Koalisi Minta Pembentukan Komponen Cadangan Ditunda
Berita

Koalisi Minta Pembentukan Komponen Cadangan Ditunda

Pemerintah lebih baik membenahi profesionalisme komponen utama dan menjalankan reformasi militer sebagaimana mandat TAP MPR No.VII Tahun 2000, UU TNI, serta merevisi UU Peradilan Militer.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi TNI: HGW
Ilustrasi TNI: HGW

Jelang akhir masa jabatan DPR periode 2014-2019, masyarakat dikejutkan dengan terbitnya beberapa produk legislasi, diantaranya revisi UU KPK dan UU No.23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (UU PSDN). Sejak awal, koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menolak keberadaan UU PSDN karena dinilai tidak mengadopsi standar dan prinsip HAM. Kini, Koalisi mengkritik rencana pemerintah membentuk komponen cadangan seperti mandat Pasal 5 ayat (1) huruf c UU PSDN.

 

Wakil Direktur Imparsial Gufron Mabruri menilai pembentukan komponen cadangan belum urgen atau perlu mengingat banyak masalah utama yang harus dibenahi pemerintah dalam rangka reformasi militer. Merujuk Pasal 7 ayat (2) UU No.3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, Gufron menjelaskan sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman militer menempatkan TNI sebagai komponen utama didukung komponen cadangan dan komponen pendukung.

 

Ketentuan itu menegaskan komponen utama merupakan elemen penting dalam sistem pertahanan negara untuk menghadapi ancaman militer. “Pembangunan dan perbaikan komponen utama harus menjadi prioritas. Kami menolak UU PSDN dan rencana pemerintah membentuk komponen cadangan,” kata Gufron dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (11/3/2020). Baca Juga: Bermasalah, Koalisi Bakal Uji UU PSDN

 

Menurut Gufron, saat ini bukan waktu yang tepat untuk membentuk komponen cadangan. Banyak persoalan yang harus dibenahi dalam komponen utama, seperti kesejahteraan prajurit, perumahan, dan profesionalisme. Salah satu upaya yang tepat mendorong profesionalisme komponen utama yakni merevisi UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

 

“Pemerintah juga perlu merevisi UU PSDN karena UU itu tidak mengadopsi standar dan prinsip HAM serta membuka peluang sumber pendanaan di luar APBN yang berpotensi menimbulkan pelanggaran,” sebutnya.

 

Peneliti Imparsial Hussein Ahmad melanjutkan Kementerian Pertahanan berencana membuka pendaftaran komponen cadangan dan pelatihannya akan digelar Juli 2020. Tapi, Hussein mengingatkan pemerintah harus memiliki skala prioritas dalam membangun sistem pertahanan. “Tidak tepat jika saat ini pemerintah memprioritaskan pembentukan komponen cadangan,” kata Hussein dalam kesempatan yang sama.

 

Hussein juga mengkritik sikap pemerintah yang tertutup dalam menyusun draft Peraturan Pemerintah (PP) yang akan digunakan untuk menjalankan UU PSDN ini. Sampai saat ini Imparsial belum melihat pihak pemerintah mengundang masyarakat untuk dimintai pendapatnya. “Tidak ada keterlibatan publik dalam membahas draft PP tersebut,” ujarnya.

 

Peneliti HRWG Jesse Halim menyebut ada masalah dalam aturan hukum pembentukan komponen cadangan sebagaimana diatur UU PSDN. Misalnya, definisi ancaman sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (2) dinilai terlalu luas. Ketentuan itu mengatur ancaman terdiri dari militer, nonmiliter, dan hibrida. Luasnya definisi ancaman itu bisa diartikan komponen cadangan yang telah dibentuk akan disiapkan untuk menghadapi ancaman dalam negeri. Sama seperti dalih pemerintah selama ini untuk menghadapi ancaman komunisme dan terorisme yang menimbulkan konflik horizontal di masyarakat.

 

“Pembentukan dan penggunaan komponen cadangan harus diorientasikan mendukung komponen utama (TNI) dalam menghadapi ancaman militer dari luar,” ujar Jesse mengingatkan.

 

Pengacara publik LBH Jakarta Darmawan Subakti menegaskan UU PSDN tidak mengadopsi standar dan prinsip HAM. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan yang mengatur tentang “kesukarelaan” dalam pembentukan komponen cadangan. Harusnya prinsip ini dipandang secara luas, bukan hanya saat pendaftaran, tapi juga ketika mobilisasi. Anggota komponen cadangan harus diberi ruang mengubah pilihan mereka atas dasar kepercayaan (censcientious objection).

 

Darmawan juga mengkritik ancaman pidana bagi komponen cadangan yang tidak memenuhi panggilan mobilisasi sebagaimana diatur Pasal 77 ayat (1) UU PSDN. Adanya sanksi pidana ini menunjukkan komponen cadangan bukan bersifat sukarela, tapi wajib. “Absennya pasal yang menolak penugasan militer karena bertentangan dengan kepercayaan merupakan pelanggaran Pasal 18 Kovenan Sipil dan Politik,” lanjutnya.

 

Prinsip kesukarelaan dalam UU PSDN juga bermasalah karena mekanisme pendaftaran sukarela tidak berlaku terhadap unsur sumber daya alam (SDA) dan sumber daya buatan (SDB). Pendaftaran sukarela hanya untuk komponen cadangan dari unsur warga negara. Pembentukan komponen cadangan unsur SDA dan SDB melalui penetapan oleh Menteri Pertahanan. Ketika ditetapkan, pemilik atau pengelola SDA/SDB itu wajib menyerahkannya untuk dibina dan dimobilisasi.

 

“Hal ini membuka peluang penyalahgunaan dengan dalih pembentukan komponen cadangan, penggunaan kewenangan itu digunakan untuk menguasai berbagai SDA/SDB yang dimiliki secara perseorangan baik swasta atau warga negara,” papar Darmawan.

 

Peneliti ICW Wana Alamsyah menyoroti penerapan hukum militer pada komponen cadangan. Pasal 46 UU PSDN mengatur komponen cadangan selama aktif diberlakukan hukum milter. Sebelum membentuk komponen cadangan dan memberlakukan hukum militer, Wana mengingatkan pemerintah wajib menjalankan mandat TAP MPR No.VII Tahun 2000 yang menyatakan prajurit TNI tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran pidana umum. Ketentuan serupa juga diatur dalam Pasal 65 ayat (2) UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI.

 

Wana menyebut mekanisme pembiayaan dalam UU PSDN mengabaikan prinsip sentralisasi anggaran. Pasal 75 huruf b dan c UU PSDN menyebutkan pembiayaan pengelolaan sumber daya nasional melalui APBD dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat disamping dari APBN. “Pasal 25 ayat (1) UU Pertahanan Negara sudah mengatur pertahanan negara dibiayai dari APBN. Ayat (2)-nya menyebutkan pembiayaan pertahanan negara ditujukan untuk membangun, memelihara, mengembangkan, dan menggunakan TNI serta komponen pertahanan lainnya,” paparnya.

 

Atas dasar itu, Koalisi mendesak 3 hal. Pertama, Presiden Joko Widodo harus menunda rencana pembentukan komponen cadangan. Kedua, DPR perlu segera melakukan legislative review terhadap UU PSDN sebelum dilaksanakan. Ketiga, Presiden perlu memprioritaskan penguatan komponen utama (TNI) dalam membangun pertahanan negara. Langkah yang bisa ditempuh antara lain meningkatkan kesejahteraan prajurit, penguatan profesionalisme, modernisasi alutsista, dan payung hukumnya.

 

Seperti dilansir sejumlah media, Kementerian Pertahanan (Kemhan) akan membentuk Komponen Cadangan (Komcad) untuk memperkuat komponen utama TNI ketika negara dalam keadaan bahaya atau darurat. Masyarakat dengan kriteria tertentu dapat mendaftarkan diri secara sukarela untuk menjadi bagian dari Komcad dan akan diberikan pelatihan dasar militer.

 

"Komcad itu bukan wajib militer, Komcad adalah untuk memperkuat komponen utama TNI. Dia bukan wamil, pendaftaran Komcad dibuka secara sukarela untuk usia 18-35 tahun," ujar Dirjen Potensi Pertahanan Kemhan, Bondan Tiara Sofyan usai diskusi di Kemhan, Jakarta Pusat, Kamis (20/2/2020).

 

Bondan menjelaskan sesuai UU Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (PSDN), di dalam sistem pertahanan Indonesia terdapat komcad. Menurut dia, aturan tersebut membuat pembentukan Komcad secara legal memiliki dasar hukum kuat dan akan dioperasionalkan.

 

"Untuk itu perlu peraturan pemerintah (PP). PP-nya masih dalam proses. Sudah selesai harmonisasi, sekarang masih dalam proses pembahasan akhir di Setneg. Begitu PP-nya selesai kita segera sosialisasi," katanya.

Tags:

Berita Terkait