Klarifikasi Kemenko Perekonomian Soal Draf RUU Omnibus Law yang Tersebar
Berita

Klarifikasi Kemenko Perekonomian Soal Draf RUU Omnibus Law yang Tersebar

Pemerintah tidak akan bertanggungjawab apabila ada draf RUU yang beredar dan dijadikan sumber pemberitaan. Sebelumnya, PSHK mengkritik penyusunan RUU omnibus law sangat minim sampai ke publik.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Ilustrator: BAS
Ilustrator: BAS

Perbincangan mengenai Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja semakin ramai di masyarakat seiring beredarnya draf aturan tersebut di media sosial. Terlebih lagi, berbagai media massa memuat muatan pasal dalam draf tersebut sebagai acuan pemberitaan. Kondisi ini tentunya menjadi simpang siur karena pemerintah lambat memberi pernyataan tegas mengenai kebenaran draf tersebut.

 

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian melalui keterangan persnya menyatakan bahwa RUU Penciptaan Lapangan Kerja masih dalam proses finalisasi oleh pemerintah. Draft RUU yang beredar berjudul “Penciptaan Lapangan Kerja”, sedangkan yang sedang dalam proses finalisasi berjudul “Cipta Lapangan Kerja”. Sehingga apabila ada Draf RUU yang beredar dan dijadikan sumber pemberitaan, maka bisa dipastikan bukan Draf RUU dari pemerintah dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. 

 

Kemenko Perekonomian juga tidak pernah menyebarluaskan draft RUU Penciptaan Lapangan Kerja dalam bentuk apa pun sampai proses pembahasan selesai,” jelas keterangan pers tersebut, Selasa (21/1).

 

Kementerian yang dipimpin Airlangga Hartato tersebut menyatakan sesuai mekanisme penyusunan Undang-Undang, pemerintah sudah merampungkan substansi RUU Cipta Lapangan Kerja dan telah diusulkan oleh Pemerintah kepada Badan Legislasi Nasional DPR RI untuk dicantumkan dalam Program Legislasi Nasional.  Berdasarkan informasi jadwal Sidang di DPR RI, hari ini DPR RI akan menetapkan Daftar Prolegnas Prioritas Tahun 2020. 

 

(Baca: Super Prioritas, Tapi Baleg DPR Belum Terima Draft RUU Omnibus Law)

 

Setelah DPR RI menetapkan RUU Cipta Lapangan Kerja tercantum dalam Daftar Prolegnas Prioritas Tahun 2020, Pemerintah segera menyiapkan Surat Presiden (Surpres) kepada Ketua DPR RI. Selanjutnya, Presiden akan menyampaikan Surpres tersebut kepada Ketua DPR RI, disertai dengan draft Naskah Akademik dan RUU Cipta Lapangan Kerja. Sampai saat ini Surat Presiden tersebut belum disampaikan.

 

Pemerintah tetap memperhatikan masukan dan pertimbangan dari masyarakat sampai dengan RUU Cipta Lapangan Kerja tersebut disampaikan kepada Ketua DPR RI. Seperti diketahui, RUU Cipta Lapangan Kerja adalah terobosan regulasi untuk menjaga keseimbangan antara perluasan lapangan kerja dan perlindungan pekerja, untuk menghasilkan investasi baru sehingga dapat menampung 9 juta calon pekerja demi pertumbuhan ekonomi yang dibutuhkan untuk mencapai Indonesia Maju,” jelas keterangan pers tersebut.

 

Sesuai hasil pembahasan terakhir per 17 Januari 2020, pemerintah telah diidentifikasi sekira 79 UU dan 1.244 pasal yang terdampak Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, dengan rincian:

 

  1. Penyederhanaan Perizinan: 52 UU dengan 770 pasal;
  2. Persyaratan Investasi: 13 UU dengan 24 pasal;
  3. Ketenagakerjaan: 3 UU dengan 55 pasal;
  4. Kemudahan, Pemberdayaan, dan Perlindungan UMK-M: 3 UU dengan 6 pasal;
  5. Kemudahan Berusaha: 9 UU dengan 23 pasal;
  6. Dukungan Riset dan Inovasi: 2 UU dengan 2 pasal;
  7. Administrasi Pemerintahan: 2 UU dengan 14 pasal;
  8. Pengenaan Sanksi: 49 UU dengan 295 pasal;
  9. Pengadaan Lahan: 2 UU dengan 11 pasal
  10. Investasi dan Proyek Pemerintah: 2 UU dengan 3 pasal; dan
  11. Kawasan Ekonomi: 5 UU dengan 38 pasal.

 

Dalam kesempatan sebelumnya, Sekretaris Kemenko Perekonomian Susiwijono menyatakan isu besar di Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja ini ada di klaster pertama yaitu Penyederhaan Perizinan Berusaha. Karena dalam klaster 1 sendiri telah terbagi atas 18 sub klaster, yakni: Lokasi, Lingkungan, Bangunan Gedung, Sektor Pertanian, Sektor Kehutanan, Sektor  Kelautan Perikanan, Sektor ESDM, Sektor Ketenaganukliran, Sektor Perindustrian, Sektor Perdagangan, Sektor Kesehatan Obat & Makanan, Sektor Pariwisata, Sektor Pendidikan, Sektor Keagamaan, Sektor Perhubungan, Sektor PUPR, Sektor Pos & Telekomunikasi, Sektor Pertahanan & Keamanan. Dalam pembahasan terakhir terdapat 52 UU dan 770 pasal terdampak yang termasuk dalam klaster pertama ini.

 

Perizinan dasar yang penting adalah Izin Lokasi, Izin Lingkungan dan Izin Bangunan Gedung. Yang termasuk persoalan izin lokasi, yaitu antara lain izin ini akan digantikan dengan penggunaan Peta Digital Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), kemudian ada pengintegrasian Rencana Tata Ruang (matra darat) dan Rencana Zonasi (matra laut).

 

“Jadi intinya, kita tidak ada menghapus sama sekali Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Izin Lingkungan (Amdal), namun yang dilakukan adalah membuat standar berdasarkan risiko dari masing-masing usaha tersebut,” jelasnya.

 

Pemerintah pun mempermudah operasional Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), antara lain dengan menerapkan perizinan tunggal (melalui pendaftaran), pengelolaan terpadu secara klaster, peningkatan kemitraan, serta memberi insentif pembiayaan yakni usaha sebagai agunan pinjaman.

 

Untuk masalah ketenagakerjaan, Sesmenko menegaskan bahwa Upah Minimum (UM) dipastikan tidak akan turun serta tidak dapat ditangguhkan, terlepas dari apapun kondisi pengusahanya. Untuk kenaikan UM akan memperhitungkan pertumbuhan ekonomi di masing-masing daerah.

 

“UM yang ditetapkan hanya berlaku bagi pekerja baru dan berpengalaman kerja di bawah satu tahun, sedangkan kalau kompetensi mereka lebih akan bisa diberikan lebih dari UM. Sistem pengupahan mereka didasarkan pada struktur dan skala upah. Upah per jam itu contohnya (untuk) konsultan, freelancer, dan ada jenis pekerjaan baru di sektor ekonomi digital,” katanya.

 

Peningkatan kesejahteraan dan perlindungan pekerja juga menjadi salah satu fokus pemerintah. Dilakukan dengan membentuk Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) untuk pekerja yang kena pemutusan hubungan kerja (PHK). JKP memberikan manfaat berupa CashBenefit, Vocational Training, atau Job Placement Access.

 

Penambahan manfaat JKP tidak akan menambah beban iuran bagi pekerja dan perusahaan. Pekerja yang mendapatkan JKP tetap akan mendapatkan jaminan sosial lainnya berupa Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK); Jaminan Hari Tua (JHT); Jaminan Pensiun (JP); dan Ja minan Kematian (JKm). Serta untuk memberikan perlindungan bagi Pekerja Kontrak atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu/PKWT, mereka akan diberikan kompensasi tersendiri jika telah habis masa kontrak kerjanya.

 

Sesmenko menekankan bahwa ke depannya masih akan pembahasan lebih lanjut tentang masing-masing klaster, supaya masyarakat dapat lebih memahami substansi dari Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja ini sendiri.

 

Tidak Transparan

Kritik mengenai tidak transparannya penyusunan Omnibus Law ini juga pernah disampaikan Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Fajri Nursyamsi kepada Hukumonline beberapa waktu lalu. Menurut Fajri, informasi terkait penyusunan RUU omnibus law sangat minim sampai ke publik. Jika pun ada informasi yang yang bersumber dari pemerintah, hal itu tidak cukup untuk mengetahui lebih jauh substansi pengaturan pasal-pasal yang diambil dari sekitar 82 Undang-Undang sektoral tersebut. Untuk itu ia menyayangkan perkembangan informasi omnibus law yang terkesan “kedap” dari publik.

 

“Kalau menteri bilang seribu pasal mau dibatalin, pasal yang mana? Jangan-jangan ada hak kami yang terbatasi juga nanti,” ungkap Fajri.

 

Menurut Fajri keterlibatan publik harusnya sudah diikutsertakan sejak awal. Tidak cukup baginya bila publik hanya dikabarkan tentang tujuan dari omnibus law, dan sebagainya. Ada kebutuhan pubik untuk mengetahui lebih jauh susbtansi pasal apa saja yang akan dibatalkan, pasal apa saja yang diintegrasikan ke dalam RUU omnibus, sehingga tidak hanya disampaikan judul RUU-nya saja.

 

Fajri kemudian menyinggung Satuan Tugas bersama yang dibentuk oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yang bertugas untuk melakukan konsultasi publik omnibus law. Fajri menilai langkah pemerintah terkait pembentukan satgas tersebut jika ditujukan untuk mempercepat proses pembahasan merupakan sebuah inisiatif yang baik. Namun untuk partisipasi publik, sekali lagi ia menekankan sebagai suatu keharusan.

 

Menurut Fajri, bentuk pelibatan partisipasi publik bisa ditempuh oleh pemerintah dengan jalan mempublikasikan perkembangan dan substansi yang menjadi pembahasan di pemerintah. Karena dengan demikian, publik akan berinisiatif sendiri untuk berpartisipasi dengan caranya. Akses terhadap perkembangan dan susbstansi pembahasan sangat minim hingga saat ini.

 

Ia menyebutkan, sikap kritis masyarakat dalam setiap proses pembentukan kebijakan merupakan keharusan. Hal ini akan berhubungan langsug dengan dampak kebijakan yang akan dihasilkan oleh pemerintah terhadap masyarakat. Dalam contoh RUU omnibus ia mencontohkan, pemerintah tidak bisa hanya mengikutsertakan sebagian kalangan lalu meninggalkan kalangan yang lain. Dampak RUU akan berlaku kepada semua pihak.

 

“Nah tingkat kritis publik ini kan mereka tidak punya kuasa untuk memaksa pemerintah. Yang mesti dilakukan adalah pemerintah menyadari itu dan membuka ruang-ruang publikasi dan partisipasi kepada publik,” jelas Fajri.

 

Problem yang sama juga diutarakan oleh Indonesia for Global Justice (IGJ). Lebih lugas, IGJ bahkan menyebutkan pembahasan omnibus law sangat tidak demokratis, sebab tidak ada keterlibatan masyarakat sipil dan kalangan akar rumput. Pemerintah dinilai hanya melibatkan kelompok pengusaha, yang mana dipandang sebagai stakeholder utama sehingga substansi RUU tersebut dominan berpihak kepada kepentngan pelaku usaha.

 

“Pemerintah tidak sensitif memperjuangkan kepentingan masyarakat kecil, yang kian hari termarjinalkan. Dalam pembahasan regulasi omnibus law yang menyangkut keberlangsungan hidup masyarakat juga tidak dilibatkan oleh Pemerintah,” kata Koordinator Riset dan Advokasi IGJ, Rahmat Maulana Sidik.

 

Menurut Maulana, sedikitnya informasi yang dapat diakses oleh masyarakat membuat publik berspekulasi ke mana-mana. Di samping itu, pembahasan yang tidak demokratis dalam omnibus law menjadi masalah serius, sebab regulasi ini mencakup semua sektor hajat hidup orang banyak. Sehingga, keterlibatan masyarakat akar rumput dan kelompok masyarakat sipil sangat penting dalam menentukan kebijakan omnibus law. 

 

Ia menyitir pemberitaan media yang bersumber dari pemerintah yang menyebutkan bahwa omnibus law sangat memanjakan kalangan pengusaha dan investor. Mulai dari penghapusan IMB (Izin Mendirikan Bangunan) dan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) hingga penghapusan sanksi pidana bagi pengusaha nakal.

 

Tags:

Berita Terkait