Kisah Abu Hanifah dan Sekantung Uang: Melihat Korupsi dari Perspektif Fikih
Edsus Lebaran 2019

Kisah Abu Hanifah dan Sekantung Uang: Melihat Korupsi dari Perspektif Fikih

Kalau profesor doktor menyuap untuk mendapatkan jabatan, maka tak ada lagi gunanya gelar itu.

Aji Prasetyo/Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Ketua KPK Agus Rahardjo. Foto: RES
Ketua KPK Agus Rahardjo. Foto: RES

Pulang dari Istana Abbasiyah, Abu Hanifah langsung menuju rumah. Seseorang sedang menunggunya, memperkenalkan diri sebagai utusan Hurra Khatun. Setelah berbasa basi, sang tamu menyampaikan surat ucapan terima kasih kepada Abu Hanifah, disertai sekantung uang dirham.

 

Abu Hanifah, seorang imam kelahiran Kufah sekitar tahun 80 H yang dikenal dalam Islam, mengingat hubungan pemberian uang itu dengan peristiwa di istana Abbasiyah. Imam diminta menyelesaikan perselisihan antara khalifah al-Mansyur dengan isterinya, permaisuri Hurra Khatun. Perselisihan itu berkaitan dengan urusan keluarga.

 

Khalifah al-Mansyur bertanya: “Berapa orang isteri yang diizinkan agama Islam pada suatu saat?”. Abu Hanifah singkat menjawab: “Empat”.

 

Maka berkatalah al-Mansyur kepada permaisurinya, “Engkau dengar sendiri apa yang dikatakan Imam?”. Mendengar pernyataan khalifah, imam Abu Hanifah langsung menyahut, “Tetapi ini terikat pada suatu syarat, khalifah. Seorang pria diizinkan beristeri lebih dari seorang perempuan, dengan syarat dia dapat berlaku sama adil kepada semua isterinya”.

 

Permaisuri Hurra Harun senang dan ingin berterima kasih atas penjelasan sang imam. Dalam konteks itulah ia mengutus seseorang menyampaikan ucapan terima kasih dan memberikan imbalan uang dirham kepada Abu Hanifah. Tetapi ternyata Abu Hanifah menolak. Seperti dilukiskan dalam buku ‘50 Kisah Nyata, Menyingkap Kisah-Kisah Hikmah Terpendam’, Abu Hanifah menolak pemberian uang, dan mengeluarkan pernyataan yang penting dicamkan dalam fikih korupsi: “Adalah menjadi kewajibanku untuk menyatakan yang hak tanpa rasa takut atau karena suatu imbalan”.

 

Kini, di era seperti sekarang, mungkin sudah jarang bisa ditemukan orang seperti Abu Hanifah. Menolak pemberian orang lain, apalagi dalam bentuk uang, terlihat sesuatu yang aneh saat ini. Bahkan tidak jarang orang menyalahgunakan wewenang dan jabatannya untuk mendapatkan uang dan kekayaan secara melawan hukum. Sebaliknya, orang yang ingin mendapatkan proyek secara sengaja menyuap aparat atau pejabat pemerintah. Yang memberi dan menerima sama-sama tahu perbuatan itu melanggar kaidah hukum negara dan kaidah agama.

 

Harun al-Rasyid, seorang aparat penegak hukum Indonesia, pernah mengkaji dan menganalisis politik uang di Indonesia dalam perspektif maqashid al-syari’ah. Pendekatan ini mengandung arti sejumlah makna atau sasaran yang hendak dicapai oleh syara’ dalam semua atau sebagian besar kasus hukumnya, atau ia adalah tujuan dari syariah.

 

Maqashid al-syariah itu adalah kemaslahatan bagi manusia. Maka dengan pendekatan ini maka masyarakat dapat mengetahui hikmah (nilai-nilai syariah) yang ditetapkan Allah terhadap manusia, dalam hal ini berkaitan dengan pemberantasan korupsi. Harun menyimpulkan bahwa ada implikasi menerapkan nilai-nilai syariah dalam kehidupan sehari-hari yang pada prinsipnya antikorupsi.

 

Menurut Harun, menjadi suatu pertanyaan besar negara dengan penduduknya mayoritas beragama Islam tetapi tingkat korupsi relatif tinggi. Hal ini berbanding terbalik dengan negara-negara sekuler yang justru tingkat korupsi cukup rendah. Apakah karena agama tidak mendukung pemberantasan korupsi? Tentu saja tidak! Agama manapun melarang penganutnya melakukan perbuatan korupsi. Kisah Abu Hanifah tadi hanya salah satu bahan pelajaran penting yang menunjukkan semangat antikorupsi.

 

Tetapi dalam praktik, perilaku korupsi cenderung abai pada ajaran agama. Bahkan pengadaan barang yang berkaitan dengan aktivitas keagamaan pun ikut dikorupsi. Harun al-Rasyid memberi contoh pengadaan al-Qur’an di Kementerian Agama. "Fenomenanya, untuk pengadaan Al-Quran saja dikorupsi, itu pengadaan kitab suci. Lalu, haji (juga dikorupsi)," kata Harun saat berbincang dengan hukumonline di kantornya di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan.

 

Baca juga:

 

Harun telah menulis disertasi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang menganalisis politik uang di Indonesia dalam perspektif maqashid al-syariah. Ia menjelaskan ada lima tujuan Allah membuat syariah atau maqashid al-syariah. Pertama, melindungi ajaran islam yaitu tidak menyekutukan Allah. Kedua, melindungi jiwa. Ini menjadi penyebab adanya hukum qishos (pembalasan setimpal). "Kalau seorang pembunuh ancaman hukumannya dibunuh, orang tidak akan berani lagi membunuh," pungkasnya. 

 

Ketiga, melindungi akal manusia. Ini bisa dikaitkan dengan kasus korupsi. Harun menjelaskan dalam perkara cek pelawat yang menjerat mantan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia Miranda Gultom, misalnya, setiap anggota Dewan yang menerima suap akalnya tidak terlindungi karena ia sudah meracuninya sendiri dengan terbiasa menerima suap. 

 

"Bahayanya yang terjadi saat pemilu kemarin di mana-mana pakai duit. Itu yang diracuni anak-anak muda kita. Jadi mereka beranggapan ngapain kerja keras, tinggal datang saja ke caleg, bilang kalau ada duitnya nanti tidak dipilih karena mendapat uang instan kalau yang begini tidak diatur hukum," tuturnya.

 

Keempat, melindungi keturunan dengan mensyariatkan pernikahan dan mengharamkan zina. Kelima, melindungi harta benda. "Kalau mencuri itu (hukum islamnya) potong tangan, nah itu efek jeranya luar biasa," katanya. 

 

Harun menambahkan sebenarnya Imam Shihab Al Qarafi menyebut satu lagi tujuan syariah, yakni menjaga kehormatan diri. Banyak pelaku korupsi adalah orang yang berpendidikan tinggi, punya jabatan tinggi, dan rasa percaya diri yang besar. Ironisnya, dalam beberapa kasus di Indonesia, banyak orang menyuap untuk memperoleh jabatan padahal mereka yang menyuap dan menerima suap adalah orang yang berpendidikan tinggi dan dikenal masyarakat kuat agamanya. “Kalau profesor doktor menyuap, maka tidak ada gunanya lagi gelar itu," tegas Harun.

 

Kasus yang relevan disebut adalah hasil Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap M. Romahurmuziy. Romy, begitu ia lazim disapa, adalah ketua umum partai yang menggunakan lambang ka’bah, dan korupsi yang menyeretnya berada di lingkungan Kementerian Agama. Kasus ini juga menyeret nama Menteri Agama ke dalam pusaran penerimaan suap. Meskipun belum sampai ke proses persidangan, kasus ini tak ayal memperlihatkan bahwa persepsi warga terhadap keagamaan seseorang belum tentu sejalan dengan semangat antikorupsi. Uniknya, sejumlah pelaku korupsi mengutip ayat-ayat suci ketika melakukan pembelaan diri di depan majelis hakim.

 

Baca juga:

 

Fatwa MUI

Dalam konteks Islam di Indonesia, misalnya, pencelaan terhadap praktik korupsi dapat dilihat dari Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Sejak lama MUI telah menetapkan perbuatan suap (risywah) dan korupsi (ghulul) adalah haram. Artinya, terlarang dilakukan dan jika tetap dilakukan akan mendapatkan sanksi dari Tuhan.

 

Bagaimana dengan memberi hadiah kepada pejabat? Dalam konteks lebaran, misalnya, KPK sudah berkali-kali mengimbau agar penyelenggara negara tidak menerima bingkisan parsel, atau gratifikasi lain. Bahkan penggunaan mobil dinas untuk pulang kampung pun cenderung dilarang dan pengecualiannya harus ada izin.

 

Dalam konteks ini, Fatwa MUI yang dihasilkan Munas MUI pada Juli 2000 menyebutkan dua kaidah hukum. Pertama, jika pemberian hadiah itu pernah dilakukan sebelum pejabat tersebut memegang jabatan, maka pemberian seperti itu hukumnya halal (tidak haram), demikian juga menerimanya. Kedua, jika pemmberian hadiah itu tidak pernah dilakukan sebelum pejabat tersebut memegang jabatan, maka dalam hal ini ada tiga kemungkinan.

 

Kemungkinan pertama, jika antara pemberi hadiah dan pejabat tidak ada atau tidak akan ada urusan apa-apa, maka memberikan dan menerima hadiah tersebut tidak haram. Kemungkinan kedua, jika antara pemberi hadiah dan pejabat terdapat urusan (perkara), maka bagi pejabat haram menerima hadiah tersebut; sedangkan bagi pemberi haram memberikannya jika pemberian dimaksud bertujuan untuk meluluskan sesuatu yang batil (bukan haknya). Kemungkinan ketiga, jika antara pemberi hadiah dan pejabat ada sesuatu urusan, baik sebelum maupun sesudah pemberian hadiah dan pemberiannya tidak bertujuan untuk sesuatu yang batil, maka halal (tidak haram) bagi pemberi hadiah itu, tetapi bagi pejabat haram menerimanya.

 

Ada lagi Fatwa MUI yang dihasilkan pada Munas ke-8 di Jakarta tahun 2010. MUI membahas persoalan politik uang dalam pemilu. Pada pokoknya MUI menyatakan bahwa pemilihan pemimpin secara langsung di tingkat daerah ternyata menimbulkan praktik kapitalisme dan liberalisme, yang mengakibatkan politik uang. MUI meminta pemerintah dan DPR mengkaji ulang pemilihan langsung karena maraknya politik uang (risywah siyasiah). Setelah itu, masih ada pandangan-pandangan MUI lain yang relevan, dan pada dasarnya mengharamkan praktik suap.

 

Cendekiawan Muslim seperti Bismar Siregar (almarhum) termasuk yang banyak mengingatkan pentingnya para penyelenggara negara, khususnya hakim, menghindari praktik korupsi. Dalam kata pengantarnya untuk buku Islam dan Gerakan Moral Antikorupsi (1997), Bismar menuliskan “seharusnya kita istighfar karena melihat korupsi begitu banyak macamnya baik korupsi harta, korupsi ilmu, maupun korupsi waktu, dan yang paling parah adalah korupsi waktu.

 

Dari skala kecil pengurusan surat-surat kependudukan pun warga masyarakat sudah berhadapan dengan korupsi. Apa penyebab korupsi begitu ‘membudaya’? Menurut Bismar, jika ingin mencari penyebab perbuatan korupsi, jangan dicari dalam kebersamaan, tetapi carilah dalam kedirian. Ajukan pertanyaan templatif ke dalam diri: adakah aku seorang koruptor?

 

Mengajak Ormas Keagamaan

KPK juga telah lama menyadari pentingnya mencegah praktik korupsi dengan pendekatan keagamaan. Tokoh-tokoh agama dilibatkan dalam pendidikan antikorupsi dan pencegahan di berbagai lini.

 

Semangat itu pula yang tercermin ketika KPK mengadakan acara buka puasa bersama dengan 300 peserta yang merupakan pimpinan dari 69 pengurus ormas Islam dan lembaga dakwah Islam serta 79 takmir masjid di lingkungan Kementerian/Lembaga/BUMN dan TNI-Polri, pada Senin (20/5).

 

Dalam kesempatan ini, KPK mengajak seluruh organisasi Islam untuk memperkenalkan nilai-nilai antikorupsi melalui media dakwah di lingkungan masing-masing. Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan selama ini organisasi Islam yang ada belum memiliki misi utama untuk memberantas korupsi.

 

"Salah satu pendapat yang pernah disampaikan oleh Pak Azyumardi Azra, mantan Rektor UIN Jakarta. Beliau menyatakan, lembaga-lembaga birokrasi agama belum cukup memainkan peran sebagai kelompok atau organisasi yang memiliki agenda pokok dalam pemberantasan korupsi dan menciptakan good governance," kata Agus dalam diskusi Sinergi dalam Dakwah AntiKorupsi.

 

Turut hadir dalam acara ini sejumlah Pimpinan dan tokoh ormas Islam, antara lain Ketua MUI Pusat bidang Seni budaya Islam, K.H Sodikun, Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat MUI KH. Kholil Nafis, Ketua Lembaga Hikmah PP Muhammadiyah KH. Yono Reksoprojo, dan Ketua PBNU KH. Robikin Emhas.

 

Ketua Dakwah Majelis Ulama Indonesia, Kholil Nafis menyayangkan kalau selama ini pelaku korupsi justru berasal dari kalangan terpelajar dan berkecukupan. KPK memang melansir jika mayoritas pelaku korupsi berpendidikan tinggi yaitu Strata Dua lalu Strata Satu dan terakhir bergelar doktor. Sementara yang berpendidikan SMA dan SMP sangat sedikit. 

 

Dari kenyataan itu, Kholil berkesimpulan bahwa perilaku korupsi tidak saja tentang jenjang pendidikan, melainkan karakter dan kesadaran dari masing-masing individu. Ia juga pun menawarkan sebuah solusi terkait hal ini yaitu melalui Da'i atau pendakwah. "Da'i bisa berbicara dengan 100 sampai dengan 1.000 orang. Tapi da'i itu harus memberikan ceramah yang selaras dengan kepentingan nasional, agar terbangun integrasi antara agama dan negara," ujarnya. 

 

Sementara itu, Ketua MUI pusat bidang Seni Budaya Islam K.H Sodikun mengatakan, MUI telah memiliki pedoman dakwah dalam hal sinergi dan kerja sama, baik dengan unsur pemerintah maupun jaringan ormas atau komunitas. Oleh karena itu ia berharap, pertemuan ini menjadi momentum bersama untuk memerangi perilaku korupsi. "Kami berharap, Pak Ketua, ini bisa ditindaklanjuti dengan Majelis Ulama, bersama dengan ormas-ormas Islam yang ada," pungkasnya.

 

Ke depan, ini menjadi tantangan bagi kaum agamawan untuk ikut berperan mencegah korupsi. Sudah cukup banyak kasus korupsi ditangani KPK yang menunjukkan korupsi bisa juga dilakukan oleh mereka yang di depan publik terlihat sebagai orang yang taat beragama. Kuncinya bukan suara publik itu. Kata Bismar Siregar, kuncinya ada di diri masing-masing orang. Sudahkah saya bersih dari korupsi?

Tags:

Berita Terkait