Kewajiban Pelaku Usaha Mengolah Limbah B3 dan Non B3 dalam PP 22/2021
Utama

Kewajiban Pelaku Usaha Mengolah Limbah B3 dan Non B3 dalam PP 22/2021

Salah satu aturan turunan UU Cipta Kerja yang paling banyak dibahas adalah PP 22/2021 karena secara fundamental mengubah landscape kerangka peraturan dalam lingkungan hidup.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit
Hukumonline menggelar Webinar Hukumonline Cipta Kerja Updates, bertema Kewajiban Pelaku Usaha dalam Pengelolaan Limah B3 dan Non B3 Pasca Peraturan Pelaksana Undang-Undang Cipta Kerja, Selasa (23/3). Foto: RES
Hukumonline menggelar Webinar Hukumonline Cipta Kerja Updates, bertema Kewajiban Pelaku Usaha dalam Pengelolaan Limah B3 dan Non B3 Pasca Peraturan Pelaksana Undang-Undang Cipta Kerja, Selasa (23/3). Foto: RES

Pemerintah telah mengeluarkan aturan baru pengolahan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) dan non-B3. Aturan tersebut tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. PP ini merupakan salah satu turunan Undang-Undang No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Dengan terbitnya PP 22/2021 maka mencabut sekaligus lima aturan sebelumnya yaitu PP 101/2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun, PP 27/2012 tentang Izin Lingkungan, PP 82/2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air Dan Pengendalian Pencemaran Air, PP 41/1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara dan PP 19/1999 tentang Pengendalian Pencemaran Dan/Atau Perusakan Laut. Kemudian, aturan baru tersebut juga mengubah PP 46/2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup.

General Manager Premium Content Hukumonline, Robert Sidauruk, menyampaikan perhatian publik terhadap isi PP 22/2021 sangat besar karena terdapat sejumlah perubahan fundamental dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Selain itu, jumlah pasal yang banyak menyebabkan pemahaman terhadap PP ini lebih kompleks.

“Salah satu aturan turunan UU Cipta Kerja yang paling banyak dibahas yaitu PP 22/2021. Ini karena PP tersebut secara fundamental mengubah landscape kerangka peraturan dalam lingkungan hidup. Terlebih jumlah pasal yang sangat banyak dalam memahami aturan ini jadi lebih kompleks. Sesaat PP 22/2021 diterbitkan kami langsung identifikasi ketentuan dalam PP ini,” jelas Robert dalam acara webinar HOL ‘Kewajiban Pelaku Usaha dalam Pengelolaan Limbah B3 dan Non-B3 Pasca-Peraturan Pelaksana UU Cipta Kerja’, Selasa (23/3).

Cakupan dalam PP 22/2021 antara lain persetujuan lingkungan, mutu air, mutu udara, mutu laut, pengendalian kerusakan lingkungan hidup, pengelolaan limbah B3 dan Non-B3, dana penjaminan, sistem informasi lingkungan hidup, pengawasan dan sanksi. Robert menjelaskan PP 22/2021 menambah 70 ketentuan, mengubah 73 ketentuan dan menghilangkan 11 ketentuan. (Baca: 4 Catatan Kritis ICEL Soal Abu Batubara Bukan Lagi Limbah B3)

Sementara itu, Senior Regulatory Compliance Ecoverse Indonesia, Mohamad Mova Al’Afghani, menyampaikan penerbitan PP 22/2021 tidak mengubah PP 74/2001 tentang Pengelolaan B3. Sehingga, defenisi limbah B3 masih mengacu pada ketentuan lama. Aturan tersebut menyatakan defenisi B3 yaitu bahan yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan atau merusak lingkungan hidup, dan atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya.

Mova menjelaskan dalam UU Cipta Kerja terdapat sedikit perubahan redaksional dibandingkan UU No.32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Perubahan tersebut mengenai tanggung jawab mutlak tanpa pembuktian bagi setiap orang dalam memanfaatkan

B3 dan/atau menghasilkan, mengolah limbah B3 dan/atau menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup maka setiap orang bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan. “Redaksionalnya berbeda tapi seharusnya aplikasinya sama saja karena dijabarkan di penjelasan (UU Cipta Kerja),” jelas Mova.

Kemudian, Mova menjelaskan Pasal 501 PP 22/2021 memuat ketentuan pembelaan bagi pelaku usaha yang tidak menggunakan, menghasilkan dan tidak menimbulkan ancaman. Sementara itu, Pasal 501 juga menyatakan ketentuan pembebasan tanggung jawab saat pencemaran atau kerugian diakibatkan bencana alam atau peperangan serta keadaan kahar atau force majeure.

Selain itu, pembebasan juga dapat dilakukan saat ada pihak lain yang menyebabkan terjadinya pencemaran atau kerugian. Menurut Mova, pembabasan karena pihak lain tersebut menjadi kontroversial pada yurisdiksi lain.

Terdapat syarat ketat dalam pembebasan tersebut seperti pencemaran atau kerugian akibat pihak lain tanpa campur tangan tergugat. Kemudian, tergugat juga sudah melakukan tindakan pencegahan dan tergugat tidak punya hubungan kontraktual.

“Setelah terpenuhi maka tergugat dapat dibebaskan. Namun, seharusnya doktrin tersebut masuk dalam UU Cipta Kerja tidak bisa lewat PP,” jelas Mova. Kemudian, dia menjelaskan kondisi pelaku usaha harus bertanggung jawab saat menimbulkan ancaman serius dan berdampak luas seperti mengotori air tanah atau permukaan.

Dalam acara tersebut, Mova juga menyampaikan kategori B3 dan Non-B3. Dia menyampaikan tanggung jawab mutlak juga dibebankan kepada pelaku usaha secara substantif. “Strict liability bisa berlaku secara substantif terhadap semua benda yang memiliki karakteristik B3, terlepas dari apakah benda tersebut digolongkan sebagai B3 oleh peraturan,” jelas Mova.

Tags:

Berita Terkait