Komisi Kejaksaan Banyak Terima Aduan Pemerasan oleh Jaksa
Berita

Komisi Kejaksaan Banyak Terima Aduan Pemerasan oleh Jaksa

Dari semua laporan yang masuk ke Komisi Kejaksaan, presentase laporan terkait pemerasan jumlahnya sekitar 70 persen. Praktek pemerasan ini diduga terjadi di semua lini, mulai dari penyelidikan sampai eksekusi.

Nov
Bacaan 2 Menit

 

Selain itu, Halius melanjutkan, ada pula dugaan praktek kolusi Jaksa atau penuntut umum dengan penyidik atau calon tersangka, saksi, atau pelapor. Dari 100 persen Lapdu/Lapmas yang masuk, “yang terbanyak, 70 persen adalah pemerasan dengan macam-macam modus,” ujarnya.

 

Seperti, di tahap penyelidikan mungkin saja peningkatan status perkara, dari penyelidikan ke penyidikan menjadi suatu bahan negosiasi. Kemudian, lanjut Halius, di tingkat penyidikan, mungkin saja terjadi kongkalikong dalam penerapan pasal atau penetapan tersangka, dari yang semula harusnya 10 tersangka menjadi hanya 3 orang tersangka.

 

Di tingkat penuntutan, Halius mengatakan, ada celah negosiasi dalam penetapan rencana tuntutan (Rentut). Sebab, rentang kendali proses penyelesaian perkara di Kejaksaan itu amat panjang. Mulai dari penuntut umum, Kasi Pidum, Kajari, Aspidum, Kajati, Direktur, Jampidum, sampai Jaksa Agung turut menandatangani Rentut. Namun, terkait dengan Rentut ini, Jaksa Agung Basrief Arief sudah meresponnya dengan menyerahkan pertanggungjawaban hanya sampai Kejaksaan Tinggi saja. Selanjutnya, Jaksa Agung hanya menerima pertanggungjawaban dari semua Kajati.

 

Atas laporan-laporan terkait pemerasan dan ketidakprofesionalan Jaksa itu, memang sudah 83 surat yang direspon Jamwas. Tapi, Halius menyayangkan karena dalam waktu tiga bulan laporan itu diserahkan ke Jamwas, sampai sekarang belum ada hasilnya. “Harusnya kan 3 bulan itu selesai, bukan diproses. Nah, sampai hari ini memang belum ada,” tutur Halius.

 

Sementara, Jamwas Marwan Effendy menampik pihaknya belum menindaklanjuti laporan tersebut. Marwan menduga, kemungkinan Komjak belum menerima tembusan hasil laporan yang dikirimkan Inspektur Jamwas dan Kejaksaan Tinggi. “Masak yah. Mungkin sudah dikirim tembusannya, tapi tidak sampai ke Komisi Kejaksaan atau masih diproses oleh Inspektur atau Kejati belum selesai,” tukasnya.

 

Mengejar jabatan

Selain masalah Lapdu/Lapmas yang belum ada hasilnya, Komjak juga menyoroti permasalahan rekruitmen dan sumber daya manusia (SDM). Sebab, pola rekruitmen yang menggunakan jalur nepotisme seperti ini cenderung mengakibatkan jaksa menjadi tidak profesional dan terfokus mengejar jabatan.

 

“Karena memang jaksa itu utamanya mengejar jabatan. Isi otaknya itu jabatan, bukan profesionalisme sebagai jaksa jempolan. Jadi, bagaimana dia dapat jabatan eselon IV, eselon III, eselon II, bahkan kalau perlu jadi Jaksa Agung. Itu trend-nya di situ,” kata Halius.

Tags:

Berita Terkait