pemataan daerah rawan pidana. Ada daerah tertentu yang pemilihan umumnya diprediksi rawan. Komisi Yudisial akan memetakan daerah-daerah rawan dimaksud agar pemantauan bisa dilakukan secara intens dan perlindungan terhadap hakim-hakim yang mengadili perkara pemilu bisa maksimal dilakukan.

 

Juru Bicara Komisi Yudisial, Farid Wajdi, menambahkan pemantauan dilakukan dengan melibatkan banyak pemangku kepentingan, mulai dari kalangan kampus hingga organisasi masyarakat sipil. Pemantauan yang lebih massal dan serentak itu dilakan agar pemilihan umum dan proses penanganannya pasca hari H berjalan dengan baik. “Pemantauan massif dan serentak akan melibatkan jejaring,” ujarnya.

 

Para pemantau akan melihat setidaknya dua hal. Pertama, apakah ada gangguan terhadap hakim-hakim yang menangani perkara pemilu, baik pada saat sidang maupun di luar persidangan. Misalnya menggunakan tekanan massa terhadap hakim yang hendak memutus pidana pemilu. Kedua, melihat dugaan pelanggaran kode etik hakim saat menangani perkara pemilu. Komisi Yudisial sudah menyiapkan panduan pemantauan sidang-sidang pemilu yang akan dipakai tim pemantau. “Pedoman pemantauan segera diluncurkan,” ujar Jaja Ahmad Jayus.

 

Selain memetakan daerah rawan pemilu, Komisi Yudisial ikut berpartisipasi dalam pelatihan hakim-hakim yang akan menangani perkara pemilu. Pelatihan sudah pernah dilakukan di Surabaya dan Medan. Pelatihan tematis ini bekerjasama dengan Mahkamah Agung dan lembaga penyelenggara pemilu. Pemahaman substantif hakim terhadap regulasi pemilu sangat penting.

 

Mahkamah Agung juga sudah menerbitkan kebijakan yang relevan, antara lain Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 2 Tahun 2018 tentang Hakim Khusus Tindak Pidana Pemilihan dan Pemilihan Umum. Hakim khusus ini adalah hakim pengadilan negeri dan pengadilan tinggi dari lingkungan peradilan umum yang ditetapkan Ketua Mahkamah Agung untuk mengadili perkara tindak pidana pemilihan dan pemilihan umum. Pemilihan merujuk pada pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati, walikota); sedangkan pemilihan umum merujuk pada pemilihan anggota DPR, DPD, Presiden/wakil presiden, dan anggota DPRD.

 

(Baca juga: Ketua MA: Hakim Mesti Persiapkan Diri Tangani Sengketa Pilkada)

 

Ada dua syarat utama untuk bisa ditetapkan sebagai hakim pemilu. Pertama, menguasai pengetahuan tentang pemilihan dan pemilihan umum. Misalnya, pengetahuan tentang UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Kedua, telah melaksanakan tugas sebagai hakim minimal tiga tahun. Jika di daerah tertentu belum ada hakim yang genap bertugas tiga tahun, pengecualian dimungkinkan. Usulan mengenai hakim yang akan ditetapkan datang dari Ketua Pengadilan Negeri, diusulkan ke Ketua Mahkamah Agung melalui Ketua Pengadilan Tinggi. Ketua Mahkamah Agung, HM Hatta Ali, jauh-jauh hari juga mengingatkan agar kalangan hakim mempersiapkan diri menghadapi pilkada dan pemilu.

 

Ditanya mengenai apakah Komisi Yudisial juga menaruh perhatian pada afiliasi politik hakim, Jaja Ahmad Jayus mengatakan bahwa hakim juga punya hak politik sebagaimana warga negara lainnya. Hakim boleh memilih siapa calon presiden yang dia sukai, atau siapa calon anggota DPR yang dianggap representatif. Tetapi hakim (perkara pemilu) perlu mewanti-wanti penyampaian aspirasi politiknya. Jangan sampai aspirasi politik itu disampaikan secara terbuka, termasuk lewat medsos.

Tags:

Berita Terkait