Kilas Balik Polemik UU Cipta Kerja Sepanjang 2020-2021
Kaleidoskop 2021

Kilas Balik Polemik UU Cipta Kerja Sepanjang 2020-2021

Polemik UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terjadi sejak proses pembentukan pada tahun 2020 hingga setelah putusan MK.

Ady Thea DA
Bacaan 7 Menit
Gerakan Buruh Bersama Rakyat membentangkan atribut menolak Omnibus RUU Cipta Kerja saat menggelar aksi demonstrasi di depan Gedung DPR, Senin (13/1/2020) lalu. Foto: RES
Gerakan Buruh Bersama Rakyat membentangkan atribut menolak Omnibus RUU Cipta Kerja saat menggelar aksi demonstrasi di depan Gedung DPR, Senin (13/1/2020) lalu. Foto: RES

Pada akhir tahun 2020, sejumlah produk legislasi mendapat sorotan masyarakat, salah satunya UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Sejak proses pembahasan hingga disahkan pada 5 Oktober 2020 beleid ini terus menuai polemik dan kecaman dari masyarakat sipil terutama kalangan buruh, aktivis lingkungan hidup dan HAM.

Bahkan, pandemi Covid-19 dan pembatasan sosial yang ditetapkan pemerintah tidak bisa membendung ekspresi masyarakat sipil yang menolak UU No.11 Tahun 2020 melalui aksi demonstrasi di berbagai daerah. Setelah disahkan Presiden sebulan kemudian, UU Cipta Kerja “digugat” ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh sejumlah elemen masyarakat hingga akhirnya diputus dikabulkan sebagian pada 25 November 2021, keberlakuan UU Cipta Kerja pun masih terus menuai polemik.      

Tahun lalu, Amnesty Internasional Indonesia pernah mencatat dari 51 video yang diverifikasi menunjukkan 43 insiden kekerasan oleh polisi selama demonstrasi menolak UU Cipta Kerja (omnibus law) periode 6 Oktober sampai 10 November 2020. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyebut dari hasil pemeriksaan video itu memperlihatkan polisi di berbagai wilayah melakukan pelanggaran HAM yang mengkhawatirkan.

“Ketika para pengunjuk rasa berdemo menuntut pembatalan undang-undang baru ini di banyak kota, sebagian dari mereka direspon dengan kekerasan yang luar biasa, termasuk pemukulan, penyiksaan, dan perlakuan buruk lainnya, yang menunjukkan pelecehan hak atas kebebasan berkumpul dan berekspresi,“ kata Usman dalam keterangan tertulis yang dilansir di laman amnesty.id, (2/12/2020) lalu.

Pemantauan Amnesty International Indonesia mencatat ada 402 korban kekerasan polisi di 15 provinsi selama demonstrasi tersebut. Sebanyak 6.658 orang ditangkap di 21 provinsi dan 301 diantaranya ditahan dalam jangka waktu yang berbeda-beda termasuk 18 jurnalis.

Tak hanya kekerasan di lapangan, Usman melihat protes terhadap omnibus law yang dilakukan secara daring juga mendapat intimidasi. Tercatat 7-20 Oktober 2020 ada 18 orang dari 7 provinsi menjadi tersangka karena dituduh melanggar UU ITE.

“Ada banyak sekali video dan kesaksian tentang kekerasan polisi yang beredar sejak hari pertama aksi. Insiden ini mengingatkan kita pada kekerasan brutal terhadap mahasiswa Indonesia 22 tahun lalu, di akhir masa rezim Soeharto. Pihak berwenang harus belajar dari masa lalu bahwa rakyat tidak pernah takut untuk menyuarakan hak mereka,” ujar Usman. (Baca Juga: Guru Besar FH UGM: UU Cipta Kerja Miliki Daya Laku, Tapi Tak Punya Daya Laku)  

Sejak awal 2020, kalangan buruh menolak rencana pemerintah menerbitkan RUU Cipta Kerja melalui metode omnibus law ini. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyoroti beberapa hal dampak buruk omnibus law (RUU Cipta Kerja) bagi kaum pekerja di Indonesia. Misalnya jam kerja lembur, berkurangnya kompensasi pesangon, fleksibilitas pasar kerja, dan meluasnya praktik outsourcing untuk semua jenis pekerjaan.  Baca Juga: Kalangan Buruh Sebut Enam Dampak Buruk Omnibus Law bagi Buruh

Ketua Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) Ilhamsyah mengatakan organisasinya menolak pasal-pasal ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja. Menurutnya RUU ini akan meningkatkan PHK massal dan makin menurunkan kesejahteraan masyarakat.

Dia melihat proses pembahasan omnibus law mengarah pada penghapusan atau penurunan besaran pesangon, pengupahan dan menyerahkan sistem ketenagakerjaan pada mekanisme bipartit yakni perundingan pengusaha dan buruh di tempat kerja. Ilhamsyah yakin perubahan yang akan dilakukan terhadap ketentuan pesangon itu bakal menciptakan banyak PHK massal.

Protes masyarakat sipil terhadap RUU Cipta Kerja tak hanya substansinya, tapi juga proses pembentukannya yang dinilai tidak partisipatif. Ketua Umum Kasbi Nining Elitos mengecam tindakan pemerintah yang mencatut nama organisasinya sebagai salah satu dari 14 serikat pekerja yang masuk dalam “Tim Koordinasi Pembahasan dan Sosialisasi Publik Substansi Ketenagakerjaan.”

Kasbi yang tergabung dalam Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) sejak awal menolak omnibus law yang sebelumnya bernama RUU Cipta Lapangan Kerja karena proses penyusunannya sudah cacat sejak awal. Tim koordinasi yang dibentuk pemerintah itu menurut Nining hanya “boneka” untuk melegitimasi proses penyusunan RUU yang selama ini sangat tertutup, tidak demokratis, dan hanya mengakomodir kepentingan pengusaha.

“Ini jelas menyalahi asas keterbukaan seperti diamanatkan konstitusi, asas partisipasi masyarakat dalam UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,” tegasnya.

Koordinator Departemen Pendidikan KSN Novri Auliansyah menyayangkan sikap pemerintah yang terkesan diam-diam dalam menyusun RUU Cipta Kerja dan tidak melibatkan masyarakat yang bakal terdampak seperti buruh, petani, nelayan dan masyarakat hukum adat. “RUU ini hanya akan mendatangkan investor buruk yang bakal mengeksploitasi sumber daya alam (SDA), melegalkan upah murah, sementara hukuman bagi pengusaha nakal hanya sanksi administratif,” imbuhnya.

Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, mencatat kendati pandemi belum berakhir dan penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di sejumlah daerah, tapi penggusuran dan penangkapan terhadap petani terus terjadi. Bahkan petani dilarang menyampaikan aspirasi kepada DPR dalam rangka memperingati Hari Tani Nasional pada 24 September 2020 lalu.

Menurut Dewi, persoalan yang dihadapi petani dan program reforma agraria semakin terancam jika RUU Cipta Kerja disahkan. Misalnya, RUU Cipta Kerja mengamanatkan pembentukan bank tanah. Pengaturan ini sangat bertentangan dengan konsep reforma agraria. Menurutnya, tidak mungkin kebutuhan tanah untuk reforma agraria disandingkan dengan kebutuhan tanah bagi investor dan pemilik modal.

Setelah pemerintah dan DPR menyelesaikan pembahasan RUU Cipta Kerja dan DPR mengesahkannya dalam rapat paripurna 5 Oktober 2020, berbagai organisasi masyarakat sipil menggelar demonstrasi nasional 6-8 Oktober 2020. Setelah UU No.11 Tahun 2020 terbit berbagai elemen masyarakat sipil mengajukan permohonan pengujian ke MK baik uji formil dan materil. [Baca: Tolak RUU Cipta Kerja, Koalisi Serukan Aksi Nasional]

Lalu, MK menerbitkan putusan terhadap pengujian UU No.11 Tahun 2020 pada Kamis 25 November 2021. Hasilnya, dari 12 permohonan baik uji formil dan/atau materiil, hanya 1 permohonan yang dikabulkan sebagian yakni pengujian formil perkara No.91/PUU-XVIII/2020. Permohonan lainnya dinyatakan tidak dapat diterima karena telah kehilangan objek.

Putusan itu membawa babak baru pelaksanaan UU No.11 Tahun 2020 karena MK menyatakan beleid itu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat selama belum diperbaiki atau inkonstitusional bersyarat. Pemerintah dan DPR diberi kesempatan untuk melakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun setelah putusan dibacakan. Putusan MK ini belum mengakhiri polemik UU No.11 Tahun 2020, tapi malah semakin memperpanjang karena putusan itu ditafsirkan beragam oleh banyak pihak. Misalnya, Presiden Joko Widodo menyatakan secara resmi beleid ini masih berlaku dan memerintahkan jajarannya untuk segera melakukan perbaikan sebagaimana amanat putusan MK.

Tapi sebagian kalangan seperti akademisi menilai UU No.11 Tahun 2020 masih memiliki daya laku, tapi tidak punya daya ikat karena telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM), Prof Maria Sumardjono meminta semua pihak untuk mematuhi Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 mengenai uji formil UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang masih menuai polemik di masyarakat lantaran memunculkan beragam tafsir. Dia melihat sedikitnya ada 3 pandangan yang berkembang di masyarakat menyikapi putusan MK tersebut. [Baca: Guru Besar FH UGM: UU Cipta Kerja Miliki Daya Laku, Tapi Tak Punya Daya Ikat]

Pertama, ada kelompok yang menganggap putusan MK itu “biasa saja,” sikapnya cenderung reaktif dan defensif. Pemahaman terhadap putusan sifatnya tekstual, hanya membaca amar putusan. Sehingga jika amar itu tidak menyebut secara eksplisit, maka tidak dijalankan dan orientasinya pragmatis-praktis untuk segera keluar dari masalah. Fokusnya hanya perbaikan formal UU No.11 Tahun 2020.

Rencana tindak lanjut yang dilakukan kelompok ini hanya merevisi UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana diubah terakhir melalui UU No.15 Tahun 2019 dan memasukan metode omnibus law di dalamnya. Bahkan proses perbaikan ini diklaim bisa dilakukan dalam waktu 3 bulan.

“Kelompok ini menyepelekan partisipasi publik. Belum memandang partisipasi publik sebagai hal yang esensial dalam pembentukan UU,” kata Prof Maria dalam webinar bertema “Implikasi Putusan MK terhadap Substansi UU Cipta Kerja”, Kamis (16/12/2021) lalu.

Prof Maria melihat kelompok yang pertama ini berpendapat UU No.11 Tahun 2020 dan peraturan turunannya berlaku sepenuhnya. Kelompok ini berdalih putusan MK tidak menyebut secara eksplisit untuk memperbaiki pasal-pasal dalam UU No.11 Tahun 2020.

Kedua, kelompok yang memandang putusan MK ini “cukup serius.” Sikapnya sama seperti kelompok pertama yakni reaktif dan defensif. Pemahaman terhadap putusan sifatnya tekstual, dan fokus pada amar putusan. Kelompok ini menganggap putusan MK tidak menyentuh pasal-pasal dalam UU No.11 Tahun 2020 dan orientasinya pragmatis-praktis dan beleid ini harus jalan terus.

Rencana tindak lanjut kelompok kedua ini fokus pada perbaikan formal UU No.11 Tahun 2020 dengan memasukannya dalam prolegnas dan diawali dengan merevisi UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana diubah terakhir melalui UU No.15 Tahun 2019. “Revisi terhadap UU No.11 Tahun 2020 sifatnya parsial klaster tertentu saja, misalnya ketenagakerjaan.”

Ketiga, kelompok yang memandang putusan MK secara kontekstual, pertimbangan dan amar putusan tidak dapat dipisahkan. Hal yang eksplisit dan implisit dalam putusan dilihat semuanya bermakna dan berpengaruh terhadap rencana tindak lanjut yang dilakukan. Orientasi kelompok ini pro aktif dan tujuannya agar tidak mengulang kesalahan dan perbaikan UU No.11 Tahun 2020 dilakukan baik formal dan substansinya.

“Kelompok ini menegaskan UU No.11 Tahun 2020 dan peraturan turunannya ditangguhkan sampai perbaikan terhadap beleid tersebut selesai,” lanjutnya.

Kelompok ketiga ini mendorong agar rencana tindak lanjut dilakukan dengan merevisi UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana diubah terakhir melalui UU No.15 Tahun 2019 secara menyeluruh sesuai putusan MK. Metode omnibus law yang dimasukan yakni sifatnya regulasi yang serumpun atau satu bidang. Partisipasi publik sifatnya mutlak sesuai pertimbangan putusan MK.

Prof Maria menegaskan pertimbangan dan amar putusan MK jelas memandatkan UU Cipta Kerja dilakukan perbaikan secara formal dan substansi. Pemerintah dan DPR harus memiliki inisiatif yang baik untuk membuka dialog dengan masyarakat karena yang diatur nanti adalah kebutuhan seluruh masyarakat, bukan hanya kelompok yang punya posisi tawar kuat. “Kalau ada iktikad baik untuk membenahi substansi, maka akan memberikan hasil yang baik pula,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait