Komisi Nasional Disabilitas Dorong Ratifikasi OPCAT
Terbaru

Komisi Nasional Disabilitas Dorong Ratifikasi OPCAT

Ketua KND menyebutkan ratifikasi Optional Protocol to the Convention Against Torture akan dapat menjadi panduan bagi Indonesia untuk menumbuhkan mekanisme nasional dalam pencegahan penyiksaan.

Ferinda K Fachri
Bacaan 3 Menit
Ketua Komisi Nasional Disabilitas Dante Rigmalia. Foto: FKF
Ketua Komisi Nasional Disabilitas Dante Rigmalia. Foto: FKF

Sebagai bentuk amanat UU No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (UU Penyandang Disabilitas), pemerintah telah membentuk Komisi Nasional Disabilitas (KND). Lebih lanjut, ketentuan mengenai KND telah diatur dalam Peraturan Presiden No.68 Tahun 2020 tentang Komisi Nasional Disabilitas.

Eksistensi KND bentuk upaya pemerintah RI dalam rangka mewujudkan penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas. Dalam hal ini, KND bertugas memantau, evaluasi, dan advokasi pelaksanaan penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas sebagaimana bunyi Pasal 132 ayat (1) UU Penyandang Disabilitas.

Secara resmi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah melantik 7 anggota KND pada 1 Desember 2021 lalu. Ketujuh komisioner tersebut terdiri atas Dante Rigmalia sebagai Ketua KND, Deka Kurniawan, Eka Prastama Widiyanta, Kikin Purnawirawan Taringan Sibero, Fatimah Asri Mutmainah, Jonna Aman Damanik, serta Rachmita Maun Harahap sebagai anggota KND.

“Setiap orang punya hak untuk bebas dari penyiksaan dalam keadaan apapun. Sebagaimana dijamin dalam UUD Tahun 1945 dan UU HAM, praktik penyiksaan dan perilaku sewenang-wenang yang merendahkan martabat manusia termasuk kepada penyandang disabilitas harus dihentikan,” ujar Ketua KND RI Dante Rigmalia, Senin (27/6/2022).

Baca Juga:

Ia menyebutkan KND akan membuka layanan aduan terhadap kasus-kasus kekerasan dan penyiksaan terhadap penyandang disabilitas. Dalam pemaparannya itu, Dante menyampaikan terdapat urgensi bagi Indonesia untuk meratifikasi Optional Protocol to the Convention Against Torture (OPCAT).

“Ratifikasi OPCAT penting dilakukan Indonesia karena konvensi menentang penyiksaan dan hukuman kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia. Dengan ratifikasi OPCAT, Indonesia akan mempunyai panduan untuk menumbuhkan mekanisme nasional dalam pencegahan penyiksaan,” tegasnya.

Berkenaan dengan itu, Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani memiliki pandangan serupa. Menurutnya, perlu ada dorongan bagi Pemerintah Indonesia untuk segera meratifikasi Optional Protocol dari Konvensi Menentang Penyiksaan. Sebab, kebebasan dari penyiksaan merupakan hak asasi yang harus diperjuangkan bersama untuk dapat terwujud.

Andy menuturkan konstitusi Indonesia telah menjamin adanya hak bebas dari penyiksaan dalam kondisi apapun. Komitmen bangsa Indonesia untuk menentang penyiksaan juga telah ditunjukkan melalui ratifikasi UU No.5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia).

“Setelah 24 tahun, terobosan penting meneguhkan komitmen ini hadir melalui UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang mempidanakan atau melarang Tindak Penyiksaan Seksual. Tentunya terobosan penting ini perlu dipastikan dengan memperkuat mekanisme pencegahan dari penyiksaan. Inisiatif untuk membangun mekanisme nasional pencegahan penyiksaan telah digagas bersama oleh 5 institusi yakni Komnas perempuan, Komnas HAM, Komnas Perlindungan Anak Indonesia, LPSK, dan Ombudsman RI,” jelasnya sebagaimana dikutip dari unggahan akun Twitter resmi Komnas Perempuan, Minggu (26/6/2022) kemarin.

Untuk bisa menguatkan inisiatif tersebut, menurut Andy masyarakat perlu bersama-sama mendorong Pemerintah Indonesia untuk segera meratifikasi OPCAT. “Bebas dari penyiksaan adalah hak asasi, dan bersama kita bekerja akan mampu mewujudkannya,” tutupnya.

Sebagai informasi, isi dari OPCAT meliputi beberapa diantaranya terkait subkomite pencegahan hingga mekanisme pencegahan nasional. Dimana negara-negara yang meratifikasi OPCAT berarti memberikan Subkomite Pencegahan Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat (SPT) hak mengunjungi tempat-tempat penahanan dan memeriksa perlakuan terhadap tahanan.

Seperti yang dilansir The Office of the UN High Commissioner for Human Rights (OHCHR), meratifikasi OPCAT akan melahirkan kewajiban bagi negara untuk membentuk Mekanisme Pencegahan Nasional (National Preventive Mechanism atau NPM) independen dalam pemeriksaan perlakuan terhadap para tahanan, membuat rekomendasi bagi pemerintah agar menguatkan perlindungan dari penyiksaan sekaligus mengomentari UU yang ada atau yang diusulkan.

Tags:

Berita Terkait