Kode Etik Bersama LSM: Kebutuhan atau Kegenitan?
Kolom

Kode Etik Bersama LSM: Kebutuhan atau Kegenitan?

Penggiat LSM dianggap perlu merumuskan kode etik bersama untuk menjaga kualitas dan kinerja kerja mereka. Pendapat tersebut berasal dari Rustam Ibrahim, pimpinan tim riset Program Perumusan dan Penyusunan Kode Etik LSM LP3S, dalam seminar dengan tema "Membangun LSM yang Kuat dan Sehat, Demokratis, Transparan dan Akuntabel: Perspektif Multipihak" yang diadakan di Jakarta beberapa waktu lalu.

Bacaan 2 Menit
Kode Etik Bersama LSM: Kebutuhan atau Kegenitan?
Hukumonline

Rustam Ibrahim menggolongkan tiga jenis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang dianggap berperilaku menyimpang. Pertama LSM pencari proyek untuk mendapatkan lungsuran dana dari lembaga donor. Kedua, LSM yang melakukan politik praktis, misalnya aktif saat pemilihan gubernur atau kepala daerah. Ketiga, LSM yang melakukan pemerasan dengan mengumpulkan fakta tokoh tertentu kemudian meminta bayaran dari si tokoh agar mereka menutup mulut.

Dari penggolongan tiga jenis LSM ini, Rustam berpendapat perlu adanya kode etik yang bisa mengatur agar aktivitas LSM bekerja lebih transparan dan akuntabel. Dengan penandatanganan atau persetujuan akan kode etik tersebut, LSM diharapkan akan lebih terpacu untuk memiliki prinsip moral dalam bekerja. Selain itu, kode etik dimaksud menjadi penting karena LSM perlu mendefinisikan dirinya sebagai badan hukum dan memperjelas visi, misi, serta pertangggunjawabannya untuk menjaga akuntabilitas.

Pernyataan dan riset LP3S ini menjadi penting apabila kita mencermati begitu banyak berita miring mengenai aktivitas LSM akhir-akhir ini. Misalnya, soal penggelapan dana banjir sebagaimana dituduhkan Farid Faqih dari Gowa pada ICE on Indonesia sampai tuduhan bahwa Urban Poor Consortium (UPC) menjual isu kemiskinan untuk mendapatkan dana asing, sehingga bentrok dengan Forum Betawi Rempug (FBR).

Ada beberapa pertanyaan yang timbul dari uraian fakta di atas. Pertama, mengapa kode etik dianggap bisa menjawab permasalahan praktek menyimpang LSM? Kedua, mekanisme bagaimanakah yang mungkin untuk mengawasi perilaku pekerja LSM? Untuk menjawab pertanyaan di atas, mungkin perlu kita lihat sekilas mengenai tawaran di atas, yaitu mengenai kode etik.

Kalangan yang secara tradisional diatur oleh kode etik biasanya adalah kalangan profesional, yaitu dokter, arsitek, ahli hukum (termasuk di dalamnya hakim dan jaksa) dan wartawan. Mereka disebut profesional karena ada jaminan kualitas pada hasil kerjanya, suatu hal yang membedakan mereka dengan 'ahli' (Suseno: Gramedia, 1999).  Kalangan profesional dianggap perlu diatur oleh kode etik karena mereka mewakili kliennya, sampai pada tingkat tertentu, untuk bertindak mengatasnamakan kliennya (Daryl Koehn: Kanisius, 1997). 

Dengan adanya kode etik, dan kemudian diikuti oleh standar profesi, klien sebagai pihak yang diasumsikan memiliki keterbatasan dalam bidang tertentu (misalnya beracara di muka pengadilan atau melakukan pembedahan atas dirinya sendiri) bisa lebih terlindungi hak-haknya. Perbedaan antara kode etik dengan standar profesi adalah yang kedua merupakan standar minimal layanan yang harus diberikan seorang profesional terhadap kliennya. Sementara kode etik adalah aturan perilaku seorang profesional dalam memberikan layanan pada klien.

Kode etik dianggap perlu karena dalam melayani kliennya, seorang profesional dianggap memiliki konflik yang secara internal perlu diatasi dengan adanya aturan yang membatasi perilakunya. Konflik internal yang dimaksud adalah jenis konflik yang memposisikan seorang profesional harus memilih tindakan. Apakah ia akan bertindak sesuai dengan kata hatinya, ataukah sesuai dengan nilai-nilai kode etik yang harus ia anut sesuai dengan profesinya?

Untuk advokat misalnya, seorang advokat harus menggabungkan diri atau memfasilitasi advokat lain yang dianggap lebih pandai untuk kasus yang ia tangani apabila advokat pertama tidak mampu memenuhi permintaan kliennya. Hal ini diatur dalam Kode Etik Advokat AS yang melarang advokat menyebutkan dirinya sebagai spesialis (Koehn:1997).

Kode etik sebagai autonomic legislation

Dalam pidato pengukuhan guru besarnya, Prof. Valerine J.L Kriekhoff  menyinggung mengenai pentingnya aturan internal suatu komunitas (autonomic legislation) sebagai alternatif sumber hukum formal dalam penelitian hukum (Kriekhoff: tanpa penerbit, 1997). Contoh yang diungkapkan Kriekhoff adalah serikat-serikat pekerja yang mengatur dan menentukan hak dan kewajiban anggotanya.  Atau organisasi profesi yang semakin beragam dan menciptakan hukum yang bersifat otonom dalam bentuk kode etik.

Autonomic legislation dianggap penting karena penciptaan hukum internal untuk suatu komunitas sebagaimana disebutkan diatas merupakan suatu tuntutan. Mengapa demikian?  Menurut Moore (Kriekhoff:1997), adalah ketidakmampuan negara modern untuk memfasilitasi pembuatan peraturan untuk semua kalangan, sebagai konsekuensi negara modern khususnya dalam hal pembagian kekuasaan, sehingga autonomic legislation  dipandang sebagai tuntutan.

Secara umum, kode etik ditegakkan oleh dewan yang dibentuk oleh komunitas profesi yang dipilih berdasarkan penguasaan ilmu, integritas dan, kadang-kadang, senioritas para anggotanya. Pola seperti ini yang dilakukan oleh para advokat dan dokter Indonesia (PSHK: 2001).

Apabila dikembalikan pada posisi LSM, yang menjadi masalah adalah heterogenitas komunitas LSM. Relatif tidak sulit bagi komunitas yang homogen seperti dokter, advokat, atau wartawan untuk melakukan penilaian atau judgment atas perilaku menyimpang dari anggota komunitasnya.  Bandingkan dengan LSM yang memiliki ruang aktivitas yang hampir sama dengan jenis pekerjaan yang ada di dunia. Bisa dipastikan, masing-masing ruang publik memiliki sekelompok orang terorganisasi rapi yang melakukan pengawasan, pendampingan, pengkajian kebijakan, dan peninjauan peraturan atas suatu obyek.

Kemudian apabila dikaitkan dengan penegakan kode etik, metode pemberian sanksi sebagai alat kontrol perilaku akan menjadi sulit karena diperlukan dewan etik sebagai pelaksana. Mengapa sulit? Kembali ke faktor heteregonitas LSM itu sendiri, bagaimana seorang pekerja LSM bisa menilai perilaku rekannya apabila ruang lingkup aktivitas mereka sendiri jauh berbeda?

Asumsi saya, mengapa kode etik yang dipilih sebagai solusi praktek menyimpang kalangan LSM adalah pertama, timbulnya anggapan kalangan LSM identik dengan 'profesional', sehingga mereka dianggap perlu diatur melalui kode etik. Kedua, keberadaan kode etik akan memperkuat kontrol diri yang lebih kuat ketimbang pengaturan melalui undang-undang. Apalagi ada kecurigaan apabila LSM aktivitasnya diatur oleh undang-undang, peluang intervensi negara terhadap LSM menjadi besar.

Apabila kita membandingkan pemberlakuan kode etik di beberapa komunitas profesi di Indonesia, hampir tidak ada yang bisa dijadikan role model yang cukup baik sebagai contoh apabila hal yang sama akan diterapkan untuk komunitas LSM. Kode etik advokat masih berkutat pemberlakuannya dengan rencana pengundangan RUU Advokat. Kode Etik Kedokteran hasil putusannya cenderung eksklusif dan cenderung mengabaikan kewajiban pengumuman putusan pada masyarakat. Sedangkan Kode Etik Jurnalistik, meski relatif lebih baik kontrolnya, masih belum bisa menjawab beberapa tuntutan mengenai media porno misalnya.

Alternatif pengaturan praktek LSM

Kemudian untuk menjawab pertanyaan berikutnya mengenai alternatif pengawasan praktek LSM, pada hemat saya, sedikit banyak karena adanya faktor stereotyping mengenai aktivitas LSM itu sendiri. Terkadang, ada romantisasi yang berlebih pada pekerja LSM. Antara lain, pekerja LSM honorariumnya cenderung rendah malah cenderung tidak ada duitnya karena bekerja semata-mata demi idealisme. Paradigma semacam ini jadi penting untuk diubah karena pelekatan stereotip tersebut akan berakibat kontraproduktif bagi aktivitas LSM itu sendiri.

Kontraproduktivitas yang saya maksud adalah idealisasi yang berlebih cenderung mengaburkan pentingnya kontrol eksternal terhadap praktek LSM itu sendiri. Apabila kita semua sepakat bahwa aktivitas LSM adalah ruang yang tidak vakum dari intervensi modal, kekuasaan dan korupsi, maka aturan mengenai praktek LSM seharusnya tidak masalah.

Yang harus jadi perhatian adalah materi aturan tersebut dan bagaimana kontrol serta partisipasi terhadap proses dan pelaksanaannya. Hal ini penting mengingat pelajaran proses dan pengesahan UU Yayasan yang sedikit banyak luput dari pengawasan kalangan LSM (www.hukumonline.com., 16 Oktober 2000). Hal ini menjadikan pengaturan apapun yang kelak akan dibuat, penekannya harus pada pengembangan LSM, bukan materi yang semata-mata bersifat mengatur.

Apabila kita belajar dari pengalaman negara lain seperti Filipina dan Thailand (Asia Pacific Philanthropy Consortium: Fristi Utama, 1999), pendekatan pengembangan-lah yang cenderung dikedepankan ketimbang pengaturan LSM oleh negara.

Sebagai alternatif, pendekatan serupa bisa dilakukan oleh Indonesia ketimbang mengupayakan kode etik bersama LSM. Meski terdengar positivistik, adanya dasar hukum dengan orientasi pengembangan, akan mempermudah pekerja LSM untuk meningkatkan integritas diri dan institusinya. Ketimbang, kode etik yang selain pengalamannya secara lokal buruk, juga masih rancu siapa institusi pelaksana pengawasannya.

Sementara ini, apabila ada dugaan kecurigaan penyimpangan praktek LSM, bisa ditempuh jalur yang dilakukan Farid Faqih, Koordinator Gowa, dengan mengadukan pihak yang dicurigai kepada polisi. Meski pilihan ini bukan yang terbaik, ketimbang menuduh kanan-kiri,  kecurigaan pada aktivitas LSM sebaiknya dituntaskan sekalian di hadapan polisi. Diharapkan dengan adanya contoh demikian, kalangan LSM yang hendak coba-coba bisa belajar dari pengalaman rekan mereka.

 

Gita Putri Damayana adalah peneliti di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)

Tags: