Koalisi Kritisi 20 Capim KPK hingga Kinerja Pansel
Utama

Koalisi Kritisi 20 Capim KPK hingga Kinerja Pansel

Presiden Joko Widodo diminta mengevaluasi kinerja Pansel Capim KPK agar lebih peka dan responsif terhadap masukan masyarakat serta mencoret nama-nama yang tidak patuh melaporkan LHKPN dan mempunyai rekam jejak bermasalah.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Ketua Pansel Capim KPK Yenti Garnasih didampingi anggota pansel saat mengumumkan tahapan seleksi Capim KPK. Foto: RES
Ketua Pansel Capim KPK Yenti Garnasih didampingi anggota pansel saat mengumumkan tahapan seleksi Capim KPK. Foto: RES

Panitia seleksi calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (Pansel Capim KPK) merilis siapa saja nama para calon yang lolos dalam tahap profile assesment. Dari 40 orang peserta yang mengikuti profile assessment, ada 20 orang yang terpilih untuk mengikuti proses selanjutnya yaitu tes kesehatan pada 26 Agustus serta wawancara dan uji publik pada 27-29 Agustus 2019 mendatang.

 

“Sebanyak 20 peserta yang lolos ini wajib melanjutkan seleksi ke tahapan selanjutnya yaitu tes kesehatan, wawancara, dan uji publik,” ujar Ketua Pansel KPK Yenti Ganarsih di Gedung Kemensetneg, Jakarta, Jumat (23/8/2019). Baca Juga: Catatan KPK terhadap 20 Capim

 

Nama-nama yang lolos tersebut mewakili beberapa unsur mulai dari perwakilan KPK, akademisi, Kepolisian, Kejaksaan, Badan Pemeriksa Keuangan, Kementrian, konsultan hukum/advokat, hingga hakim. Yang cukup menarik yaitu ada satu nama perwakilan konsultan hukum/advokat yang masih bertahan hingga kini yaitu Lili Pintauli Siregar.

 

Wanita yang merupakan mantan Komisioner Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) ini menyisihkan 38 orang dari profesi yang sama sejak tahap seleksi administrasi. Lili kini menjadi satu-satu capim KPK yang berasal dari unsur konsultan hukum/advokat.

 

Kemudian dari unsur hakim ada satu nama yang masih bertahan yaitu Nawawi Pomolango, yang bertugas di Pengadilan Tinggi Denpasar. Lolosnya mantan hakim Pengadilan Tipikor Jakarta ini dianggap menarik karena ia merupakan satu-satunya unsur pengadil yang berhasil lolos hingga tahap profile assesment.

 

I Wayan Nara, auditor BPK juga lolos ke tahap berikutnya. Nama Wayan mulai mencuat ketika dirinya digugat secara perdata oleh Sjamsul Nursalim melalui kuasa hukumnya Otto Hasibuan di Pengadilan Negeri Tangerang terkait audit investigasi BPK dalam perkara Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI).

 

Selanjutnya nama Laode M Syarif, tidak ada dalam 20 daftar nama yang lolos seleksi. Dengan tersingkirnya Syarif, otomatis hanya sisa dua perwakilan KPK dalam proses selanjutnya yaitu Alexander Marwata yang juga komisoner dan Sujanarko yang menjabat Direktur Pembinaan Jaringan dan Kerja Sama Antar Komisi dan Instansi (PJKAKI).

 

Unsur Kejaksaan ada nama Sugeng Purnomo yang menjabat Kajati Sumsel dan Supardi, Koordinator Pidsus di Kejaksaan Agung yang juga pernah menjabat Direktur Penuntutan di KPK. Sementara unsur Kepolisian menjadi paling banyak yang lolos seleksi tahap selanjutnya dengan 4 orang wakilnya, yaitu Antam Novambar, Bambang Sri Herwanto, Firli Bahuri, dan Sri Handayani.

 

Yang cukup menjadi perhatian adalah nama Antam Novambar yang sempat menjadi kontroversi. Dilansir majalah Tempo Edisi 16 Februari 2015, ia dianggap ikut terlibat mengintimidasi Direktur Penyidikan KPK kala itu, Endang Tarsa dalam penetapan tersangka Budi Gunawan. Tapi Antam membantah hal tersebut dan menyebut pertemuan dengan Endang hanya silaturrahmi dan berjalan dengan baik. Dibalik kontroversinya, Antam juga meraih sejumlah penghargaan salah satunya Bintang Bhayangkara Pratama dari Presiden Joko Widodo pada 2017.

 

Tidak mendengar

Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) FH UNAND dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menganggap Pansel KPK tidak mendengarkan suara masyarakat, sehingga Presiden Joko Widodo harus mengevaluasinya. 

 

"Masa depan pemberantasan korupsi terancam. Kondisi ini disebabkan proses seleksi Pimpinan KPK yang menyisakan berbagai persoalan serius. Mulai dari tindakan atau pernyataan Pansel, proses seleksi, hingga calon-calon yang tersisa sampai sejauh ini," tulis Koalisi dalam keterangan persnya. Baca Juga:  Pansel Capim KPK Klaim Sudah Kantongi Sejumlah Nama Terbaik 

 

Koalisi setidaknya mencatat dua hal utama yang patut dicatat selama proses pemilihan calon pimpinan. Pertama, Pansel seakan tidak menghiraukan masukan dari berbagai elemen masyarakat. Respon yang diberikan oleh Pansel dianggap negatif dan defensif, padahal penyikapan atas langkah-langkah yang diambil dalam penjaringan pimpinan KPK bukan hanya oleh kalangan masyarakat sipil antikorupsi, namun sudah mencakup perwakilan organisasi agama hingga mantan pimpinan KPK. 

 

Penyikapan tersebut diantaranya yaitu isu terkait radikalisme. Pada 25 Juni 2019 Pansel menghembuskan isu radikalisme pada proses pemilihan Pimpinan KPK. Hal ini dianggap tidak relevan, karena seharusnya yang disuarakan oleh Pansel adalah aspek integritas. "Posisi ini memperlihatkan keterbatasan pemahaman Pansel akan konteks dan mandat KPK sebagai penegak hukum," tulis Koalisi. 

 

Kedua, adanya penegak hukum yang masih aktif di institusi asal menjadi calon pimpinan KPK. Pada 26 Juni 2019, Pansel menyebutkan bahwa lebih baik Pimpinan KPK ke depan berasal dari unsur penegak hukum. Alasan Pansel lantaran penegak hukum dipandang lebih berpengalaman dalam isu pemberantasan korupsi. 

 

"Logika ini keliru, karena seakan Pansel tidak paham dengan original intens pembentukan KPK. Sejarahnya KPK dibentuk karena lembaga penegak hukum konvensional tidak maksimal dalam pemberantasan korupsi. Pertanyaan lebih jauh, apa saat ini penegak hukum lain telah baik dalam pemberantasan korupsi? Berbagai penelitian dan survei masih menempatkan penegak hukum dalam peringkat bawah untuk penilaian masyarakat dalam pemberantasan korupsi. Pansel KPK juga gagal memperhitungkan potensi konflik kepentingan jika kelak penegak hukum aktif terpilih menjadi Pimpinan KPK," terangnya.

 

Selanjutnya mengenai kepatuhan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Dalam berbagai kesempatan Pansel kerap menyebutkan bahwa isu kepatuhan LHKPN tidak dijadikan faktor yang menentukan dalam proses seleksi Pimpinan KPK. Padahal ada 2 poin penting pada isu ini, pertama Pansel tidak memahami bahwa untuk mengukur integritas seorang penyelenggara negara atau penegak hukum salah satu indikator yang digunakan adalah kepatuhan LHKPN. 

 

Kedua, LHKPN merupakan perintah undang-undang kepada setiap penyelenggara negara maupun penegak hukum. Ini sesuai dengan mandat dari UU No 28 Tahun 1999 dan Peraturan KPK No 07 Tahun 2016. Sederhananya, bagaimana mungkin seorang Pimpinan KPK yang kelak akan terpilih justru figur-figur yang tidak patuh dalam melaporkan LHKPN. 

 

Koalisi juga mempertanyakan mengapa Keppres pembentukan Pansel tidak dapat diakses publik. Pada 10 Juli 2019 LBH Jakarta mengirimkan surat permintaan salinan Keputusan Presiden Nomor 54/P Tahun 2019. Namun sayangnya pihak Sekretariat Negara tidak memberikan dengan alasan bahwa hanya diperuntukan untuk masing-masing anggota Pansel saja. 

 

"Padahal berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Informasi Publik, Kepres Pansel KPK merupakan informasi publik dan bukan termasuk informasi yang dikecualikan," jelasnya. 

 

Waktu proses seleksi yang tidak jelas juga menjadi perhatian Koalisi. Menurut mereka sejak awal pembentukan Pansel tidak ada sama sekali pemberitahuan bagi publik terkait jadwal pasti proses seleksi Pimpinan KPK. Hal ini dinilai merugikan para calon serta masyarakat sebagai fungsi control. Karena itu, Koalisi berpendapat Pansel telah gagal dalam mendesain agenda besar seleksi Pimpinan KPK 2019-2023.

 

Catatan berikutnya, Koalisi menilai Pansel menginginkan KPK fokus pada isu pencegahan. Pernyataan ini dilontarkan oleh Pansel ketika merespon pidato dari Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu. Saat itu salah seorang anggota Pansel menyebutkan agar KPK ke depan lebih baik pada aspek pencegahan. 

 

Seharusnya bagaimana politik penegakan hukum dilakukan oleh KPK bukan menjadi bagian Pansel KPK untuk menerjemahkan. "Logika keliru, karena bagaimanapun di tengah praktik korupsi yang masih masif dan indeks persepsi korupsi yang juga tidak merangkak naik signifikan, maka pencegahan juga harus diikuti dengan langkah penindakan," jelas Koalisi. 

 

Masa depan suram

Sementara itu terkait nama-nama yang lolos seleksi, Koalisi menilai 20 orang tersebut tidak menggambarkan masa depan cerah bagi KPK ke depan. Masih ada calon diantara 20 nama tersebut yang tidak patuh dalam melaporkan LHKPN. 

 

Selain itu, ada juga beberapa nama yang dinyatakan lolos seleksi mempunyai catatan kelam pada masa lalu. Hal ini dianggap Pansel tidak mempertimbangkan isu rekam jejak dengan baik, sebab calon-calon dengan rekam jejak bermasalah lolos berarti Pansel KPK memiliki andilnya sendiri dalam lemahnya agenda pemberantasan korupsi ke depan.

 

"Lepas dari poin atas Pansel, yang terpenting adalah peran Presiden Joko Widodo sebagai pemegang mandat tertinggi dalam proses seleksi ini," tutur Koalisi. 

 

Pansel seharusnya mafhum bahwa setiap pernyataan, langkah, dan tindakan yang dijalankan mewakili sikap dari Presiden. Dan kini muncul sejumlah pertanyaan bagi publik, pertama apakah sebenarnya Presiden setuju dengan 20 nama yang menyisakan banyak persoalan seperti saat ini? 

 

Kedua, apakah Presiden sepakat ketika kelak Pimpinan KPK terpilih justru figur yang tidak patuh melaporkan LHKPN? Ketiga, Presiden sependapat jika kelak nantinya Pimpinan KPK yang terpilih justru mempunyai rekam jejak bermasalah pada masa lalunya dan beresiko melemahkan KPK dan pemberantasan korupsi di negeri ini? 

 

"Seharusnya Presiden bisa berlaku tegas dengan tidak menyerahkan semua hal pada Pansel karena dalam menjalankan kerjanya karena buruknya pilihan Pansel merefleksikan komitmen Presiden terhadap agenda pemberantasan korupsi nasional." tegas Koalisi.

 

Atas dasar itulah, Koalisi menuntut dua hal, pertama Presiden Joko Widodo memanggil serta mengevaluasi Panitia Seleksi Pimpinan KPK 2019-2023. Dan kedua Pansel Pimpinan KPK agar lebih peka dan responsif terhadap masukan masyarakat serta mencoret nama-nama yang tidak patuh melaporkan LHKPN dan mempunyai rekam jejak bermasalah.

Tags:

Berita Terkait