Kini, Ada Regulasi Perangi Pembalakan Liar
Berita

Kini, Ada Regulasi Perangi Pembalakan Liar

Pembahasan tertutup dan tak mengindahkan putusan MK, judiciaal review tanggapan dari publik.

RFQ/INU
Bacaan 2 Menit
Kini, Ada Regulasi Perangi Pembalakan Liar
Hukumonline

Butuh tujuh kali masa persidanganbagiRancangan Undang-Undang (RUU) Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H)  sebelum disahkan dalam sidang paripurna, Selasa (9/7). Tawaran pimpinan sidang paripurna, Pramono Anung pada anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna langsung disambut kata setuju tanpa interupsi.

Sebelum palu pengesahan diketuk, Ketua Panja RUU P3H Firman Subagyo menyampaikan laporan akhir. Dia sampaikan proses pembahasan RUU P3H  berjalan alot selama 11 tahun, sejak 2002 silam.

Awalnya RUU tersebut inisiatif pemerintahkemudian diambil alih menjadi inisiatif DPR. Ada 602 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dalam RUU P3H. Lalu dibuka pula permintaan saran dan masukan dari para pemangku kepentingan.

Menurut Firman, dengan hutan yang begitu luas, dibutuhkan perangkat perlindungan. Menurutnya, rusaknya hutan akan berdampak pada ekosistem mahluk hidup.

Perusakan hutan tidak hanya dipicu oleh pembalakan liar. Lebih dari separuhluas hutan di Indonesia rusak akibat berbagai kegiatan. Seperti pertambangan oleh korporasiserta kebakaran hutan untuk kepentingan tertentu. “Perusakan terjadi tak hanya pada hutan lindung, tapi hutan konservasi,” imbuhnya.

Menurut Wakil Ketua Komisi IV dari F-PG itu,kerusakan hutan adalah tindakan pidana. Karena fungsi hutan tak lagi bermanfaat bagi bagi kehidupan masyarakat. Rusaknya hutan menimbulkan beragam bencana seperti banjirkarena fungsi hutan sebagai penyangga airtak berjalan.

Karena itu, tindak pidana perusakan hutan tergolong kejahatan luar biasa. Sehingga penanganandilakukan secara luar biasa pula.

Menurut Firman, peraturan perundang-undangan terkait kehutanan, dipandang belum memadai menangani perusakan hutan. “Setelah disahkan, undang-undang baru dapat menjadi payung hukum bagi aparat penegak hukum serta menimbulkan efek jera bagi pelaku,” ungkapnya.

Ia menekankan, regulasi baru menyasar pelaku perusakan hutan korporasi dan organisasi yang dilakukan secara terorganisir. Sementara,terhadap masyarakat adat tidak diberlakukan.

Tapi ada pengaturan bagi masyarakatyang tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan. Terutama bila mereka menebang kayu di luar kawasan hutan konservasi untuk keperluan sendiri harus mendapat izin dari pejabat berwenang sesuai ketentuan.

Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan juga meyakini pengesahan RUU ini menjadi senjata ampuh memerangi tindak pidana perusakan hutan. Apalagi perusakan hutan secara terorganisir sudah mengkhawatirkan bagi negara dan mengganggu tatanan kehidupan sosial. “Harus ditangani dengan tindakan yang luar biasa,” ujarnya.

Menteri menyatakan kekurangan pengaturan pada regulasi saat ini diatur lebih detail melalui RUU P3H. Dia sampaikan pula, selain diharapkan menimbulkan efek jera dan ada kepastian hukum, pengesahan RUU ini mampu menjadi alat menjaga ekosistem dan keseimbangan fungsi hutan.

Judicial Review
Sebelumnya, melalui rilis Senin (8/7), koalisi masyarakat sipil untuk kelestarian hutan siap melakukan judicial review, bila RUU ini disahkan.

Juru bicara koalisi, Sri Rahma Mary menyatakan, “Rencana koalisi disebabkan oleh beberapa hal.”

Yaitu, pembentukan RUU tidak disertai naskah akademik. Padahal, RUU adalah perubahan dari RUU Pembalakan Liar, yang sudah dibahas DPR sejak 2011. Sedangkan, naskah akademik adalah syarat pembentukan RUU seperti diamanatkan Pasal 43 ayat (3) UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Kedua, proses pembahasan dinilai koalisi tidak terbuka, dan terkesan diam-diam dilakukan oleh Panja Komisi IV DPR. Koalisi juga menilai, DPR tidak berupaya melakukan harmonisasi hukum antara RUU P2H dengan peraturan di sektor kehutanan lain. Tapi, yang dilakukan Panja RUU adalah tetap memformulasikan segala bentuk pelanggaran dan tindak pidana di sektor kehutanan di dalam satu perundang-undangan.

Disharmonisasi yang paling mudah dilihat adalah masih digunakan definisi Kawasan Hutan dalam RUU ini yang sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi No.45/PUU-IX/2011. MK telah membatalkan definisi “Kawasan Hutan”  dalam UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

RUU menurut koalisi hanya menambah tumpang tindih peraturan perundang-undangan yang mengatur sektor kehutanan. Malah, koalisi menilai setelah RUU P2H disahkan, penegakan hukum di sektor kehutanan sulit dilakukan.

Koalisi juga heran dengan sikap Panja DPR yang tak mengindahkan putusan MK No.35/PUU-X/2012. Hutan adat, dalam putusan itu, dikeluarkan dari hutan negara dan masuk ke dalam golongan hutan hak. Padahal kenyataannya di lapangan, masih banyak hutan-hutan adat yang berada dalam kawasan hutan negara. Karena itu RUU P2H tidak bisa diberlakukan terhadap kawasan hutan yang belum jelas kepastiannya.

RUU ini, menurut koalisi kontraproduktif dengan pemberantasan korupsi. Malah mem buka peluang peluang korupsi terkait penyalagunaan wewenang terkait pemberian izin di bidang kehutanan. Terlebih, ada diskresi yang berlebihan pada pejabat daerah.

Tags:

Berita Terkait