Koalisi Ingatkan Dampak Buruk Perpindahan Ibukota
Berita

Koalisi Ingatkan Dampak Buruk Perpindahan Ibukota

​​​​​​​Perpindahan ibukota dianggap menguntungkan kelompok politik tertentu.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Rencana perpindahan ibukota terus bergulir. Dalam rapat terbatas tentang Persiapan Ibukota, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengingatkan rencana ini bukan sekadar pindah lokasi tapi percepatan transformasi ekonomi. “Pindah cara kerja, pindah budaya kerja, pindah sistem kerja, dan juga ada perpindahan basis ekonomi. Sehingga saya sampaikan kemarin juga bahwa sebelum kita pindah, sistemnya sudah terinstal dengan baik,” katanya sebagaimana dikutip laman resmi Setkab, Senin (16/12).

 

Jokowi menegaskan sejak awal rencana ini harus dilihat sebagai transformasi ekonomi, menuju smart economy. Dalam membangun ibukota baru, hal penting yang perlu diperhatikan selain compact, nyaman, humanis, dan zero emission, juga membangun sejumlah klaster seperti pendidikan, riset, dan inovasi.

 

Presiden menyebut ibukota baru dibangun lembaga pendidikan tinggi kelas dunia yang menciptakan talenta top global secara tepat. Juga pusat riset dan inovasi kelas dunia yang menjadikan ibukota baru menjadi Global Innovation Hub, menjadi titik temu inovasi global.

 

“Sudah saatnya talenta-talenta Indonesia, talenta-talenta global berkolaborasi mengembangkan smart energy, smart health, smart food production yang akan menciptakan lapangan kerja baru bagi anak-anak muda kita, serta mendorong usaha mikro, usaha kecil, usaha menengah kita untuk masuk dan terintegrasi dengan global value chain,” ucap Presiden.

 

Selain itu Jokowi menegaskan proses pembangunan ibukota baru harus smart. “Kita harus meninggalkan cara berpikir lama yang selalu melihat semuanya dari sisi anggaran, melihat semuanya dari sisi biaya, kita harus berani menggunakan cara-cara baru yang lebih kreatif, termasuk dalam pemanfaatan teknologi-teknologi inovasi, dengan bantuan talenta-talenta hebat yang kita miliki, yang berada di dalam negeri maupun saat ini belajar di berbagai negara di luar negeri,” ujarnya.

 

Terpisah, kalangan masyarakat sipil mengkritik rencana perpindahan ibukota itu karena praktiknya menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan hidup, sosial, dan masyarakat adat/lokal. Kepala Departemen Advokasi Walhi, Zenzi Suhadi, mengatakan perpindahan ibukota bukan berarti memindahkan beban yang diampu Jakarta, tapi menduplikasinya ke daerah lain. Klaim pemerintah yang menyebut Kalimantan Timur relatif aman dari bencana sehingga cocok digunakan sebagai lokasi ibukota baru dinilai tidak tepat karena di wilayah tersebut rawan kebakaran hutan, tsunami, bahkan pernah mengalami gempa bumi.

 

Zenzi menilai rencana perpindahan ibukota lebih menguntungkan kalangan pengusaha dan pebisnis. Misalnya di sektor properti, mereka butuh ruang baru untuk berkembang karena di Jakarta sudah jenuh di mana harga tanah sudah sangat tinggi. Pemilik konsesi industri perkebunan, kehutanan, dan pertambangan juga diuntungkan karena mereka sudah memiliki lahan di tempat tersebut.

 

Baca:

 

Menurut Zenzi perpindahan ibukota ini tidak memberi keuntungan bagi masyarakat, yang terjadi justru sebaliknya yakni bakal merampas ruang hidup. Koalisi mencatat mega proyek itu membutuhkan lahan sekitar 180.000 hektar di kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) dan Kabupaten Kutai Kertanegara, provinsi Kalimantan Timur. Melalui sejumlah regulasi seperti Inpres No.5 Tahun 2019 pelepasan kawasan hutan dapat dilakukan dengan mudah, termasuk untuk membangun ibukota baru. Artinya, masyarakat yang selama ini memanfaatkan hutan seperti masyarakat hukum adat dan masyarakat lokal ruang hidupnya terancam.

 

Zenzi mengingatkan sampai saat ini pemerintah belum memiliki kajian yang lengkap terkait rencana perpindahan ibukota dan dampaknya terhadap sosial dan lingkungan hidup. Presiden Jokowi menyebut perpindahan ibukota ini harus menggunakan cara berpikir baru, tapi Zenzi tidak melihat implementasinya di lapangan.

 

“Kalau begini, maka tujuan membangun smart city tidak akan tercapai. Rencana perpindahan ibukota harus diawali kajian dan melibatkan masyarakat sipil,” katanya dalam diskusi di Jakarta, Selasa (17/12).

 

Koordinator Jatam, Merah Johansyah, menilai rencana perpindahan ibukota ini menguntungkan oligarki dan kelompok politik tertentu. Menurutnya pemerintah akan melakukan lebih banyak negosiasi dengan perusahaan pemilik konsesi di atas 180.000 hektar lahan yang akan dibangun ibukota baru itu daripada bernegosiasi dengan rakyat. Jatam mencatat sedikitnya ada 162 konsesi tambang, kehutanan, perkebunan sawit dan PLTU Batubara di lokasi tersebut.

 

Merah menemukan sejumlah nama yang berpotensi menerima manfaat atas proyek ibukota baru yakni politisi nasional dan lokal, serta keluarganya yang memiliki konsesi industri ekstraktif. Rencana perpindahan ibukota ini menurut Merah lebih bersifat komoditas politik karena ide ini muncul menjelang proses sengketa pemilu Presiden 29 April 2019.

 

“Mega proyek ini adalah komoditas politik. Dagangan politik yang ditawarkan pada sederet pengusaha, pendukung kubu penguasa dan lawan politiknya. Ujung-ujungnya menguntungkan oligarki,” tegasnya.

 

Bagi Merah rencana ini tidak layak disebut sebagai kebijakan publik karena prosesnya tanpa melalui konsultasi publik. RUU tentang ibukota baru juga belum diajukan untuk dibahas bersama DPR sehingga sampai sekarang rencana perpindahan dan pembangunan ibukota baru itu belum memiliki dasar hukum. Atas dasar itu koalisi menuntut rencana ini dibatalkan dan memprioritaskan APBN untuk pemenuhan kebutuhan dasar rakyat. Serta memulihkan krisis sosial ekologi yang terjadi di Jakarta dan Kalimantan Timur.

Tags:

Berita Terkait