Kewenangan Pengadilan Agama Kembali Dipersoalkan
Berita

Kewenangan Pengadilan Agama Kembali Dipersoalkan

Permohonanserupa pernah ditolak Mahkamah lewat Putusan No. 019/PUU-VI/2008.

ASh
Bacaan 2 Menit
Sidang pengadilan Majelis Mahkamah Konstitusi (MK).<br> Foto: Ilustrasi (Sgp)
Sidang pengadilan Majelis Mahkamah Konstitusi (MK).<br> Foto: Ilustrasi (Sgp)

Majelis Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menangani permohonan pengujian Pasal 49 ayat (1) UU No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Adalah Suryani yang mengajukan pengujian pasal yang mengatur beberapa kewenangan Pengadilan Agama dalam  memutus perkara. Sebelumnya, warga Serang Banten ini pernah mengajukan permohonan pengujian pasal yang sama pada tahun 2008.      

 

Suryani menilai pasal itu telah merugikannya selaku pemeluk agama Islam karena membatasi ketakwaan seseorang. Dalam arti, bebas menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhkan segala larangan-Nya. Menurutnya, hukum pidana Islam seharusnya menjadi kewenangan Pengadilan Agama        

 

“Menjalankan hukum pidana Islam adalah ibadah dalam Islam yang juga dilindungi Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (1), (2), Pasal 29 ayat (1), (2) UUD 1945,” kata Suryani dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang diketuai Anwar Usman di ruang sidang Gedung MK Jakarta, Rabu (25/5).

 

Lengkapnya, Pasal 49 (1) berbunyi, “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan, b. kewarisan, wasiat, hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, wakaf, dan shadaqah.”

 

Suryani berpendapat penerapan hukum pidana Islam adalah bagian dari ibadah. Laiknya, ibadah agama Islam lainnya, maka penerapan hukum pidana Islam juga harus dihormati. “Seperti halnya ibadah shalat, puasa yang dihormati penegakannya, kenapa hukum pidana Islam tidak bisa dihargai penegakannya, toleransi yang ada saat ini semu karena hukum pidana Islam tidak bisa diterapkan,” katanya membandingkan.

 

Menurutnya, tidak ada ibadah apapun dalam Islam termasuk hukum pidana Islam yang bertentangan prinsip kemajemukan/keragaman atau pluralitas. Sebab, jika hukum pidana Islam ditegakkan, keragaman akan tetap terjaga karena hukum pidana Islam hanya diperuntukkan bagi orang Islam.

 

“Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama yang diubah dengan UU No 3 Tahun 2006 mengatur kewenangan Pengadilan Agama hanya sebatas memutus perkara perdata (Islam), padahal dalam syariat Islam tidak hanya sebatas hukum perdata, kenapa hukum pidana Islam dikebiri?”   

 

Karena itu, pembatasan menjalankan syariat Islam yang terkandung dalam Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama  itu dinilai Suryani bertentangan dengan Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (1), (2), Pasal 29 ayat (1), (2) UUD 1945. “Menyatakan Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama itu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” tuntutnya.

 

Hilang dasar hukum 

Hakim Konstitusi Anwar Usman mengatakan kewenangan Pengadilan Agama kini tidak sebatas memutus perkara hukum waris, hibah, perkawinan, wasiat, wakaf, sadaqah. Akan tetapi, sejak UU Peradilan Agama diubah lewat UU No 3 Tahun 2006 dan UU No 50 Tahun 2009 Pengadilan Agama juga berwenang memutus perkara zakat, infak, dan ekonomi syariah termasuk perbankan dan asuransi syariah.            

 

Ia mempertanyakan jika permohonan ini dikabulkan, maka Pengadilan Agama tidak memiliki dasar untuk memutus perkara-perkara perdata Islam seperti hukum waris, hibah, perkawinan, wasiat, wakaf, dan sadaqah. “Ini yang harus dipikirkan dan dipertimbangkan kembali oleh pemohon untuk bahan perbaikan permohonan,” kritik Anwar.

 

Kritikan senada juga dilontarkan Achmad Sodiki. Ia menilai jika Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama dibatalkan, berarti Pengadilan Agama tidak berwenang lagi untuk memutus perkara waris, perkawinan, hibah, wasiat, dan zakat. “Apa Anda tidak ikut berdosa, padahal yang Anda harapkan soal hukum pidana Islam belum berlaku sebagai hukum nasional,” kritiknya.

 

Ia mengingatkan jika pemohon menginginkan agar hukum pidana Islam diberlakukan harus melalui pembuatan undang-undang baru oleh pemerintah dan DPR. “Kalau pasal itu dibatalkan justru akan menjadi kacau, misalnya kalau orang mau cerai siapa yang memutus? Ini harus dipikirkan lagi.”

 

Sementara, Muhammad Alim menegaskan bahwa Indonesia bukan negara Islam meski mayoritas penduduknya beragama Islam. “Seandainya Piagam Jakarta yang sebelumnya pernah memuat norma kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya dalam pembukaan UUD 1945 yang dulu, mungkin permohonan Saudara beralasan, tetapi norma itu kan tidak jadi disahkan,” jelasnya.

 

Ia juga menilai bahwa permohonan ini sebenarnya tidak bisa dimohonkan kembali karena sudah pernah ditolak Mahkamah lewat Putusan No 019/PUU-VI/2008. Pasal yang diuji dan dalil permohonan pun persis sama. “Menurut Pasal 60 UU MK permohonan bisa tidak dapat diterima,” jelasnya. “Tetapi, terserah Saudara apakah akan tetap dengan permohonannya atau akan menarik kembali permohonan.”

Tags: