Kewenangan Penyadapan Kejaksaan Harus Diatur Ketat dan Terukur
RUU Kejaksaan

Kewenangan Penyadapan Kejaksaan Harus Diatur Ketat dan Terukur

Ada usulan dua opsi, melengkapi aturan penyadapan dalam RUU Kejaksaan atau menyelesaikan pembahasan RUU Penyadapan terlebih dahulu.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Gedung DPR, tempat pembahasan RUU antara pemerintah dan DPR-DPD. Foto: RES
Gedung DPR, tempat pembahasan RUU antara pemerintah dan DPR-DPD. Foto: RES

Meskipun belum rampung merumuskan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penyadapan, DPR sudah mulai memasukan pengaturan kewenangan penyadapan bagi institusi Kejaksaan. Kewenangan ini diatur dalam draf Revisi UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI (RUU Kejaksaan). Namun, ada dorongan agar pengaturan kewenangan diatur secara ketat dan terukur agar tidak melanggar hak asasi manusia (HAM).

Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Prof Topo Santoso mengatakan kewenangan penyadapan lembaga kejaksaan memang perlu diatur secara detail dalam draf RUU Kejaksaan. Sebab, tindakan mengkriminalisasi terdapat risiko terjadinya interuptif negara terhadap seseorang dengan upaya paksa berupa penyadapan.

“Karenanya, wewenang penyadapan oleh kejaksaan perlu diatur ketat, termasuk kontrol izin dari ketua pengadilan,” ujar Prof Topo Santoso dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Panitia Kerja (Panja) RUU Kejaksaan di Komplek Gedung Parlemen, Rabu (17/11/2021) kemarin.(Baca Juga: Pemilihan Jabatan Jaksa Agung Diusulkan Menggunakan Sistem Seleksi)

Dalam kesempatan yang sama, Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Fajri Nursyamsi menilai kewenangan penyadapan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum harus akuntabel. Pengaturan kewenangan jaksa dalam menyadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana bakal diatur dalam draf RUU Kejaksaan.

Pasal 30C huruf k RUU Kejaksaan menyebutkan, “Selain melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 30A, dan Pasal 30B, Kejaksaan: … k. melakukan penyadapan dan menyelenggarakan pusat pemantauan (monitoring) di bidang tindak pidana;”.

“Rumusan norma tersebut tak detail. Padahal penyadapan sebuah tindakan yang berpotensi melanggar hak privasi seseorang. Kewenangan ini perlu dipahami dan rentan pelanggaran HAM,” kata dia.

Menurut Fajri, sebuah tindakan dalam penegakan hukum bila tidak diatur secara detail dan jelas berpotensi terjadinya abuse of power (penyalahgunaan kewenangan). Untuk itu, batasan kewenangan penyadapan perlu diatur secara tegas dan jelas serta terukur. Menurutnya, kewenangan penyadapan oleh jaksa harus dibatasi hanya dalam ruang lingkup penegakan hukum. Bila tidak dibatasi dapat berpotensi terjadinya abuse of power dengan menjustifikasi sebagai penegakan hukum.

“Kewenangan ini perlu pengawasan ketat sejak mulai melakukan penyadapan. Sebelum menyadap diharuskan mengantongi izin terlebih dahulu dari satu lembaga. Mekanisme dan prosedur perizinan pun perlu diatur secara ketat agar kewenangan penyadapan tidak dilakukan secara serampangan.”

Dalam kesempatan ini, Fajri memberikan dua pilihan. Pertama, kewenangan penyadapan bagi jaksa perlu diatur secara menyeluruh dalam draf RUU Kejaksaan. Sejak mulai batasan penggunaan kewenangan penyadapan, prosedur, hingga keterlibatan lembaga terkait dalam melaksanakan penyadapan.

Kedua, DPR dan pemerintah merampungkan terlebih dahulu penyusunan dan pembahasan RUU tentang Penyadapan. Keberadaan RUU Penyadapan merupakan amanat dari tiga putusan MK yang satu dengan lainnya saling menguatkan. Misalnya, Putusan MK Nomor 006/PUU-I/2003 tanggal 29 Maret 2004; Putusan MK Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 18 Desember 2006; dan Putusan MK Nomor 5/PUU-VIII/2010 tanggal 24 Februari 2011.

“Putusan MK itu mengamanatkan penyadapan harus diatur dalam UU tersendiri dan inisiatifnya sudah didorong DPR, sehingga konsepsi RUU harus diselesaikan terlebih dahulu dulu,” ujarnya.

Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) ini melanjutkan, substansi yang perlu dilakukan bukan hanya siapa yang berhak memiliki kewenangan penyadapan, tapi bagaimana prosedur, dampak dan batasan kewenangannya. Bila telah detail diatur mekanisme prosedur, beranjak ke tahapan selanjutnya soal lembaga mana yang bakal dibekali atau ditambah kewenangan penyadapan.

“Itu dulu yang seharusnya diselesaikan pembahasannya. Ketika DPR bersama presiden sebagai pembentuk UU sudah menyepakati mekanismenya, baru beranjak siapa lembaga yang bisa menggunakan kewenangan itu,” katanya.

Anggota Divisi Pemantauan Impunitas KontraS, Syahar Banu menolak kewenangan penyadapan di luar sistem peradilan pidana. Dia mengusulkan rumusan norma dalam Pasal 30C huruf k RUU Kejaksaan agar dihapus. Menurutnya, tindakan penyadapan sebagai bentuk pembatasan hak konstitusional seorang warga negara boleh dilakukan dalam sistem peradilan pidana. Bila penyadapan dilakukan penyidik (atau penuntut umum, red) setelah mengantongi izin dari ketua pengadilan, maka diperbolehkan.

Menurutnya, dengan adanya izin dari ketua pengadilan ada proses check and balance terhadap tindakan hukum yang dilakukan aparat penegak hukum. Seperti yang berlaku dalamUU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika;UU No.17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara; danUU No.19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Tags:

Berita Terkait