Kinerja KPK Dievaluasi, Begini Catatan Masyarakat Sipil
Berita

Kinerja KPK Dievaluasi, Begini Catatan Masyarakat Sipil

Penetapan korporasi sebagai tersangka kasus korupsi diapresiasi.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Konpres Koalisi Masyarakat Sipil di kantor ICW, Minggu (12/5). Foto: AJI
Konpres Koalisi Masyarakat Sipil di kantor ICW, Minggu (12/5). Foto: AJI

Kelompok masyarakat sipil menyusun catatan awal untuk mengevaluasi kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2015-2019. Tujuannya menghasilkan informasi untuk menilai kinerja KPK, termasuk kelebihan dan kelemahannya; mengidentifikasi kesenjangan antara kapasitas dan kinerja KPK; dan merumuskan rekomendasi untuk mengisi kesenjangan tersebut. Evaluasi juga berguna untuk memberikan saran perbaikan lebih lanjut bagi tata kelola KPK.

Koalisi yang beranggotakan antara lain Indonesia Corruption Watch (ICW) mengakui di beberapa sektor, ada kinerja KPK yang patut mendapat apresiasi, sebaliknya di sektor lain masih jauh dari harapan. Untuk sektor penindakan, hasil penyidikan terus mengalami peningkatan selama periode 2016-2018. Ada 99 kasus pada 2016, 121 kasus pada 2017, dan 199 kasus pada 2018. Total perkara yang disidik hingga akhir 2018 sebanyak 419 perkara.

Capaian ini diapresiasi mengingat keterbatasan sumber daya manusia. Dengan SDM terbatas,  KPK masih bisa mengungkap ratusan kasus tindak pidana korupsi pada periode tersebut. Kinerja penyidikan lain yang mendapat apresiasi adalah penetapan korporasi menjadi tersangka korupsi. Setidaknya sudah ada lima korporasi yang terjerat rasuah yaitu PT Duta Graha Indah, PT Tuah Sejati, PT Nindya Karya, PT Putra Ramadhan dan juga PT Merial Esa.

Dengan menetapkan korporasi sebagai subjek tindak pidana maka akan mempersempit kemungkinan pihak swasta untuk melakukan praktik koruptif. “Hal ini sejalan dengan pantauan tren penidakan kasus korupsi pada tahun 2018 yang dilakukan oleh ICW, dimana sektor swasta menempati urutan kedua berdasarkan sektor," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana di kantornya, Minggu (12/5).

Kurnia juga menyoroti penurunan jumlah terdakwa yang didakwa dengan pasal pidana pencucian uang, dari 8 menjadi 4. Seharusnya, demi pemulihan asset, pelaku korupsi bisa dikejar dengan pidana pencucian uang.

Selain itu, selama periode 2016-2018, rata-rata tuntutan yang dilayangkan kepada KPK yaitu 5 tahun 7 bulan dari 113 terdakwa. Disparitas tuntutan juga menjadi perhatian masyarakat sipil. Persoalan ini dianggap sebagai catatan penting, karena berdampak pada rasa keadilan, baik dari sisi terdakwa maupun masyarakat sebagai pihak terdampak kejahatan korupsi. Sebagai contoh, untuk kasus suap. Anang Basuki, ajudan mantan Kepala Dinas Pertanian Jawa Timur yang terlibat kasus suap hanya dituntut 1,5 tahun penjara oleh KPK. Sedangkan Kasman Sangaji, Pengacara Saipul Jamil yang juga terlibat kasus suap dituntut maksimal 5 tahun penjara. Padahal kedua terdakwa bersamaan didakwa dengan Pasal 5 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Selain itu disparitas tuntutan pun terjadi ketika KPK mendakwa dengan Pasal terkait kerugian negara. Budi Rachmat Kurniawan, mantan GM PT Hutama Karya hanya dituntut 5 tahun penjara. Padahal perbuatan yang bersangkutan diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp40 milyar. "Sedangkan Irvanto Hendra Pambudi, mantan Direktur PT Murakabi Sejahtera dituntut 12 tahun penjara dalam kasus pengadaan KTP-El. Keduanya didakwa dengan aturan serupa, yakni Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi".

Masalah pencabutan hak politik juga masih dianggap minim. Dalam pantuan ICW dari tahun 2016-2018 KPK setidaknya telah menuntut 88 terdakwa dari dimensi politik. Akan tetapi yang cukup mengecewakan, KPK hanya menutut 42 terdakwa agar dicabut hak politiknya.

Hal yang patut disesalkan adalah ketika KPK tidak menuntut pencabutan hak politik atas terdakwa Sri Hartini, Bupati Klaten. Alasan yang diutarakan jaksa saat itu adalah karena tuntutan pidana penjara sudah cukup tinggi sehingga tidak diperlukan lagi pencabutan hak politik.

Padahal tujuan keduanya sudah jelas berbeda. Pidana penjara dimaksudkan agar yang bersangkutan dapat merasakan efek jera atas kejahatan yang dilakukan. Sedangkan pencabutan hak politik dimaksudkan agar yang bersangkutan tidak dapat menduduki jabatan tertentu.

Tunggakan perkara

Menurut catatan Koalisi, ada sekitar 18 tunggakan perkara yang belum diselesaikan KPK, di antaranya kasus dugaan korupsi proyek Hambalang. Untuk kasus gratifikasi, KPK menetapkan satu pelaku, yakni mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum.

Sementara itu, dalam kasus dugaan penyalahgunaan wewenang, empat orang sebagai tersangka, yakni Andi Mallarangeng (mantan Menteri Pemuda dan Olahraga), Teuku Bagus Muhammad Noor (mantan petinggi PT Adhi Karya), Kepala Biro Keuangan dan Rumah Tangga Kemenpora Deddy Kusdinar, dan Direktur PT Dutasari Citralaras Machfud Suroso. Dalam hasil audit BPK disebutkan banyak pihak yang terlibat dalam kasus korupsi proyek Hambalang tersebut.

Selanjutnya bailout Bank Century yang baru menjerat pelaku yaitu mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia, Budi Mulya. Aktor utama di balik skandal Century hingga saat ini juga belum terungkap. Untuk Proyek Wisma Atlet Kemenpora sudah diproses atas nama terdakwa Mindo RM, Wafid Muharam, Angelina Sondakh, dan Nazaruddin. Politisi partai PDIP, IWK, yang disebut diduga menerima uang belum diproses.

Berikutnya, poyek SKRT Kementrian Kehutanan Baru menjerat Direktur PT Masaro Radiokom, Putranefo dan Pemilik PT Masara Radiokom, Anggoro Widjojo. Nama pelaku lain seperti DA yang bersama-sama Anggoro diduga menyuap dan dua pejabat Kementrian Kehutanan yang menerima suap belum ditetapkan sebagai Tersangka. Begitu juga dengan MSK, mantan Menteri Kehutanan yang disebut menerima suap dari Anggoro Widjojo.

Kisruh internal

Pada 29 Maret 2019, 84 penyelidik dan 30 penyidik KPK mengirimkan surat petisi berjudul “Hentikan Segala Bentuk Upaya Menghambat Penanganan Kasus” ke pimpinan KPK terkait lima penyebab terhambatnya penanganan perkara korupsi di KPK.

Semua berasal dari pegawai internal, tidak ada penyidik dari unsur kepolisian dan kejaksaan. Berbagai rintangan tersebut dianggap dapat merintangi tugas pemberantasan kroupsi, seperti pengembangan perkara lebih tinggi, kejahatan korporasi, dan tindak pencucian uang. Hingga 12 April lalu, pendukung petisi bertambah menjadi hampir 500 orang yang meluas ke Kedeputian lain, seperti Kedeputian Pencegahan.

Hambatan yang dimaksud yaitu penanganan perkara, OTT yang bocor, perlakuan istimewa terhadap saksi tertentu dan pemanggilan saksi yang tidak dipenuhi, pencekalan dan pencegahan yang tidak disetujui kemudian yang terakhir pembiaran dugaan pelanggaran berat.

(Baca juga: KPK Lakukan OTT di Jawa Timur).

Poin terakhir, perkara dugaan pelanggaran berat yang ditengarai pelakunya pegawai di Bagian Penindakan KPK tidak sepenuhnya ditindaklanjuti oleh pimpinan KPK. Penanganan perkara oleh Pengawas Internal juga diduga tidak transparan. Contohnya terdapat pada perusakan barang bukti berupa buku catatan keuangan milik Basuki Hariman, terpidana dalam kasus suap mantan hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar. Adapun penyidik KPK, Ajun Komisaris Polisi RR dan Komisaris  HR hanya dikembalikan ke kepolisian meskipun kuat dugaan terlibat dalam perkara ini, dan tidak dikenai pasal telah menghalangi penyidikan.

Perkara-perkara yang diduga terhambat ditengarai melibatkan kekuasaan dengan aneka alasan, mencakup (1) dugaan suap dagang jabatan di Kementerian Agama yang melibatkan M. Romahurmuziy (mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan), (2) korupsi dana hibah KONI di Kementerian Pemuda dan Olahraga yang melibatkan Sekretaris Jenderal KONI, Ending Fuad Hamidy, (3) dugaan suap dan gratifikasi dari PT Humpuss Transportasi Kimia yang melibatkan anggota DPR dari Partai Golongan Karya Bowo Sidik, dan (4) dugaan korupsi terkait divestasi saham sebuah perseroan yang diduga melibatkan seorang mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat.

(Baca juga: Berbagai Cara Koalisi Desak Penuntasan Kasus Novel Baswedan).

Mekanisme pengangkatan dan rotasi pegawai juga masih harus diperbaiki. Ketika tahun 2018 lalu masyarakat dihebohkan tentang sistem rotasi SDM di KPK yang dianggap bermasalah. Bahkan Wadah Pegawai KPK melakukan protes hingga mendaftarkan gugatan ke PTUN.

Wadah Pegawai menganggap rotasi dan mutasi pegawai ini dilakukan secara tidak adil dan tidak transparan. Kebijakan Pimpinan KPK dalam merotasi 14 jabatan eselon II dan III tersebut dinilai melanggar Peraturan KPK No. 7 Tahun 2013 tentang Nilai-Nilai Dasar Pribadi, Kode Etik, dan Pedoman Perilaku KPK.

Baru-baru ini proses pengangkatan 21 penyidik internal di tahun 2019 juga mendapatkan protes dari pihak Polri. Surat dari Polri kepada Ketua KPK Agus Rahardjo yang dikirimkan pada 3 Mei 2019 ditandatangani Direktur Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri Brigadir Jenderal Erwanto Kurniadi dan berisi daftar nama 97 penyidik Polri penugasan KPK.

Ke-97 penyidik Polri yang pernah ditugaskan di KPK itu menyebut KPK kuat dengan bekerja sama dengan Polri, Kejaksaan Agung, dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), bukan karena peran satu unsur saja. Mereka meminta pimpinan KPK untuk tidak menerapkan kebijakan yang eksklusif, terutama dalam hal pengangkatan penyidik di KPK.

Tags:

Berita Terkait