Koalisi Masyarakat Sipil Bakal 'Gugat' UU PDKJ ke MK
Terbaru

Koalisi Masyarakat Sipil Bakal 'Gugat' UU PDKJ ke MK

Karena substansinya berpotensi meminggirkan kepentingan masyarakat dan mengutamakan elit serta pemilik modal. Pembahasan pun tergesa-gesa dan mengabaikan partisipasi masyarakat secara bermakna.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Kiri-kanan: Moderator, Sekretaris Wilayah PBHI Jakarta Muhamad Ridwan Ristomoyo, Direktur Eksekutif LBH Jakarta Citra Referandum, dan Direktur Eksekutif Walhi Jakarta Suci Fitrah Tanjung saat konferensi pers di Jakarta, Rabu (3/4/2024). Foto: Istimewa
Kiri-kanan: Moderator, Sekretaris Wilayah PBHI Jakarta Muhamad Ridwan Ristomoyo, Direktur Eksekutif LBH Jakarta Citra Referandum, dan Direktur Eksekutif Walhi Jakarta Suci Fitrah Tanjung saat konferensi pers di Jakarta, Rabu (3/4/2024). Foto: Istimewa

Belum genap satu bulan DPR menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta (RUU PDKJ) menjadi UU, kalangan masyarakat sipil sudah pasang kuda-kuda bakal "menggugat" ke Mahkamah Konstitusi (MK). Aturan itu mengatur provinsi Jakarta yang tak lagi menyandang status sebagai Ibu Kota negara.

Tapi rupanya, masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Dewan Keprihatinan Jakarta menganggap proses pembahasan dan persetujuannya dilakukan tergesa-gesa. Alhasil mengabaikan partisipasi publik secara bermakna. Bahkan luput memperhatikanberagam aspek yang menjadi kebutuhan dasar Jakarta dan warganya.

Sekretaris Wilayah Perhimpunan Bantuan hukum dan hak asasi manusia (PBHI) Jakarta, Muhamad Ridwan Ristomoyo, mengatakan RUU PDKJ berkaitan dengan pemindahan ibu kota negara sebagaimana diatur UU No.21 Tahun 2023 tentang Perubahan atas UU No.3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara. Menurut Ridwan pembahasan RUU PDKJ sama seperti UU 21/2023, tergesa-gesa dan minim partisipasi publik secara bermakna.

“Pemindahan dan pembangunan ibu kota negara baru tersebut dinilai tidak memberi dampak secara langsung bagi rakyat, melainkan hanya menguntungkan segelintir orang saja. Belum lagi praktek Industri ekstraktif yang mengancam kerusakan ekologis,” katanya dalam konferensi pers, Rabu (3/4/2024) kemarin.

Baca juga:

Senada, Direktur LBH Jakarta, Citra Referandum mencatat sejak awal ada persoalan dalam substansi RUU PDKJ, tak hanya berkaitan dengan penunjukan Gubernur, yang sekarang telah dikembalikan lagi mekanismenya melalui pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung oleh rakyat. Tapi juga konsideran RUU PDKJ mirip UU yang diterbitkan dengan mekanisme omnibus law yakni semakin meminggirkan masyarakat miskin dan rentan.

“Kesejahteraan masyarakat dalam RUU DKJ hanya tempelan. Proses legislasinya saja sudah mengabaikan partisipasi publik secara bermakna, apalagi substansinya. Tanpa partisipasi masyarakat, kota Jakarta hanya dibangun untuk kepentingan elit dan pemilik modal,” ujarnya.

Indikasi pembangunan kota Jakarta akan didominasi kepentingan elit tertentu menurut Citra terlihat dari perintah dibentuknya Dewan Kota dan Dewan Aglomerasi. Jakarta sebagai kota perekonomian nasional dan global diyakini akan melahirkan banyak stempel proyek strategis nasional.

Direktur Eksekutif Walhi Jakarta, Suci Fitrah Tanjung menambahkan Dewan Kawasan Aglomerasi berfungsi sebagai alat legitimasi bagi elit korporat dan politik untuk mengekang kemandirian dan otonomi daerah dengan mengatur pelaksanaan rencana induk kawasan aglomerasi oleh kementerian/lembaga dan pemerintah daerah serta ditunjuk langsung oleh Presiden. Berdasarkan Pasal 53 rencana induk tersebut didasarkan pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, serta Kebijakan Strategis Pusat dan Jakarta sebagai Kota Global yang menjadi pusat bisnis.

“Sehingga hal ini hanya untuk memperkuat dominasi kapitalis dan oligarki politik semata dan merugikan kepentingan rakyat, terutama di kawasan aglomerasi yang seharusnya menjadi fokus pembangunan yang berkelanjutan ekologis,” ujar Suci.

Begitu pula Badan Layanan Bersama (BLB) yang diatur Pasal 57 dalam draf RUU PDKJ, dibentuk dalam rangka penyediaan layanan lintas daerah pada kawasan aglomerasi yang dipimpin oleh Kepala Badan dan dibantu Wakil Kepala Badan berdasarkan keputusan bersama kepala daerah setelah mendapat persetujuan DPRD dengan mempertimbangkan proporsi modal dan/atau saham masing-masing daerah. BLB tersebut mengarah pada pengusahaan sektor-sektor pelayanan publik yang berorientasi pada keuntungan daerah.

Artinya, sistem kerja sama antar daerah lewat mekanisme BLB ini berpotensi menghambat pemenuhan hak dasar. Sebab, BLB dapat meletakan warga di dalam kawasan aglomerasi sebagai bagian dari konsumen yang dapat menjadi sumber daya perputaran modal di tingkat daerah. Dua institusi yang pembentukannya dilegitimasi dalam UU DKJ ini terlihat hanya membagi kue ekonomi politik antara pusat dan daerah meski melalui kelembagaan ini juga berpotensi memperkuat konflik antar daerah maupun antar pusat dan daerah.

Libatkan warga menentukan nasib Jakarta

Setelah status Jakarta sebagai Ibu Kota negara dicabut, Suci berpendapat seharusnya warga dilibatkan untuk menentukan nasib Jakarta ke depan. Caranya bisa melalui referendum atau konsultasi publik secara luas. Dengan begitu pembangunan jakarta muncul dari semangat warga membangun kotanya. Sampai saat ini koalisi sedang mempertimbangkan untuk mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas UU DKJ ke Mahkamah Konstitusi (MK).

“Masih kita diskusikan,” imbuhnya.

Anggota Ikatan Arsitektur Indonesia John Muhammad mengatakan masyarakat berkepentingan menolak RUU DKJ. Sebab rancangan beleid itu tidak mencermati pembangunan yang berprinsip terwujudnya keadilan ruang. Pembangunan kota tak sekedar berbagi ruang antar kelompok dan golongan masyarakat, tapi juga penting memastikan kebudayaan setiap kelompok tersebut tetap hidup.

“Konsep aglomerasi ini sifatnya sentralistik antara daerah dengan kota besar. Maka Jakarta akan mempengaruhi pertumbuhan dan mengganggu perkembangan identitas wilayah sekitarnya,” paparnya.

Pembangunan kota secara sentralistik menutup dialog antara warga dan pemerintah. Warga harus terlibat aktif membangun kotanya, dan bukan ditentukan oleh elit dan kartel. Bahkan John mengingatkan jangan sampai Jakarta menjadi kota gagal yang salah satu cirinya adalah kepentingan warga semakin terpinggirkan.

“Tanpa partisipasi publik dan demokrasi, 'ruh' sebuah kota pasti mati,” tutupnya.

Tags:

Berita Terkait