Kisah Isu 'Sweeping' Software di Lawfirm
Fokus

Kisah Isu 'Sweeping' Software di Lawfirm

Sejumlah lawfirm (kantor hukum) di Jakarta dikabarkan mendapat "kunjungan" dari Microsoft, selaku pemilik hak cipta program komputer. Microsoft sendiri datang bukan sebagai calon klien potensial, namun untuk memeriksa apakah sejumlah lawfirm tersebut menggunakan program komputer yang berlisensi untuk menjalankan bisnisnya.

Zae
Bacaan 2 Menit

 

"Setelah dia periksa, memang ada yang kurang. Tapi itu bukan masalah besar, karena orang itu kemudian nggak datang lagi. Mungkin karena kadar compliance kami cukup tinggi," tutur Arief.

 

Sebuah lawfirm yang berlokasi di Jakarta Pusat juga dikabarkan mendapat kiriman surat dari Microsoft. Hanya saja bentuknya bukan berupa surat permintaan ijin, namun somasi. Lawfirm itu mendapat somasi karena diduga menggunakan sofware Microsoft bajakan.

 

Sayangnya, hukumonline tidak berhasil mendapatkan salinan somasi itu. Sebelumnya, kantor tersebut menjanjikan akan mengirimkan somasi tersebut lewat faksimil. Tapi, belakangan mereka menyatakan surat tersebut telah hilang.

 

Jika pemegang hak cipta diperbolehkan melakukan sweeping di kantor-kantor, termasuk di lawfirm-lawfirm, kemungkinan besar akan banyak sekali lawfirm yang panik. Pasalnya, menurut Pasal 72 ayat (3) UU Hak Cipta, ancaman bagi pelanggar hak cipta cukup tinggi. Yaitu pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp500 juta. Jumlah sebesar itu belum termasuk ganti rugi yang mungkin diajukan juga oleh pemegang hak cipta.

 

Namun, Dirjen Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) Departemen Kehakiman dan HAM, Abdul Bari Azed, secara tegas menyatakan pemegang hak cipta tidak boleh melakukan sweeping. Menurut Abdul Bari, jika pemegang hak cipta melakukan sweeping, hal itu bisa disebut main hakim sendiri.

 

Dijelaskan Abdul Bari, untuk melindungi haknya pemegang hak cipta hanya bisa melaporkan kepada aparat yang berwenang jika ditemukan dugaan bahwa disuatu tempat hak ciptanya dilanggar. Kemudian, aparat yang akan menindaklanjuti. "Kalau sweeping itu kan tindakan hukum, yang akan berakibat hukum," jelas Abdul Bari. Dekan FHUI itu menyarankan somasi sebagai langkah lainnya.

 

Namun perlu diingat juga bahwa pelanggaran terhadap hak cipta termasuk dalam delik biasa. Maksudnya, tidak perlu adanya pengaduan atau laporan dari pemegang hak cipta kepada aparat untuk melakukan tindakan hukum terhadap pelanggaran tersebut. Jadi, mungkin saja tiba-tiba polisi mengadakan sweeping terhadap tempat-tempat tertentu.

Halaman Selanjutnya:
Tags: