Kinerja Lembaga Sensor Film Masih Sangat Subyektif
Berita

Kinerja Lembaga Sensor Film Masih Sangat Subyektif

Penyensoran film dalam UU Perfilman dinilai tidak sesuai lagi dengan perkembangan dunia film dan mengabaikan Hak Cipta.

NNC
Bacaan 2 Menit

 

Dalam sidang perdana dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan yang digelar di ruang sidang utama MK, Senin (26/11), Hakim Konstitusi Mukthie Fadjar mempertegas pada pemohon, apakah keberatan mereka itu ditujukan pada norma dalam UU perfilman atau pada implementasi dari UU Perfilman dengan keberadaan LSF.

 

Alasannya, dalam kerugian konstitusional yang mereka kemukakan, kebanyakan menggugat kondisi faktual LSF dalam melaksanakan kerja-kerja mereka yang diamanatkan UU Perfilman. Apakah LSF tidak diperlukan lagi agar kreatifitas tidak terpasung? ujar Mukthie.

 

Menjawab hal itu, Riza mengatakan, penyensoran yang dilakukan LSF tidak pernah mengikuti perkembangan jaman, selalu seputar itu-itu saja yang dipersoalkan. Ia menegaskan, mereka tidak sedang mengkritisi keberadaan LSF. Sutradara film Gie itu melihat dunia perfilman hingga sekarang ini sangat berbeda dengan dinamisasi dunia pers yang menuai masa kebebasan berekspresi setelah reformasi. Perfilman di Indonesia sekarang ini masih seperti kondisi pers ketika masih bisa dibreidel dulu. Masih ada bentuk kontrol penguasa atas ide dan pendapat publik dalam segala bentuknya, jelas Riri.

 

Menurut Riza, film merupakan salah satu bentuk media massa, sama seperti media cetak dan elektronik yang bertugas menyebarkan informasi pada khalayak. Dalam iklim demokrasi Indonesia yang mulai mengayun langkah ini, lanjut dia, dunia perfilman juga mesti diberikan kebebasan berekspresi.

 

Dalam penilaian Riza, parameter dan kriteria LSF dalam menyensor tidak jelas. Batasan kriteria sosial budaya politik ideologi dan ketertiban umum yang dipakai LSF dalam menyensor film hanya mengacu pada keinginan penguasa yang duduk pada saat itu. Terlalu subyektif, ujarnya.

 

Sejatinya, aturan organik untuk LSF dalam menjalankan tugas UU Perfilman sudah ditentukan dalam Peraturan Pemerintah No.7/1994 tentang Lembaga Sensor Film dan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No. PM.31/UM.001/MKP/05 tentang Tata Kerja Lembaga Sensor Film dan Tata Laksana Penyensoran. Namun, pemohon menilai ketentuan itu hanya bak pemanis di atas kertas saja bagi LSF.

 

Daftar penyensoran yang dianggap merugikan pemohon

 

 

Judul Film

Bentuk Penyensoran LSF

1.

The Army Forced Them To Be Violent, Tino Saroengallo, 1998, dokumenter (tragedi Semanggi I 1998);

     Memotong, menghapus bagian-bagian dalam film;

     Mengganti judul menjadi Studen Movement in Indonesia dengan alasan terlalu memojokkan aparat;

2.

Long Road to Heaven, Nia Dinata, 2007,

     Memotong bagian-bagian hingga 3 tahap;

     Dinyatakan lulus sensor tapi tidak diperbolehkan tayang di Bali;

3.

Berbagi Suami, Nia Dinata, 2007

     Dipotong pada bagian yang menurut Nia Dinata paling menunjukkan karakter pemain dan kemampuan aktris (Annisa Nurul Shanty) dan aktor dalam memerankan karakter;

4.

     Gie, Riri Riza, 2005

     3 Hari untuk Selamanya, Riri Riza, 2007

     Pemotongan pada adegan yagn ingin ditonjolkan untuk menunjukkan karakter pemain;

     Dipotong 100 detik dalam 10 bagian film, sehingga mengaburkan pencitraan yang ingin disampaikan;

5.

Timor Loro Sae, Tales of Crocodiles,  Passabe, the Black Road

     LSF melarang tayang pada acara Jakarta International Film Festival (JIFFEST)

Tags: