Koalisi Minta Presiden Batalkan Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM
Terbaru

Koalisi Minta Presiden Batalkan Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM

Keppres Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu dinilai malah melahirkan sejumlah kontroversi serta berpotensi membuat impunitas semakin menguat di Indonesia.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit

“Padahal telah keliru menyatakan bahwa kasus tersebut bukanlah pelanggaran HAM berat,” kata Ketua UmumYLBHI ini.

Selain itu, pernyataan Presiden Jokowi terkait proses pembahasan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) perlu ditelisik lebih jauh. Sebab, sepanjang catatan Koalisi, proses di internal pemerintah pun tidak melibatkan partisipasi publik. Terutama penyintas dan keluarga korban. Bahkan, tak adanya pembahasan lebih lanjut mengenai korelasi antara fungsi KKR dan peranannya dalam proses hukum di Pengadilan HAM.

Menurutnya, pengalaman dibatalkannya UU No.27 Tahun 2004 tentang KKR oleh Mahkamah Konstitusi tak juga membuat pembahasan mengenai bentuk KKR yang sesuai dengan ketentuan hukum dan HAM secara internasional bagi kepentingan korban dan publik. Terlebih, prosesnya tak dapat diakses oleh publik.

Anggota Koalisi lain, Suciwati menyoroti Keppres Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu yang malah melahirkan sejumlah kontroversi serta berpotensi membuat impunitas semakin menguat di Indonesia. Mulai dari proses yang tertutup, hingga dokumen yang tak kunjung dapat diakses. Sebaliknya malah menjadi tanda tanya soal latar belakang, motif, dan komposisi individu yang dipilih presiden mengisi tim tersebut.

“Kami melihat upaya untuk memisahkan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu berbasis metode yudisial dan non-yudisial hanya sebagai kamuflase dari lemahnya negara untuk menindak para pelaku kejahatan kemanusiaan dan luar biasa di Indonesia ini,” ujarnya.

Istri mendiang aktivis HAM Munir itu melanjutkan, Koalisi belum melihat rujukan regulasi atau standar norma pengaturan yang presiden dan jajarannya pilih dalam menyusun beleid tersebut. Sebab, tak ada dikotomi terminologi yudisial dan non-yudisial di dua regulasi utama soal penanganan pelanggaran HAM berat yakni UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Menurut Koalisi, kata Suciwati, Keppres tersebut secara tegas memperlihatkan pemerintah mengutamakan mekanisme non-yudisial dalam penanganan pelanggaran HAM berat masa lalu dijadikan jalan pintas untuk menuntaskan pelanggaran HAM berat. Padahal, hal tersebut hanyalah cara yang dipilih pemerintah melayani pelanggar HAM berat masa lalu agar terhindar dari mekanisme yudisial.

Tags:

Berita Terkait