Kisah Metamorfosis Perizinan Modus Utama Kebakaran Hutan
Utama

Kisah Metamorfosis Perizinan Modus Utama Kebakaran Hutan

“Saya sudah mempelajari sejak November 2014, di Riau itu modus yang sering terjadi adalah perusahaan mengatasnamakan masyarakat atau kelompok-kelompok masyarakat yang terorganisir dengan pemodal," kata Menteri Siti Nurbaya.

CR-20
Bacaan 2 Menit
Sebagian wilayah Indonesia di Sumatera dan Kalimantan dilanda musibah kebakaran hutan yang menyebabkan kabut asap. Pemerintah Jokowi dituntut untuk mengatasi masalah ini termasuk melakukan penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran lahan.
Sebagian wilayah Indonesia di Sumatera dan Kalimantan dilanda musibah kebakaran hutan yang menyebabkan kabut asap. Pemerintah Jokowi dituntut untuk mengatasi masalah ini termasuk melakukan penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran lahan.
Dalam konferensi pers di kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pekan lalu, Menteri Siti Nurbaya menyebut modus utama kebakaran hutan dan lahan selama ini adalah terjadinya penyelundupan hukum berupa metamorfosis perizinan. Berdasarkan cerita-cerita empirik yang didapatkan dari temuan lapangan, ditemukan pola yang persis sama di beberapa tempat yang menyebabkan terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
“Saya sudah mempelajari sejak November 2014, di Riau itu modus yang sering terjadi adalah perusahaan mengatasnamakan masyarakat atau kelompok-kelompok masyarakat yang terorganisir dengan pemodal-pemodal. Kemudian pada Januari 2015, saya juga cek di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Sumatera Utara. Itu modusnya sama persis. Untuk Sumsel dan Jambi, meski saya belum dapat konfirmasi, namun sebenarnya juga kurang lebih sama indikasi modusnya,” kata Siti Nurbaya.
Siti Nurbaya menjelaskan yang dimaksud dengan proses metamorfosis perizinan olehnya adalah izin yang berangkat dari HPH (Hak Pengusahaan Hutan) atau bahkan illegal logging, kemudian berubah menjadi Izin Usaha Perkebunan (IUP) yang beralih fungsi lewat pelepasan kawasan hutan melalui Rencana Tata Ruang Wilayah (RT/RW) dan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) khususnya untuk kegiatan pertambangan.
Berangkat dari pernyataan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, HukumOnline berupaya mendapatkan keterangan dari orang-orang yang berkompetensi di bidang kebijakan kehutanan terkait modus penyelundupan hukum, khususnya yang terjadi di Riau. Karena dalam konferensi pers dua pekan lalu, Siti Nurbaya secara terperinci membuka data jumlah perusahaan yang beroperasi di dalam kawasan hutan Riau. (Baca juga: Detail Cerita Penyekapan 7 Anggota Tim Penyidik Kehutanan)
Siti Nurbaya merilis data yang didapatkannya berdasarkan temuan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Perusahaan yang beroperasi di Riau adalah sejumlah 447 perusahaan. 154 mendapatkan izin HGU (Hak Guna Usaha) dari Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Kabupaten. 145 memegang IUP (Izin Usaha Perkebunan yang dikeluarkan Dinas Perkebunan. 21 perusahaan memegang Izin Lokasi yang statusnya masih pencadangan atau sifatnya belum definitif. Sedangkan perusahaan yang beroperasi tanpa memiliki izin adalah sejumlah 127 perusahaan.
Hariadi Kartodihardjo, ahli kebijakan kehutanan dan staf ahli KPK untuk kasus-kasus korupsi sektor kehutanan, menjelaskan bahwa dirinya pernah mengikuti Korsup KPK dengan menghadiri Rapat Pansus Komisi A DPRD Riau untuk menghitung perkiraan kerugian negara karena perusahaan yang beroperasi secara illegal. “Dalam Rapat Pansus Komisi A DPRD Riau tersebut kemudian dihitung jumlah luas areal perkebunan sawit di Provinsi Riau adalah sekitar 4,2 juta ha. Dari jumlah seluruh areal konsesi yang digunakan tersebut, di atas lahan seluas 1,8 juta ha ternyata beroperasi tanpa izin,” kata Hariadi kepada HukumOnline pada (9/9).
Hariadi  mengatakan perusahaan yang beroperasi di kawasan hutan tanpa izin di Riau sudah terjadi sejak lama, “Temuan saya bersama Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) sekitar 7 tahun lalu, di Taman Nasional Tesso Nillo itu setidaknya ada 61 lokasi perkebunan sawit yang bisa beroperasi padahal HPH nya sudah dicabut.”  (Baca juga: Polisi Kembali Selidiki Lahan Perusahaan SP3 yang Terbakar)
Dari situasi lapangan tersebut, muncul dugaan-dugaan mengenai siapa sesungguhnya pemilik dari perkebunan sawit tersebut. “Apakah perusahaan yang mengajukan izin HTI kemudian malah justru mengalihfungsikan areal kerjanya menjadi perkebunan sawit? Ternyata perusahaan-perusahaan itu mengurus persyaratan administrasi yang diperlukan perusahaan, mengurus rencana tahunan, mengurus rencana lima tahunan, tetapi di lapangan tidak beroperasi,” kata Hariadi.
“Saya melihat ini bukan hanya persoalan independent action dari perusahaan yang jahat. Karena bertahun-tahun praktek ini berjalan, perusahaan ini tidak beroperasi tetapi kenapa dibiarkan begitu saja? Tidak ada upaya memverifikasi situasi di lapangan oleh pemerintah dalam rangka mengawasi,” ujar Hariadi. Menurutnya, hal ini terlihat seperti kelalaian, tetapi diperlukan fakta yang lebih mendalam untuk menyelidiki ini, karena motif tiap perusahaan bisa jadi berbeda-beda.
“Awalnya HPH, itu urusan izinnya mesti lewat Menteri Kehutanan, tetapi mendapatkan rekomendasi dari pemerintah daerah. Di dalam izin HPH itu, ada yang beroperasi di hutan alam, tetapi juga ada yang beroperasi di Areal Peruntukkan Lain (APL). Ketika proses tata ruang (RT/RW) oleh Pemerintah Daerah, APL itu dikeluarkan dari kawasan hutan, yang kemudian diperuntukkan untuk areal perkebunan sawit. Jadi rutenya HPH bisa langsung jadi perkebunan sawit lewat APL. Tetapi jika rusah tegakkannya, akhirnya menjadi HTI. Itu jika dilihat dari sisi komoditinya,” Hariadi menjelaskan serangkaian prosesnya.  (Baca Juga: Kapolri Didesak Bentuk Tim Usut SP3 Kasus Kebakaran Lahan di Riau)
Menurut Koordinator Jaringan Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), Woro Supratinah, menjelaskan kepada HukumOnline pada (8/9) mengenai kondisi faktual yang terjadi dengan hutan Riau. “Sebagian lahan juga dikuasai masyarakat, dan sebagian masyarakat juga melakukan pembakaran hutan karena tidak mempunyai pilihan lain. Tetapi lahan masyarakat berapa sih jumlahnya? Kan tidak banyak,” kata Woro.
Woro juga menjelaskan bahwa di sekitar areal konsesi perusahaan, banyak juga kelompok masyarakat yang diorganisir dari tempat lain untuk bekerja di areal kerja perusahaan. Dalam beberapa kasus, kebakaran hutan yang terjadi di areal kerja perusahaan merupakan kebakaran lahan yang direncanakan untuk melakukan ekspansi areal kerja perusahaan dengan menggunakan tangan-tangan lain. 
“Kebakaran hutan yang direncanakan ini misalnya sekitar lokasi telah dibuat jalan terlebih dulu, atau di lokasi yang dibakar ini tanahnya sudah dipetak-petakan, bahkan di beberapa lokasi dapat ditemukan bibit sawit siap tanam. Biasanya pembakaran lahan dilakukan dengan alasan untuk mengusir masyarakat yang berkonflik atau untuk kepentingan ekspansi perusahaan,” kata Woro menjelaskan.
Keterangan dari Woro Supartinah ini sejalan dengan pernyataan Menteri Siti Nurbaya yang menyatakan bahwa penangkapan terhadap pelaku pembakaran lahan berhenti di pelaku perorangan. “Pengakuan dari pelaku pembakaran ini biasanya bilang ada yang menyuruh, tetapi yang menyuruh sudah kabur. Jadi alasan melakukan pembakaran lahan ini selalu putus, ” kata Siti Nurbaya pada (6/9).
Penegakkan hukum terhadap pelaku pembakaran hutan ini akan terus menemukan kesulitan jika pembenahan terhadap aspek perizinan secara hukum tidak dilakukan, verifikasi lapangan tidak dilakukan, pengawasan tidak dijalankan, dan pertanggungjawaban hanya menyentuh sebatas perorangan.  (Baca Juga: Singapura Buat UU yang Bisa Pidanakan Warga Indonesia)
Tags:

Berita Terkait