Kisah Anugerah Doktor HC untuk Wirjono Prodjodikoro
Arsip Hukum:

Kisah Anugerah Doktor HC untuk Wirjono Prodjodikoro

Ketua MA periode 1952-1966 ini dipersandingkan dengan Cornelis van Bijnkershoek, seorang hakim Belanda yang dikenal antikorupsi.

Mys
Bacaan 2 Menit
Kisah Anugerah Doktor HC untuk Wirjono Prodjodikoro
Hukumonline

Prof. Ko Siok Hie, mahaguru luar biasa Universitas Airlangga, masih ingat masa-masa awal mengenal sosok pria itu. Saat mengikuti kuliah di Rechthogeschool, Ko Siok Hie sering mendengar nama pria itu dari mulut dosennya, Mr. B. Ter Haar. Ada rasa penasaran, bagaimana mungkin seorang dosen sekaliber Ter Haar menyebut dan mengapresiasi putusan-putusan sang hakim.

Pria yang disebut Ter Haar adalah Wirjono Prodjodikoro. Kala itu, Wirjono sudah menjadi hakim. Putusan-putusannya sering dijadikan contoh oleh Ter Haar, termasuk di ruang kuliah yang diikuti Ko Siok Hie. Wirjono yang ingin dikenal Ko Siok Hie adalah Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam periode 1952-1966.

Namun, Ko Siok Hie baru benar-benar melihat wajah sang idola saat Wirjono menjadi hakim anggota dalam perkara – apa yang dalam sejarah nasional dikenal sebagai --Peristiwa 3 Juli. Ini adalah sidang terhadap sejumlah tokoh nasional yang dianggap menganggu kabinet Syahrir II. “Sebagai rakyat jelata, saya mengikuti jalannya sidang pemeriksaan Perisiwa 3 Juli ini,” tulis Ko Siok Hie.

Persuaan Ko Siok Hie dengan Wirjono justru berlanjut di dunia akademis. Sang profesor diminta oleh Dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga (FH Unair) Surabaya, A.G. Pringgodigdo sebagai promotor penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa (DHC) kepaa Wirjono.

Usulan pemberian DHC kepada Wirjono datang bukan saja dari FH Unair, tetapi juga didukung pengurus Persatuan Sarjana Hukum Indonesia (Persahi) Cabang Surabaya. Acara penganugerahan berlangsung pada 15 Juli 1964, dipimpin langsung pejabat Rektor Unair, Prof. Kuntjoro Purbopranoto. Saat pemberian gelar, Wirjono masih menjabat sebagai Menteri Koordinator Kompartmen Hukum dan Dalam Negeri sekaligus Ketua Mahkamah Agung.

Prestasi

Penganugerahan DHC tak lepas dari prestasi hakim agung kelahiran Surakarta, 15 Juni 1903 itu. Dalam penilaian tim pengusul, Wirjono memiliki andil yang besar dalam perkembangan hukum di Tanah Air. Itu pula yang kemudian dilukiskan Prof. Ko Siok Hie dalam pidatonya selaku promotor.

“Justru oleh sebab jasa-jasa Sdr Wirjono Prodjodikoro, gelar ini dianugerahkan kepada beliau. Dunia ilmu pengetahuan pada umumnya dan dunia ilmu hukum pada khususnya tahu benar karya-karya dan nilai daripada karya-karya Sdr Wirjono Prodjokoro”.

“Tiada toko buku yang akan berarti, yang tak menghias etalasenya dengan buku-buku hukum hasil pena saudara promovendus. Hampir tiada suatu majalah hukum yang diterbitkan yang tak berisi buah karangan beliau”.

Dilanjutkan Prof. Ko Siok Hie: “Tiada orang yang pernah meragukan integritas beliau sebagai hakim. Kita semua yakin akan kesarjanaan Saudara Wirjono Prodjodikoro dan kejujurannya sebagai hakim”.

Hingga kini, kalangan akademisi dan praktisi hukum masih menjadikan karya-karya Prof. Wirjono sebagai bahan rujukan utama. Tidak kurang dari 14 buku hukum telah ditulis Wirjono sebelum acara penganugerahan. Kalangan hukum kemudian mengenal karyanya antara lain Perbuatan Melanggar Hukum, Asas-Asas Hukum Perdata, Asas-Asas Hukum Perjanjian, dan Hukum Perdata tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu.

Satu hal yang mengagumkan, Wirjono berhasil membuat belasan karya itu di tengah kesibukannya sebagai hakim dan sebagai penasihat presiden. Belum lagi, kebiasaan Wirjono membuat catatan di bawah putusan-putusannya. Karya itu, kata Prof. Ko Siok Hie, membuktikan ‘satu daya kerja yang menakjubkan’.

Cornelis van Bijnkershoek

Wirjono adalah sosok sarjana hukum dan hakim yang sangat pintar. Ia dikenal sebagai salah seorang murid van Vollenhoven terpandai. Bahkan ketika belajar di Leiden (1926), Wirjono pernah mendapatkan ‘Kanaka Prijs’, suatu hadiah yang hanya diberikan kepada uitblinkers. Banyaknya karya tulis bersangkutan dalam berbagai bidang hukum membuktikan lebih jauh kepandaian, serta keluasan pengetahuan dan wawasan.

Prof. Ko Siok Hie mencoba membandingkan Wirjono dengan sejumlah ahli hukum. Meijer dan Scholten, dua akademisi hukum Belanda, juga punya karya yang banyak sepert halnya Wirjono. Cuma, keduanya bukan hakim.

Sarjana hukum Belanda lain yang layak diperbandingkan adalah de Assers. Karya-karya serial de Assers banyak dipakai di Belanda, tetapi buku itu ditulis beberapa orang kerabat dalam keluarga de Assers. Kalaupun kemudian Wirjono dibandingkan dengan Hugo de Groot atau Grotius (1583-1645), tak dapat dipersandingkan karena Grotius hanya dikenal d hukum internasional. Sedangkan tulisan Wirjono mencakup berbagai bidang.

Akhirnya, Prof. Ko Siok Hie sampai pada satu nama yang lebih cocok menggambarkan pengetahuan dan kepribadian Wirjono. Tokoh dimaksud adalah Cornelis van Bijnkershoek (1673-1743).

Selain sarjana hukum dan menelurkan banyak karya ilmiah, van Bijnkershoek –sering juga ditulis Bynkershoek—menjadi hakim, bahkan kemudian menjadi oang nomor satu di Hoge Raad. Sebagai hakim ia sangat disegani karena kejujurannya. Ia dikenal sebagai hakim yang antikorupsi. Pengacara dan hakim yang melacurkan profesi mereka disebut Bijnkershoek tak ubahnya keledai. Konon ia pernah melempar keluar barang-barang pemberian seorang pengusaha yang terbelit kasus. ‘Hij zoght mij te corrumperen,” dalihnya. ‘Sang pengusaha ingin menyuap saya’.

Para ahli hukum Belanda mengakui kepandaian Bijnkershoek. Karyanya meliputi beragam bidang seperti halnya Wirjono. Bedanya, tulis Prof. Ko Siok Hie, Wirjono adalah pribadi yang rendah hati, sedangkan Bijnkershoek cenderung menyombongkan diri. Wirjono tak sungkan mengakui karya-karyanya belum sempurna, dan terbuka terhadap masukan orang lain. Sikap keduanya terhadap pengacara pun berbeda. Bijnkershoek cenderung frontatif. Wirjono cenderung bersikap waspada terhadap para pengacara, bukan dengan memusuhi mereka.

Gagal di Leiden, Doktor di Unair

Wirjono Prodjodikoro akhirnya memperoleh Doktor Honoris Causa dari Unair. Dalam pidatonya sebagai promovendus, Wirjono menceritakan sedikit perjalanannya menempuh ilmu ke Leiden, Belanda. Di Universitas Leiden, Wirjono sempat menempuh kuliah, sejak 1923 hingga 1926.

Bahkan  bahan disertasinya, berjudul Het Sculdenrecht in Surakarta, sudah mulai disusun. Dua dari lima bagian rencana disertasi itu sudah selesai ditulis pada November 1925. Sakit yang menyerang membuyarkan impian Wirjono meraih doktor ilmu hukum dari Leiden. “Gagallah usaha saya untuk mendapatkan gelar doktor ilmu hukum di Universitas Leiden,” tulis Wirjono. Tetapi ia tetap bersyukur akhirnya memperoleh gelar serupa ‘meskipun dengan cara dan bentuk yang sangat berlainan daripada yang saya hendaki semula’.

Itulah sekelumit kisah penganugerahan gelar DHC kepada Wirjono Prodjodikoro, seperti yang tertuang dalam buku kumpulan pidato penganugerahan yang diterbitkan Universitas Airlangga. Tentu saja, gambaran ini akan lebih utuh jika kita membaca karya-karya yang dihasilkan Prof. Wirjono selama pengabdiannya di dunia hukum Indonesia.

Tags: