Kisah Perjuangan Soepomo dan Konsep Negara Integralistik
Tokoh Hukum Kemerdekaan

Kisah Perjuangan Soepomo dan Konsep Negara Integralistik

​​​​​​​Mendapat kepercayaan di bidang hukum dari Pemerintahan Hindia Belanda, tak membuat Soepomo ‘buta’ akan keadaan rakyat Indonesia yang terbelenggu oleh kebodohan dan kesengsaraan.

M. Agus Yozami
Bacaan 5 Menit
Mr. Soepomo. Ilustrasi: MYP
Mr. Soepomo. Ilustrasi: MYP

Bangsa Indonesia memperingati hari kemerdekaannya setiap tanggal 17 Agustus. Banyak cara yang dilakukan masyarakat dalam mengisi hari kemerdekaan seperti mengadakan lomba, mengadakan upacara bendera, berdoa, mengunjungi makam pahlawan atau mengingat kembali tokoh yang berjasa dalam merebut kemerdekaan. Untuk yang terakhir, salah satu nama yang pantas disebut adalah Prof. Dr. Mr. Soepomo.

Kehadiran Soepomo di tengah-tengah bangsa Indonesia merupakan jawaban terhadap tantangan yang senantiasa mencengkeram bangsa Indonesia pada masa kolonial Belanda. Soepomo yang lahir di Sukoharjo, Solo, Jawa Tengah, 22 Januari 1903 merupakan salah satu pribumi yang berkesempatan mengenyam pendidikan di sekolah berbahasa Belanda.

Profil Soepomo dapat dilihat dari salah satu buku berjudul Prof. Mr. Dr. R. Soepomo yang ditulis oleh A.T Soegito Bc. HK. Diceritakan, Soepomo berkesempatan mengenyam pendidikan di ELS (Europeesche Lagere School) di Boyolali (1917), MULO (Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs) di Solo (1920), dan menyelesaikan pendidikan kejuruan hukum di Bataviasche Rechtsschool di Batavia pada 1923. Setelah menyelesaikan pendidikan hukum di Batavia, pada 1924, dia meneruskan pendidikan hukumnya di Rijksuniversiteit Leiden, di Belanda.

Di sana, Soepomo dibimbing Cornelis van Vollenhoven, profesor hukum yang dikenal sebagai ‘arsitek’ ilmu hukum adat Indonesia dan ahli hukum internasional, yang juga salah satu konseptor Liga Bangsa-Bangsa. Dia mendapat gelar doktor pada 1927 dengan disertasi berjudul De Reorganisatie van het Agrarisch Stelsel in het Gewest Soerakarta.

Setiba di Tanah Air pada 1927, Soepomo menjalani beberapa profesi hukum di antaranya Ketua Pengadilan Negeri Yogyakarta, Direktur Justisi di Jakarta, hingga Guru Besar hukum adat pada Rechts Hoge School di Jakarta. Profesi yang dijalaninya itu merupakan kepercayaan dari Pemerintah Hindia Belanda dan dari kalangan universitas.

Namun, profesi yang digeluti Soepomo mengharuskannya ‘terjun’ langsung melihat kondisi di lapangan. Dalam kenyataannya, dia banyak melihat kesengsaraan serta kebodohan menyelimuti rakyat. Hatinya pun terbuka untuk berjuang membebaskan penderitaan tersebut. Salah satu caranya melalui penyuluhan dan pendidikan.

Soepomo pemuda yang aktif dalam pergerakan. Dia bergabung dengan organisasi Boedi Oetomo, salah satu organisasi yang memiliki tujuan untuk membebaskan Indonesia dari belenggu penjajahan. Sebelumnya, dia juga pernah belajar pergerakan saat masih di Belanda.

Di Negeri Kincir Angin tersebut, Soepomo bergabung dengan organisasi Indonesische Vereniging yang kemudian berganti nama menjadi Perhimpunan Indonesia pada 1922. Melalui organisasi inilah para pelajar dan mahasiswa Indonesia menyalurkan perasaannya dalam bentuk gerakan menuju kemerdekaan bangsanya.

Tapi di satu sisi, pemerintah Kolonial Belanda saat itu membuat serangkaian aturan yang melarang orang berkumpul dan berserikat dalam kegiatan politik. Hal ini juga yang menyebabkan sejumlah tokoh nasional sempat dijebloskan ke penjara. Soekarno misalnya, pernah masuk penjara Sukamiskin, Bandung hingga Ende dan Bengkulu. Nama lainnya ada Hatta, Sutan Syahrir, Amir Syarifuddin, Sayuti Melik, dan lainnya.

Baca:

Teori Integralistik

Pada tahun 1942 di masa pendudukan Jepang, Soepomo melakoni peran baru sebagai Mahkamah Agung (Saikoo Hoin) dan anggota Panitia Hukum dan Tata Negara. Tak lama berselang, ia diangkat menjadi Kepala Departemen Kehakiman (Shijobuco). Soepomo menerima pekerjaan tersebut karena saat itu para pejuang memilih tak melawan dan kooperatif dengan militer Jepang yang keras. Janji Jepang yang ketika itu ingin membebaskan Indonesia dari belenggu penjajahan, justru berkata sebaliknya. Keberadaan Jepang semakin membuat kehidupan rakyat Indonesia memburuk.

Pada tahun 1944 Jepang terjepit dalam Perang Dunia II. Dengan kondisi itu, para pejuang termasuk Soepomo khawatir Jepang ingkar janji akan memberikan kemerdekaan kepada Bangsa Indonesia. Namun, Jepang ternyata berusaha menepati janjinya dengan membuat suatu badan yang bertugas mempersiapkan dan merancang berdirinya negara yang merdeka dan berdaulat. (Baca: Alasan Soepomo Menolak ‘Banding Undang-Undang’ ke Balai Agung)

Pada 26 April 1945 terbentuklah Dokoritsu Zyumbi Coosakai atau dikenal dengan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Soepomo, bersama Bung Karno, Bung Hatta, AA Maramis, Abdul Wahid Hasyim, dan Moh Yamin ada di dalamnya. Masing-masing mengemukakan pendapatnya soal pemikiran untuk menjadi dasar negara.

Di hadapan sidang resmi pertama BPUPKI pada 29 Mei-1 Juni 1945, Soepomo mengusulkan lima asas negara yaitu persatuan, mufakat dan demokrasi, keadilan sosial, kekeluargaan dan musyawarah. Tak hanya tentang asas negara, pada 31 Mei 1945 Soepomo juga didapuk untuk menuturkan beberapa teori tentang negara.

Setidaknya ada tiga teori yang diutarakan Soepomo. Pertama, teori negara individualistik yang dikembangkan Thomas Hobbes, John Locke, JJ Rousseau dan Herbert Spencer yang berlaku di Eropa Barat dan Amerika. Di sini negara harus melakukan kontrak sosial dengan warganya dan konstitusinya amat sarat dengan kepentingan individualisme. Kedua, teori pertentangan kelas ala Marx, Engel dan Lenin yang menyebutkan kaum buruh harus menguasai negara –diktator proletariat-, agar negara tak lagi dijadikan kaum borjuis sebagai mesin penindas.

Ketiga, adalah teori integralistik yang diajarkan Spinoza, Hegel dan Adam Muller yang mengedepankan kesatuan (integralistik) negara dengan masyarakat sehingga negara tak diperkenankan memihak golongan warga tertentu. Buah pemikiran Soepomo dan kawan-kawan itu kemudian disahkan menjadi Piagam Djakarta pada 22 Juni 1945. Selanjutnya, perumusan undang-undang dasar, BPUPKI digantikan dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). (Baca: Soepomo, Tokoh Hukum Penjunjung Kolektivisme Adat)

Dari tiga teori yang dipaparkan Soepomo di hadapan sidang resmi pertama BPUPKI pada 29 Mei-1 Juni 1945, dia cenderung memilih teori integralistik. Di dalam buku Risalah BPUPKI dan PPKI terbitan Sekretaris Negara, Soepomo menggambarkan dua negara yang saat itu menerapkan paham integralistik, yaitu Jerman Nazi dengan persatuan antara pemimpin dan rakyatnya serta kekaisaran Dai Nippon dengan hubungan lahir batin di bawah keluarga Kaisar Tenno Heika. Dasar persatuan dan kekeluargaan ini sangat sesuai dengan corak masyarakat Indonesia, kata Soepomo kala itu.

Pada bagian lain dalam sidang BPUPKI itu pula Soepomo sempat menolak masuknya Hak Asasi Manusia (HAM) ke dalam konstitusi. Ia beranggapan konsep HAM adalah produk negara individualistik dimana HAM adalah pemberian alam dan negara. "..menurut pikiran saya aliran kekeluargaan sesuai dengan sifat ketimuran. Jadi saya anggap tidak perlu mengadakan declaration of rights,"ujar Soepomo.

“Setiap orang dan golongan sudah memiliki tempat dan perannya sendiri dalam kehidupan (dharma) sesuai dengan hukum kodrat, dan individu tidak terpisahkan dari individu lainnya ataupun dari alam”. Pandangan Soepomo mengenai teori negara integralistik.

Sikap Soepomo yang menentang habis paham individualistik dan produk turunannya, seperti HAM dalam sidang BPUPKI sebenarnya tak bisa dilepaskan dari keahlian Soepomo pada bidang hukum adat. Dalam bukunya berjudul Hubungan Individu dan Masyarakat dalam Hukum Adat, Soepomo menegaskan bahwa individu adalah anggota dari masyarakat.

Yang primer, menurut Soepomo, bukan individu. Melainkan masyarakat yang berdiri di tengah kehidupan hukum. Kehidupan individu terutama ditujukan mengabdi kepada masyarakat. Namun, pengabdian tersebut tidak dianggap beban individu dan sebuah pengorbanan.

Lantaran mengedepankan paham integralistik, Soepomo dicap sebagai penganut negara totaliter dan anti HAM. Di dalam sidang BPUPKI, Soepomo –dan belakangan Soekarno- harus berdebat dengan M. Yamin dan M Hatta tentang konsep HAM dan paham integralistik itu.

Kekalahan Jepang di Perang Dunia II dimanfaatkan Bangsa Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, disusul penggelaran sidang PPKI keeseokan harinya dengan menetapkan Undang-undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara serta menetapkan Soekarno dan Hatta sebagai presiden dan wakil presiden.

Selain itu PPKI membentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Setelah PPKI dibubarkan, anggotanya masuk ke KNIP. Kemudian pada 19 Agustus 1945, Soekarno membentuk kabinet yang terdiri dari 16 menteri. Di dalamnya terdapat nama Soepomo sebagai Menteri Kehakiman. Soekarno merasa yakin terhadap keahlian Soepomo di bidang hukum.

Tags:

Berita Terkait