Kolaborasi Penanganan Sengketa Khusus HKI Melalui Arbitrase dan Mediasi
Berita

Kolaborasi Penanganan Sengketa Khusus HKI Melalui Arbitrase dan Mediasi

Pebisnis tentu menginginkan penyelesaian perkara yang lebih cepat dan tertutup, terutama sengketa perdata seperti perkara HKI lisensi, kontrak-kontrak franchise, perjanjian waralaba, pengalihan KI dan lainnya.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Kerjasama penandatanganan Nota Kesepahaman antara BAMHKI, BANI dan PMN, Kamis (12/9). Foto: HMQ
Kerjasama penandatanganan Nota Kesepahaman antara BAMHKI, BANI dan PMN, Kamis (12/9). Foto: HMQ

Menempati posisi penting sebagai bagian dari aset perusahaan, hak kekayaan intelektual (HKI) tentu menjadi jenis aset yang sangat penting untuk dilindungi. Terlebih, posisi HKI yang begitu rentan bersinggungan dengan persoalan hukum seperti wanprestasi lisensi, sengketa merek, komersialisasi HKI yang dieksploitasi melewati batas-batas yurisdiksi negara mengakibatkan dimungkinkannya sengketa HKI melewati batas-batas yurisdiksi.

 

Dengan yurisdiksi HKI yang begitu luas ditambah dengan cakupan persoalan sengketa yang begitu kompleks, keberadaan badan tersendiri yang memfasilitasi alternatif penyelesaian sengketa khusus di bidang HKI tentu diperlukan. Badan Arbitrase Mediasi Hak Kekayaan Intelektual (BAMHKI) menginisiasi hal itu sejak pendiriannya pertama kali pada 2011.

 

Semakin memperkuat posisinya, kini BAMHKI mulai menjalin kolaborasi dengan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI versi Husseyn Umar) dan Pusat Mediasi Nasional (PMN) dalam penanganan perkara melalui arbitrase dan mediasi khusus di bidang HKI. Kerjasama tersebut dijalin melalui penandatanganan Nota Kesepahaman antara BAMHKI, BANI dan PMN, Kamis (12/9).

 

Begitu lama dan ‘bertele-tele’ nya kesan penyelesaian sengketa di pengadilan menurut Wakil Ketua BAMHKI, Cita Citrawinda Noerhadi, ia menyebut akan lebih efektif bila penyelesaian sengketa HKI dilakukan melalui jalur arbitrase dan mediasi. Apalagi, katanya, bila berkaitan dengan persoalan ekonomi, kalangan bisnis di Indonesia tentu menginginkan penyelesaian perkara yang lebih cepat dan tertutup, terutama sengketa perdata seperti perkara HKI lisensi, kontrak-kontrak franchise, perjanjian waralaba, pengalihan KI dan lainnya.

 

Ke depan, katanya, pelaku usaha berpeluang menjatuhkan pilihan dalam klausul perjanjian terkait penyelesaian sengketa melalui jalur arbitrase dan mediasi khusus di bidang HKI melalui BAMHKI. Bila BANI dan PMN menangani sengketa arbitrase dan mediasi yang jangkauannya sengketa perdata secara umum dan luas, maka BAMHKI mengkhususkan diri untuk penyediaan jasa arbiter dan mediator di bidang HKI.

 

“Nanti para pihak bisa bikin klausul di perjanjian bila terjadi perselisihan terkait HKI diselesaikan di BAMHKI, jadi lebih spesifik untuk masalah-masalah HKI,” ujarnya.

 

Pada dasarnya, katanya, semua masalah terkait HKI bisa diselesaikan di BAMHKI. Khusus terkait masalah pidana, dalam UU Paten dan UU Hak Cipta ada pasal yang khusus mengatur, ‘apabila sudah ada tuntutan pidana sebelum laporan itu masuk ke polisi, maka para pihak harus menyelesaikan melalui mediasi terlebih dahulu.

 

“Bila para pihak sudah berhasil menyelesaikan masalah mediasinya, maka ya sudah enggak perlu dilanjutkan lagi masalahnya di kepolisian,” jelasnya.

 

Untuk menjadi arbiter dan mediator di BAMHKI, katanya, konsultan HKI tak bisa otomatis terdaftar sebagai arbiter ataupun mediator. Ada seleksi khusus yang harus diambil. Akan tetapi, Ia menyebut pihaknya sedang berencana untuk menjajaki peluang kerjasama agar arbiter di BANI yang memiliki spesialis di bidang HKI bisa menjadi arbiter pula di BAMHKI, begitupun halnya dengan mediator PMN yang memiliki spesialis di bidang HKI.

 

(Baca Juga: Ironis, dari Ribuan Potensi Indikasi Geografis Indonesia Baru 67 Terdaftar di DJKI)

 

Terkait keunggulan penyelesaian perkara melalui arbitrase, Ketua BANI Mampang, Husseyn Umar mengatakan arbitrase merupakan pilihan terbaik untuk memperoleh sebuah putusan yang final dan mengikat namun bisa diselesaikan dalam waktu yang cepat. Sejatinya, putusan arbitrase itu harus dilakukan dengan sukarela oleh para pihak. Tapi dalam hal pihak yang kalah enggan melaksanakan putusan arbitrase, tetap saja pengadilan bisa dimintakan untuk melakukan eksekusi terhadap putusan itu.

 

“Para pihak bisa daftarkan putusan arbitrase ke pengadilan, sehingga pengadilan bisa diminta jasanya untuk melaksanakan putusan arbitrase itu,” jelasnya.

 

Untuk bisa menyelesaikan sengketa melalui arbitrase dan mediasi ini, katanya, kuncinya ada pada klausul pilihan tempat penyelesaian sengketa yang dicantumkan para pihak dalam perjanjian pokoknya. “Perjanjian inilah yang jadi penting sekali agar bisa masuk ke arbitrase atau mediasi,” katanya.

 

Tak kalah dengan jalur arbitrase, Ketua PMN Fahmi Shahab juga menjelaskan efektifitas penyelesaian sengketa melalui mediasi. Untuk mediasi di luar pengadilan, katanya, angka kesuksesan mediasi mencapai kesepakatan sangat tinggi sekali, yakni mencapai 83 persen. Angka Ini disebutnya cukup kompetitif dengan angka kesuksesan mediasi di rata-rata negara dunia yang berkisar antara 60 sampai 80 persen.

 

“Pengalaman kita kalau para pihaknya mau untuk mediasi maka chance untuk settle-nya sangat tinggi,” pungkasnya.

 

Tags:

Berita Terkait