Kode Inisiatif: Pengesahan RUU Cipta Kerja Tidak Partisipatif, Langgar Asas, Hingga Inkonstitusional
Berita

Kode Inisiatif: Pengesahan RUU Cipta Kerja Tidak Partisipatif, Langgar Asas, Hingga Inkonstitusional

DPR seharusnya berhenti menerapkan pola pembentukan undang-undang yang sangat tergesa-gesa, seperti revisi UU KPK, revisi UU Minerba, hingga revisi UU MK.

Aida Mardatillah
Bacaan 4 Menit
Perwakilan pemerintah berfoto bersama pimpinan DPR usai pengesahan RUU Cipta menjadi UU dalam Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10). Foto: RES
Perwakilan pemerintah berfoto bersama pimpinan DPR usai pengesahan RUU Cipta menjadi UU dalam Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10). Foto: RES

Pada 3 Oktober 2020 pukul 22.00 WIB, DPR telah mengadakan rapat pengambilan keputusan tingkat I Omnibus Law RUU Cipta Kerja Omnibus Law yang telah disetujui 7 dari 9 fraksi, kecuali fraksi Demokrat dan PKS yang menolak. Kemudian dilanjutkan pembahasan tingkat II dalam rapat paripurna yang dijadwalkan pada 8 Oktober 2020.

Bahkan DPD pun ikut andil menyuarakan setuju terhadap RUU ini. Padahal dalam substansi RUU Cipta Kerja banyak memangkas kewenangan daerah untuk kemudian ditarik menjadi kewenangan pusat yang seharusnya menjadi perhatian besar DPD. Namun, secara mendadak, rapat paripurna dimajukan untuk digelar pada Senin (5/10/2020) sore.  Alhasil, dalam rapat paripurna ini, 6 fraksi menyetujui RUU Cipta Kerja menjadi UU, Fraksi PAN menyetujui dengan catatan, dan Fraksi Demokrat dan PKS tetap menolak.

“Beberapa permasalahan dalam RUU Cipta Kerja ini mulai dari proses pembentukan yang tidak partisipatif mengakibatkan muatan RUU tidak mencerminkan kebutuhan publik, melanggar asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, hingga permasalahan substansi RUU yang inkonstitusional,” ujar Koordinator Bidang Konstitusi dan Ekonomi Kode Inisiatif, Rahmah Mutiara saat dikonfirmasi, Senin (5/10/2020) malam.    

Rahmah melihat saat pembahasan RUU Cipta tidak partisipatif dan cenderung eksklusif. DPR pilah-pilah untuk menghadirkan para pihak guna didengarkan keterangannya dalam RDPU (Rapat Dengar Pendapat Umum). Baleg tidak melakukan RDPU dengan para pekerja (serikat pekerja, red), melainkan hanya melakukan RDPU dengan KADIN. Padahal seharusnya RDPU dilakukan juga dengan serikat pekerja agar perumusan pasal krusial dalam kluster kenegatakerjaan RUU Cipta Kerja dapat menyerap aspirasi pihak yang berkepentingan.

“Proses pembentukan RUU yang tidak partisipatif ini melanggar prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dan jelas tidak mencerminkan asas keterbukaan sebagaimana amanat Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,” ujarnya.  

Kode Inisiatif menilai RUU Cipta kerja berisi muatan regulasi inkonstitusional. Perubahan substansi tidak dilakukan secara menyeluruh dan masih menyisakan beberapa substansi bermasalah. Isu-isu yang justru penting dan berpotensi melanggar hak konstitusional warga negara teracuhkan dan tidak dilakukan perubahan. (Baca Juga: Ramai-Ramai Menolak Pengesahan RUU Cipta Kerja)

Sisi lain, kata Rahmah, RUU Cipta Kerja secara jelas menghapuskan kewenangan daerah untuk mengurus urusan daerahnya sendiri. Hal ini terlihat dari skema pemberian izin yang sentralistis yang hanya dapat dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah hanya diberikan fungsi pengawasan atas hal tersebut. Padahal, pemerintah daerah lah yang mengerti keadaan dan kondisi masing-masing daerahnya dan dapat membuat keputusan mengenai pemberian izin atas suatu kegaiatan di daerah tersebut.

“Jika sentralisasi diterapkan apakah pemerintah pusat sudah siap betul menangani seluruh perizinan dari setiap daerah di Indonesia? Ketentuan ini jelas melanggar Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 dan tidak sejalan dengan tujuan utama kebijakan politik pasca Orde Baru serta menciderai eksistensi UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah,” sebutnya.  

Selain itu, rumusan pengaturan dalam RUU Cipta Kerja ini seolah-olah sengaja dibuat rumit, sulit dimengerti dan tidak efisien. Hal ini disebabkan oleh format penulisan pada sebagaimana draf Februari 2020 tidak dituliskan secara sistematis. Seharusnya penyusunan UU dilakukan dengan mengedepankan asas kejelasan rumusan sebagaimana ketentuan Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011, sehingga publik dapat dengan mudah membaca dan memahami ketentuan dalam RUU ini.

Dari catatan di atas telihat tidak ada itikad baik dari pembentuk undang-undang untuk merumuskan suatu regulasi yang konstitusional. Karena itu, Kode Inisiatif memandang masih banyak subtansi yang perlu ditinjau ulang.  Berdasarkan catatan Kode Inisiatif, untuk menarik investor ke Indonesia ada cara dan hal yang tetap konstitusional, bisa dilakukan.

Pertama, penerapan segala regulasi menyangkut ekonomi dan investasi yang lebih pasti dan konsisten. Kedua, hindari melakukan perubahan ketentuan yang terlalu sering dalam jangka waktu yang singkat. Sebab sejatinya konsistensi regulasi dan kepastian berusaha adalah poin penitng dari skema investasi bagi para investor.

Ketiga, neningkatkan kepercayaan publik, salah satunya melalui pembentukan UU yang substantif dengan mengakomodir suara publik. Poin ini perlu untuk diperhatikan karena public trust sangat penting untuk dapat menggaet investasi asing. “Tetapi sebaliknya, RUU Cipta Kerja malah melunturkan kepercayaan publik.”

Untuk itu, DPR harus berhenti menerapkan pola pembentukan undang-undang yang sangat tergesa-gesa dan tidak substantif ini. Sebab, sudah banyak produk legislasi yang jelas-jelas tidak mencerminkan kepentingan publik dan tidak mengakomodir suara rakyat, mulai dari revisi UU KPK, revisi UU Minerba, hingga revisi UU MK.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengatakan RUU Cipta Kerja berguna untuk mendorong pemulihan ekonomi nasional dan membawa Indonesia memasuki era baru perekonomian global untuk mewujudkan masyarakat yang makmur, sejahtera, dan berkeadilan.

“RUU Cipta Kerja akan mendorong reformasi regulasi dan debirokratisasi, sehingga pelayanan pemerintahan akan lebih efisien, mudah, dan pasti, dengan adanya penerapan Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) dan penggunaan sistem elektronik," ujar Airlangga. 

Ketua Umum Partai Golkar itu menegaskan RUU Cipta Kerja untuk menyelesaikan berbagai masalah yang menghambat peningkatan investasi dan pembukaan lapangan kerja. Upaya itu dilakukan diantaranya melalui penyederhanaan sistem birokrasi dan perizinan; kemudahan bagi pelaku usaha terutama UMKM; ekosistem investasi yang kondusif; hingga penciptaan lapangan kerja untuk menjawab kebutuhan angkatan kerja yang terus bertambah.

Terkait perlindungan buruh, Airlangga menjelaskan RUU Cipta Kerja mengatur antara lain menjamin kepastian dalam pemberian pesangon. Terkait pesangon, RUU Cipta Kerja mengamanatkan pelaksanaan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). “Program ini diklaim tidak mengurangi manfaat program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT), dan Jaminan Pensiun (JP), serta tidak menambah beban iuran dari pekerja atau pengusaha,” bebernya.

Airlangga menerangkan manfaat program JKP, antara lain uang tunai, upskilling dan upgrading, akses ke pasar tenaga kerja, sehingga bisa mendapatkan pekerjaan baru atau membuka usaha. Mekanisme pemutusan hubungan kerja (PHK) mengikuti persyaratan yang diatur UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dia juga menyebut RUU Cipta Kerja tidak menghilangkan hak cuti haid dan cuti melahirkan sebagaimana diatur UU No.13 Tahun 2003.

Tags:

Berita Terkait