Komisi III Ambil Alih Kasus Penghilangan Aktivis 1997-1998
Berita

Komisi III Ambil Alih Kasus Penghilangan Aktivis 1997-1998

Kejaksaan menyatakan bukan menolak rekomendasi Komnas HAM, tetapi tidak bisa menundaklanjuti sebelum ada perangkat hukumnya.

Rzk
Bacaan 2 Menit
Komisi III Ambil Alih Kasus Penghilangan Aktivis 1997-1998
Hukumonline

Titik terang mulai terlihat dalam penanganan kasus dugaan pelanggaran HAM berat terkait peristiwa penghilangan orang secara paksa pada periode 1997 hingga 1998. Kamis malam (8/2), Komisi III DPR-RI dalam rapat kerja dengan Kejaksaan mengambil sikap meminta pimpinan DPR untuk merekomendasikan pembentukan Pengadilan HAM adhoc terhadap kasus yang diduga telah melenyapkan 14 aktivis ini. Tidak hanya untuk kasus penghilangan aktivis 1997-1998, sikap Komisi III bahkan diperluas untuk kasus-kasus lainnya seperti Kasus Trisakti, Kasus Kerusuhan Mei 1998, serta Kasus Semanggi I dan Semanggi II.

 

Sikap tersebut merupakan satu dari tiga butir kesimpulan sementara yang dihasilkan setelah terjadi perdebatan alot antara Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh dengan sejumlah anggota Komisi III selama hampir 5 jam. Butir kesimpulan lainnya adalah mendesak Jaksa Agung melakukan proses penyidikan segera setelah ada rekomendasi dari DPR tentang pembentukan Pengadilan HAM Adhoc.

 

Dalam kesimpulan Raker dinyatakan pula terjadi ketidaksepahaman antara Jaksa Agung dengan Komisi III terhadap isi rekomendasi Komnas HAM mengenai kasus penghilangan aktivis 1997-1998. Komisi III mengambil sikap mendukung hasil penyelidikan Komnas HAM yang dijalankan sejak 1 Oktober 2005 hingga 30 September 2006. Sementara Jaksa Agung berpendapat Komnas HAM tidak berwenang menentukan tempat dan waktu (locus dan tempus) terjadinya peristiwa tersebut.

 

Menurut Jaksa Agung, kewenangan itu ada di tangan DPR sebagaimana diatur dalam UU No. 26 Tahun 200 tentang Pengadilan HAM. Argumen Jaksa Agung didasarkan pada Pasal 43 ayat (2) yang menyatakan Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden. Bagian penjelasan pasal tersebut menyatakan usulan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc oleh DPR didasarkan pada dugaan telah terjadinya pelanggaran HAM berat yang dibatasi pada locus dan tempus delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini.

 

Jadi, kami sebenarnya tidak menolak tetapi tidak bisa menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM atas peristiwa penghilangan orang secara paksa, tegas Jaksa Agung. Menurutnya, sesuai mekanisme yang ditentukan undang-undang maka Kejaksaan tidak dapat menindaklanjuti selama belum ada perangkat hukumnya, yakni pengadilan HAM adhoc atas kasus tersebut.

 

Tidak logis dan irasional

Penjelasan yang disampaikan Jaksa Agung merupakan jawaban yang selalu diulang-ulang dalam beberapa Raker sebelumnya. Salah seorang anggota Komisi III, Eva Kusuma Sundari, bahkan mengungkapkan kekecewaannya karena jawaban Jaksa Agung tidak pernah beranjak dari persoalan teknis tentang pembentukan pengadilan HAM adhoc. Eva yang berasal dari Fraksi PDI-P menuding ada upaya pelemparan tanggung jawab oleh Jaksa Agung kepada Presiden dan DPR.

 

Tidak ada maksud mengulang jawaban tetapi memang pertanyaannya itu aja. Bukan bermaksud lempar tanggung jawab karena bunyi undang-undangnya begitu, kami tidak menemukan jalan lain diluar undang-undang. Inilah satu-satunya jalan, jawab Jaksa Agung membela diri.

 

Sementara, anggota Komisi III dari Fraksi PDI-P lainnya, Gayus Lumbuun menilai jawaban Jaksa Agung tidak logis dan irasional. Menurut logika Gayus, DPR tidak mungkin merekomendasikan pembentukan pengadilan HAM adhoc tanpa didasari hasil penyelidikan yang mengarah pada adanya dugaan pelanggaran HAM berat. Gayus mendesak polemik penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM berat harus segera dituntaskan agar tidak terjadi internasionalisasi.

 

Pada akhir Raker, Ketua Komisi III Trimedya Panjaitan selaku pimpinan rapat menyatakan butir-butir kesimpulan ini akan dibahas lebih lanjut dalam rapat internal Komisi III. Selanjutnya, sikap Komisi III akan disampaikan kepada pimpinan DPR melalui mekanisme yang berlaku.

 

KONTRAS protes

Mengomentari kesimpulan Raker ini, Haris Azhar dari KONTRAS menilai sikap Komisi III tidak jelas dan cenderung membingungkan. Haris berpendapat sikap Komisi III menyangkut Kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II adalah sikap yang aneh karena pada tahun 2001 DPR periode 1999-2004 pernah menyimpulkan bahwa tidak ada pelanggaran HAM berat dalam kasus-kasus tersebut.

 

Jadi, kalau rekomendasi itu belum dicabut bagaimana mungkin dibentuk pengadilan HAM adhoc. Presiden tentunya akan menolak dan kalaupun ada proses pengadilan akan mudah dipatahkan melalui eksepsi lawyer, kata Azhar yang membawahi Impunity Watch and Institution Reform Division.

 

Azhar menyatakan pesimis polemik penanganan kasus penghilangan aktivis 1997-1998 beserta kasus-kasus lainnya akan terselesaikan. Pesimistis Azhar didasari pada rumitnya prosedur birokratis yang akan dilalui mulai dari DPR hingga Presiden. Ini baru kesimpulan Komisi III, belum rapat paripurna dan birokrasi di Presiden. Mekanisme politik pasti berujung pada ketidakjelasan dan kepastian hukum bagi keluarga korban, ujarnya.

 

Sebagai bentuk protes, Azhar mengatakan KONTRAS dalam waktu dekat akan melayangkan surat protes kepada Komisi III.

 

Tags: