Komisi III DPR Pertimbangkan Pasal Kontroversial RUU Kejaksaan
Berita

Komisi III DPR Pertimbangkan Pasal Kontroversial RUU Kejaksaan

Jika masukan-masukan berbagai pihak nanti meyakinkan kami di DPR bahwa yang ada di RUU Kejaksaan perlu diubah, maka Komisi III DPR akan menerimanya.

Aida Mardatillah
Bacaan 3 Menit
Anggota Komisi III DPR Arsul Sani. Foto: RES
Anggota Komisi III DPR Arsul Sani. Foto: RES

Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani mengatakan Komisi III DPR akan mempertimbangkan kembali pasal-pasal dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kejaksaan yang dinilai masyarakat kontroversial dan tidak pas. Pasal-pasal tersebut terkait dengan pemberian kewenangan penyidikan-penyelidikan dan penyadapan yang akan diatur dalam RUU Kejaksaan.

"Tentu, jika pasal-pasal yang terkait dengan penyelidikan, penyidikan, dan penyadapan dinilai tidak pas, maka kami akan mempertimbangkannya kembali," kata Arsul Sani di Jakarta, Rabu (14/4/2021) seperti dikutip Antara.

Dia menjelaskan, RUU Kejaksaan menjadi RUU inisiatif DPR disusun berdasarkan aspirasi, terutama dari pemangku kepentingannya yaitu Kejaksaan Agung. Namun, menurut dia, Komisi III DPR dalam tahap pembahasan RUU tersebut akan mendengarkan berbagai masukan dan pandangan dari berbagai elemen masyarakat sipil serta unsur penegak hukum lainnya.

"Termasuk Polri dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang selama ini merupakan penyelidik dan penyidik utama dalam sistem peradilan pidana terpadu atau integrated criminal justice system di Indonesia," ujarnya. (Baca Juga: Penguatan Kejaksaan Harus Diimbangi Sinergisitas dengan Lembaga Lain)

Dia menegaskan Komisi III DPR tidak ingin elemen-elemen dalam sistem peradilan pidana terpadu malah mengalami kemunduran, karena adanya tumpang-tindih fungsi serta kewenangan antarpenegak hukum. Karena itu, menurut dia, jika apa yang ada dalam RUU Kejaksaan dipandang tidak akan lebih mengharmoniskan dan mensinkronisasikan antarelemen penegak hukum, maka harus didrop.

"Meski ini RUU inisiatif DPR, namun jika masukan-masukan berbagai pihak nanti meyakinkan kami di DPR bahwa yang ada di RUU Kejaksaan perlu diubah, maka Komisi III DPR akan menerimanya," kata politisi PPP itu.

RUU Kejaksaan merupakan usul inisiatif Komisi III DPR yang telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. Saat ini telah dilakukan proses harmonisasi di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. Dalam RUU tersebut menyebutkan dan mengatur tugas dan kewenangan jaksa tidak hanya sebagai Penuntut Umum (Pasal 1 angka 1), tapi juga melakukan wewenang Penyelidikan (Pasal 30 C) dan Penyidikan (Pasal 30 huruf d).

Lalu dalam Pasal 30 huruf e RUU Kejaksaan menyebutkan bahwa di bidang pidana Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyadapan dan menyelenggarakan pusat pemantauan (monitoring).

Sebelumnya, dalam diskusi bertajuk, “RUU Kejaksaan, Komitmen DPR Perkuat Kinerja Korps Adhyaksa”, Selasa (14/4/2021) kemarin, Ketua Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak menyampaikan 7 poin penting saat membahas penguatan lembaga dalam RUU Kejaksaan. Pertama, Kejaksaan sebagai pelaksana kekuasaan negara di bidang penuntutan harus terimplementasi dalam tugas kewenangan yang kuat. Sebab, tak banyak UU membicarakan pendistribusian kekuasaan negara ke lembaga-lembaga.

Kedua, dengan single prosecution system terkait implementasi pelaksanaan kekuasaan negara di bidang penuntutan. Nah, Jaksa Agung menjadi penuntut umum tertinggi dan jaksa adalah satu dan tak terpisahkan. Hal tersebut menunjukan implementasi dari pelaksana kekuasaan negara di bidang penuntutan.

Ketiga, berkaitan dengan asas dominus litis, posisi Kejaksaan terkadang mengalami dilema. Sebab, terhimpit oleh dua kekuatan besar penegak hukum yang secara tegas diatur konstitusi yakni kepolisian sebagai penyidik dan kekuasaan kehakiman sebagai pengadil. Tapi, Kejaksaan dalam konstitusi tidak tegas disebut sebagai kekuasaan peradilan secara eksplisit. Hanya saja masuk dalam penjelasan yang menyebutkan badan-badan kekuasaan lain.

“Namun tak masalah kalau ini diatur implementasinya dalam RUU yang baru ini karena asas dominus litis ini merupakan asas universal bahwa kejaksaan yang menentukan dapat tidaknya satu perkara diajukan ke pengadilan,” kata Barita.

Keempat, merumuskan standar perlindungan profesi jaksa, profesionalitas hingga kesejahteraan menjadi prinsip dasar dari kemandirian Kejaksaan. Karenanya perlu diakomodir dalam muatan materi RUU Kejaksaan. Kelima, kedudukan dalam fungsi supervisi dan koordinasi, check and balance dengan lembaga lain. Dengan begitu, penegakan hukum menjadi melindungi, tidak menindak. Nah fungsi tersebut pun dapat dilakukan Kejaksaan.

Keenam, pengawasan. Menurut Barita, semangat Komisi III memperkuat Kejaksaan secara kelembagaan perlu diimbangi dengan sistem pengawasan yang efektif. Tapi, kata Barita, pengawasan tidak berarti menghambat kinerja Kejaksaan, tapi hanya memastikan semua tugas dan kewenangan Kejaksaan dijalankan sesuai koridor yang berlaku. Sehingga dapat terhindar dari tindakan penyalahgunaan kewenangan, dapat transparan dan berintegritas.

Ketujuh, transformasi berkaitan dengan public trust. Menurutnya, kepercayaan publik terhadap wajah penegakan hukum oleh Kejaksaan mesti dibangun dengan informasi publik yang dapat meyakinkan masyarakat. Penegakan hukum mesti proporsional, sehingga hak dan kewajiban tetap diberikan dalam penegakan hukum.

“Dengan begitu, Kejaksaan bukan lembaga yang ditakuti, tetapi lembaga yang disegani. Itu menurut kami akan banyak membangun indeks kepercayaan kita kepada penegak hukum, khususnya negara hukum,” katanya. (ANT)

Tags:

Berita Terkait