KHN: “Tangkap, Adili dan Hukum Berat” Bukan Obat Mujarab
Terbaru

KHN: “Tangkap, Adili dan Hukum Berat” Bukan Obat Mujarab

Yang dibutuhkan adalah kepastian hukum.

Ali Salmande
Bacaan 2 Menit

Selain sinisme itu, lanjut Mardjono, di Indonesia juga seakan tidak dikenal adanya cara yang halal atau haram. Yang ada adalah cara susah atau gampang. “Ini budaya kita yang harus diubah, yakni mental-mental yang tidak baik. Revolusi mental,” tegasnya.

Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Kepolisian Republik Indonesia (Polri)  Komjen Pol Suhardi Alius memaparkan statistik tidak terbuktinya “teori” hukuman berat dapat mengurangi kejahaan. “Dari data statistik, orang yang dikenai tindak pidana narkotika, 50 persennya balik lagi setelah menjalani hukuman, padahal sudah dihukum berat. Bahkan, ada yang mengendalikan bisnis haramnya dari dalam LP,” ujarnya.

Lebih lanjut, Suhardi mengatakan bahwa contoh “Singapura” yang dikemukakan Mardjono menunjukan bahwa persoalan ini bukan hanya masalah aparat penegak hukum. “Orang Indonesia begitu masuk Bandara Changi (Singapura,-red) kalau mau buang sampah, langsung mencari tempat sampah. Makanya, aparat dibangun, masyarakat juga harus dibangun,” ujarnya.

Hukuman Adil
Hakim Agung Gayus Lumbuun mengatakan bahwa hakim tidak harus menghukum seseorang dengan hukuman berat, tetapi harus dengan adil. “Adil itu bukan berarti ringan. Tetapi, kalau seseorang memang seharusnya dihukum ringan, mengapa kita kenakan hukuman berat?” ujarnya.

Gayus juga sependapat bila hukuman berat tidak menjamin kejahatan berkurang. Ia mencontohkan hukuman seumur hidup yang diterima mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar dan beberapa anggota DPR yang divonis belasan tahun penjara, tetapi pertumbuhan kejahatan korupsi terus berlanjut.

“Kita harus evaluasi, sebelum memberikan masukan ke pemerintahan yang baru,” ujarnya.

Menurut Gayus, hukuman mati sekalipun tidak semata-mata obat mujarab. Kenapa? Karena hukuman hanya bagian dari tindakan hukum. “Yang perlu kita pikirkan adalah penegakan hukum yang menyeluruh,” ujarnya.

“Ke depan, faktor penegakan hukum harus dilakukan dengan hal-hal baru. Yakni, dengan menempatkan aparatur yang tepat. Kita harus mulai dengan aparatur-aparatur yang membuat asyarakat percaya kepada hukum. Distrust terhadap hukum menjadi pulih. Itu butuh komitmen dan pollitical will pemerintah, butuh leadership di segala tingkatan,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait