Koalisi Masyarakat Sipil Minta Semua Pihak Utamakan Kemanusiaan
Berita

Koalisi Masyarakat Sipil Minta Semua Pihak Utamakan Kemanusiaan

Kemanusiaan lebih utama ketimbang politik.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Aksi 22 Mei di Bawaslu berakhir ricuh. Foto: RES
Aksi 22 Mei di Bawaslu berakhir ricuh. Foto: RES

Demonstrasi yang berujung kerusuhan pada 22 Mei 2019 di Jakarta mendapat sorotan dari kalangan organisasi masyarakat sipil yang bergerak di bidang perlindungan HAM. Ketua Umum YLBHI, Asfinawati, menilai ketegangan politik sudah terjadi sekitar setahun terakhir. Ketegangan politik itu pecah setelah KPU mengumumkan hasil rekapitulasi suara Pemilu 2019.

 

Sebagian kelompok masyarakat yang tidak menerima hasil keputusan KPU melakukan demonstrasi di beberapa tempat salah satunya kantor Bawaslu RI. Demonstrasi itu berakhir ricuh dan menelan korban jiwa dan luka.

 

Dia melihat peristiwa kerusuhan ini polanya mirip kasus Malari 1974, dan Mei 1998 dimana ada isu yang digunakan untuk membangkitkan kemarahan dan sentimen publik. Penyebarannya sekarang semakin mudah melalui media sosial. Asfin berpendapat elit politik bertanggung jawab terhadap kerusuhan yang menimbulkan korban jiwa tersebut. Karena mereka membuat situasi semakin panas. Hal ini mudah diusut melalui rekam jejak digital.

 

“Semua menjadi korban. Di lapangan aparat kepolisian harus berhadapan dengan rakyat. Yang diuntungkan enterpreneur konflik,” kata Asfin saat jumpa pers di Jakarta, Kamis (23/5/2019). Baca Juga: Pembatasan Akses Medsos Dinilai Langgar Hak Publik

 

Menurut Asfin, semua pihak harus mengutamakan kemanusiaan. Ini yang pertama harus dilindungi karena tujuan bernegara sebagaimana tercantum dalam mukadimah konstitusi yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.

 

Direktur LBH Jakarta, Arif Maulana menilai elit politik telah memainkan masyarakat Indonesia dengan politik identitas, hoax, dan kontroversi. Semua itu dilakukan dengan mengabaikan etika dan nilai hukum. Masyarakat tidak diberi kesempatan untuk memilih pemimpin alternatif, karena Pemilu 2019 hanya ada 2 kandidat calon Presiden dan Wakil Presiden.

 

Wiranto selaku Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam), menurut Arif masih dipercaya untuk menangani masalah kebangsaan dan keamanan. Arif melihat Wiranto memainkan peran yang sama seperti masa orde baru. Padahal ada persoalan impunitas yang belum tuntas terkait dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu.

 

Selaras itu Arif mendesak Komnas HAM untuk melakukan penyelidikan terhadap kerusuhan yang terjadi 22 Mei 2019 itu. Adanya aparat TNI yang turun ke lapangan ikut menangani demonstrasi menurut Arif tidak tepat karena kepolisian masih mampu dan belum masuk masa genting.

 

Keterlibatan TNI dalam menangani demonstrasi harus berdasarkan perintah otoritas sipil, setidaknya ada Instruksi Presiden. Tapi keterlibatan itu, bagi Arif hanya berlandaskan MoU antara Polri dan TNI dalam rangka bantuan TNI untuk menangani demonstrasi. “Ini ranah penegakan hukum, harusnya aparat kepolisian saja yang menangani,” ujar Arif.

 

Arif mengingatkan agar para pihak yang ditangkap oleh aparat kepolisian harus diberikan haknya seperti akses terhadap bantuan hukum. Lebih jauh, Arif menegaskan aparat kepolisian jangan hanya menjerat pelaku lapangan, tapi juga aktor intelektual kerusuhan.

 

Koordinator KontraS Jakarta, Yati Andriyani mencatat kekerasan terjadi di titik demonstrasi sekitar Petamburan, dan kantor Bawaslu RI. Kekerasan itu mengakibatkan sedikitnya 300 orang mengalami luka dan 6 meninggal. Dalam menjaga demonstrasi dan menangani dugaan kerusuhan, aparat kepolisian dituntut untuk mengutamakan pemenuhan hak untuk hidup bagi setiap orang.

 

Peristiwa ini menurut Yati menunjukan setelah 21 tahun reformasi, kekerasan politik masih terjadi di Indonesia. Salah satu penyebabnya karena politik impunitas, dimana kekerasan politik masa lalu seperti tragedi Mei 1998 tidak diselesaikan sampai tuntas, sehingga peristiwa serupa terus berulang dan masyarakat yang selalu menjadi korban. “Elit politik harus bertanggung jawab atas terjadinya peristiwa ini,” kata dia.

 

Yati mengapresiasi kerja keras aparat kepolisian dalam menangani demonstrasi ini. Tapi polisi harus menjunjung tinggi profesionalitas dan independen. Pendekatan yang dilakukan yakni penegakan hukum, bukan cara-cara yang politis. “Dalam mengendalikan situasi keamanan harus memperhatikan prinsip hukum dan HAM,” pintanya.

 

Direktur Eksekutif HRWG, Muhammad Hafiz, mengimbau aparat keamanan tidak sewenang-wenang menggunakan pendekatan represif dalam menangani demonstrasi. Hal ini telah diatur dalam sejumlah regulasi seperti Perkap No.7 Tahun 2012 mengatur tentang pengamanan dan penanganan perkara penyampaian publik di muka umum dan Perkap No.8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian.

 

HRWG menyesalkan tindak kekerasan yang menimpa jurnalis dan kelompok kemanusiaan dari Dompet Dhuafa. Hafiz menegaskan aparat harus memastikan jurnalis dan kelompok kemanusiaan dapat melaksanakan tugasnya. “Kekerasan terhadap jurnalis dalam proses peliputan aksi melanggar prinsip HAM dan menciderai semangat demokrasi. Insan pers harus dilindungi, baik secara individu maupun dalam aktivitas mereka menjalankan fungsi jurnalistiknya,” paparnya dalam keterangan pers, Jumat (24/5/2019).

 

Hafiz mengingatkan resolusi Dewan HAM PBB No.25/38 Tahun 2014 tentang Protes Damai, dijelaskan dalam situasi terpaksa aparat harus menggunakan represif kekerasan hal itu harus dilakukan dengan tidak merusak esensi dari aksi massa tersebut. Penindakan kekerasan harus dilihat sebagai pilihan terakhir dan tetap memperhatikan prinsip HAM.

Tags:

Berita Terkait