Koalisi: Mayoritas Cakim Ad Hoc Tipikor Tak Layak
Berita

Koalisi: Mayoritas Cakim Ad Hoc Tipikor Tak Layak

Selain persoalan integritas, ada beberapa calon yang melakukan pelanggaran etika profesi dan bahkan dugaan pelanggaran hukum pidana dari profesinya.

FAT
Bacaan 2 Menit
Gedung Pengadilan Tipikor Jakarta. Foto: Sgp
Gedung Pengadilan Tipikor Jakarta. Foto: Sgp

Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) menilai, mayoritas calon hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tak layak terpilih. Dalam siaran pers yang diterima hukumonline, koalisi menyebutkan bahwa proses seleksi yang dibentuk Mahkamah Agung (MA) dan diketuai oleh Artidjo Alkostar itu telah menghasilkan 58 calon yang lolos tes administrasi dan tes tertulis.

“Dari 58 calon, (KPP) mendapatkan temuan awal 37 calon hakim ad hoc yang berhasil ditelusuri,” tulis KPP dalam siaran pers, Jumat (13/11).

Dari 37 calon tersebut, pertama, ada calon yang integritasnya tidak teruji. Misalnya, ada beberapa calon yang melakukan pelanggaran etika profesi dan bahkan dugaan pelanggaran hukum pidana dari profesinya. Ditambah, ada 18 calon yang terindikasi merupakan “pencari kerja”.

“Indikasi ini dilihat dari adanya calon yang pernah mengikuti beberapa seleksi calon pejabat publik, atau sedang tahap persiapan pensiunan atau bahkan telah pensiun,” tulisnya.

Kedua,dari aspek kompetensi. Sebagian besar calon tidak memahami persoalan korupsi, mulai dari kerangka teori dan praktik secara normatif hukum, termasuk perspektif dan kemampuan analisa perundang-undangan. Bahkan sampai pada level yang paling sederhana, tugas pokok dan fungsi atau kewenangan hakim ad hoc tipikor. Padahal, hal-hal seperti ini yang akan diemban nanti oleh para calon jika terpilih.

Untuk yang ketiga, dari aspek Independensi. Koalisi memperoleh hasil bahwa sedikitnya ada tujuh calon yang berafiliasi dengan partai politik. Persoalan ini berpotensi akan mengganggu calon jika terpilih sebagai hakim. Selain itu, koalisi juga mengevaluasi proses seleksi akhir, yakni seleksi wawancara terhadap 58 calon hakim ad hoc tipikor itu. Seleksi yang dilakukan dalam lima ruangan terpisah. Setiap ruangan diisi oleh dua pansel sebagai penanya dengan perbandingan 11-12 orang calon hakim.

Dari pantauan KPP saat proses seleksi wawancara, diperoleh sejumlah hasil. Pertama, panitia seleksi sangat terfokus pada kompetensi dasar soal pengetahuan dan pemahaman penanganan kasus korupsi secara teori dan praktik. Sejumlah pertanyaan seputar UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor, UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor, asas hukum pidana, hukum acara pidana,justice collaborator, menjadi pertanyaan yang selalu ditanyakan oleh pansel kepada tiap calon.

Kedua,pertanyaan yang sangat dasar untuk diketahui seorang hakim yang mengadili perkara korupsi tersebut tak dapat dijawab secara baik oleh seluruh calon hakim. Ke-58 calon tak memiliki pemahaman dan pengetahuan yang cukup baik di isu tipikor. Banyak dari mereka yang kesulitan menjelaskan perbedaan tipikor yang diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor.

Ketiga,pansel juga kurang menggali seputar integritas dan independensi calon. Hanya ada beberapa calon yang ditanyakan seputar persoalan integritas dan independensi namun tak mencoba untuk menggali lebih jauh persoalan tersebut. Pertanyaan hanya berupa klarifikasi dari temuan tim penelusuran rekam jejak calon. Padahal cukup banyak calon yang independensinya diragukan karena diduga berafiliasi dengan partai politik tertentu. Selain itu ada pula yang diduga telah melakukan pelanggaran kode etik profesi yang digelutinya.

Atas dasar itu, KPP menolak seluruh calon hakim ad hoc yang mengikuti seleksi karena tidak memenuhi standar integritas, indepedensi dan kompetensi. Mengedepankan aspek kualitas calon hakim ad hoc tipikor, dan bukan mengakomodasi keterdesakan MA untuk menjawab kebutuhan kuantitas. Pansel dan MA harus membuka indikator penilaian calon hakim ad hoc tipikor ke publik. MA harus membenahi sistem seleksi calon hakim ad hoc tipikor, agar ke depan dapat menjaring calon yang lebih berkualitas. Serta, melibatkan KPK dan PPATK untuk melakukan penelusuran rekam jejak calon.

Tags:

Berita Terkait