Kewenangan Penangkapan dan Penahanan Dinilai Berlebihan
Revisi UU Anti Terorisme

Kewenangan Penangkapan dan Penahanan Dinilai Berlebihan

Jangka waktu penahanan harus sesuai dengan asas peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Penanganan aksi terorisme di Jakarta. Foto: RES
Penanganan aksi terorisme di Jakarta. Foto: RES
Sejumlah pasal dalam Revisi Undang-Undang (RUU) No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme memang menjadi sorotan masyarakat. Selain pasal pencabutan kewarganegaraan dan minimnya pencegahan, rancangan aturan penangkapan dan penahanan dinilai berlebihan. Demikian pandangan dari berbagai pemangku kepentingan menyorot rancangan pasal penangkapan dan penahanan dalam Revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Roichatul Aswida, berpandangan perubahan waktu penangkapan terhadap orang yang diduga terlibat melakukan pidana terorisme selama 30 hari berlebihan. Memang tidak pidana terorisme merupakan kejahatan serius yang menimbulkan korban manusia dan harta benda tanpa pandang bulu. Memang dalam rangka kepentingan penyelidikan masa penangkapan dalam KUHAP dianggap tidak memadai.

“Namun perubahan yang diusulkan selama 30 hari kiranya berlebihan. OLeh karena hal ini menyimpang dari ketentuan Pasal 9 ayat (3) Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (KIHSP),” ujarnya, Kamis (9/6).

Untuk menghindari kemungkinan penyalahgunaan kewenangan, maka masa penangkapan tetap sesuai dengan aturan dalam UU No.15 Tahun 2003, yakni 7 hari dengan mengedepankan hak asasi pihak yang ditangkap. Selain itu, hak orang yang ditangkap pun tetap diakui dan dilindungi oleh hukum internasional. Yakni, hak atas kompensasi ketika yang bersangkutan menjadi korban salah tangkap atau penahanan yang tidak sah.

Pasal 28 RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menyatakan, “Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana terorisme dalam waktu paling lama 30 hari”.

Kemudian, Pasal 25 mengatur penahanan.  Pasal itu mengatur demi kepentingan penyidikan, penyidik diberikan kewenangan melakukan penahanan selama 180 hari. Jangka waktu penahanan pun dapat diperpanjang oleh penuntut umum dalam waktu paling lama 60 hari. Sedangan demi kepentingan penuntutan, penuntut umum dapat melakukan penahanan paling lama 90 hari. Bahkan, perpanjangan pun dapat dilakukan selama 60 hari oleh hakim pengadilan negeri.

Roichida berpandangan lembangan mengusulkan agar dilakukan perubahan redaksional. Yakni, jangka waktu penahanan terhadap pelaku tindak pidana terorisme sesuai dengan KUHAP. Pasalnya KIHSP telah diratifikasi oleh UU No.12 Tahun 2005 tentang Hak-Hak Sipil dan Politik telah memberikan jaminan terhadap hak setiap orang yang ditangkap atau ditahan mesti secepatnya diperiksa di persidangan pengadilan dalam waktu layak.

Usulan lainnya, masa waktu penangkapan dan penahanan dikembalikan kepada ketentuan Perppu No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Menurutnya penentuan jangka waktu penahanan mesti didasarkan alasan yang layak. Selain itu mesti berdasarkan kompleksitas perkara, tingkah laku terdakwa dan kerajinan aparat penegak hukum.

“Jangka waktu penahanan harus sesuai dengan asas peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan yang diatur dalam pasal 50 KUHAP,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Imparsial, Al Araf, berpandangan perpanjangan masa penangkapan menjadi 30 hari aka menjadi persoalan. Pasalnya, boleh jadi bakal melanggar HAM. Begitu pula perpanjanan masa penahanan mulai penyidikan hingga vonis pengadilan selama 450 hari atau 1 tahun 3 bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 25. Ia menyarankan agar masa penangkapan dan penahanan dikembalikan sesuai dengan masa waktu yang diatur dalam KUHAP.

Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Abraham Todo Napitupulu berpandangan ketentuan terkait upaya paksa dalam RUU tersebut berpotensi melanggar HAM. Bahkan mengabaikan prinsip dasar fair trial. Penangkapan dengan jangka waktu 30 hari dan penahanan pra persidangan mencapai 450 hari sebagaimana usulan pemerintah tanpa dijelaskan alasa rasional.

“Kenapa membutuhkan waktu begitu lama untuk menangkap dan menahan. Berdasarkan hasil pemantauan ICJR, sampai dengan hari ini, tidak ada tersangka dan terdakwa Terorisme yang dibebaskan atau dilepaskan dari tuntutan hukum,” ujarnya beberapa waktu lalu.

Pria biasa disapa Eras pun menilai hukum acara pidana yang diatur dalam KUHAP dan UU 15/2003 sudah berlaku efektif. Menurut Eras, penangkapan dalam kurun waktu 7x24 jam sudah memberikan praktik penahanan tanpa memberikan kepastian hukum terkait akses informasi dan keberadaan tahanan. Upaya paksa itu pun menjadi latarbelakang banyak penyiksaan dalam proses peradilan kasus terorisme.

“Tidak dapat dibayangkan apabila masa penangkapan itu diperpanjang menjadi 30 hari. Ketentuan ini juga melanggar hak dari tersangka untuk sesegera mungkin diajukan ke ruang sidang,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait