Kewajiban Negara Melindungi Pekerja Migran Indonesia
Kolom

Kewajiban Negara Melindungi Pekerja Migran Indonesia

​​​​​​​Putusan MK dapat menjadi patokan bagi seluruh stakeholder untuk memiliki persepsi atau pandangan yang sama dalam hal memberikan perlindungan yang menyeluruh bagi TKI atau Pekerja Migran Indonesia.

Bacaan 7 Menit
Hani Adhani. Foto: Istimewa
Hani Adhani. Foto: Istimewa

Banyaknya kasus hukum yang menimpa para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri menjadi semacam stimulus bagi pembentuk undang-undang untuk memperketat proses dan mekanisme penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI) ke luar negeri. Update kasus terakhir yang menimpa TKI/PMI kita terjadi di Arab Saudi yakni seorang PMI perempuan yang kemungkinan dibunuh dan kemudian dimasukan ke dalam koper dan dibuang.

Tentunya kasus tersebut sangat menyedihkan dan bukan hanya mencoreng harkat dan martabat para Pekerja Migran Indonesia kita akan tetapi lebih jauh lagi telah mencoreng harkat dan martabat Bangsa indonesia. Kejadian buruk yang dialami oleh para TKI ini terus berulang khususnya di negara-negara yang menjadi prioritas pengiriman TKI ke luar negeri.

Regulasi Baru perlindungan TKI/PMI

Dengan melihat fakta banyaknya kasus hukum yang dialami oleh para TKI/PMI di luar negeri, maka dapat kita simpulkan bahwa Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU 39/2004) yang diundangkan pada tanggal 18 Oktober 2004,  tidak cukup maksimal melindungi para TKI atau PMI yang bekerja di luar negeri. Hingga akhirnya pembentuk undang-undang yakni DPR dengan persetujuan Presiden membentuk undang-undang baru sebagai upaya untuk merubah paradigma perlindungan TKI/PMI yang semula fokus pada penempatan dan berubah menjadi fokus kepada perlindungan.

Pembentukan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU 18/2017) yang menggantikan UU 39/2004 adalah bagian dari upaya serius negara dalam melindungi para PMI/TKI yang selama ini seringkali mengalami kasus tindak pidana seperti penganiyayaan, pelecehan dan juga pembunuhan.

UU 39/2004 dipandang belum memadai sehingga perlu diganti untuk disesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan  pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Selain itu, hal yang paling utama  adalah terjaminnya pemenuhan dan penegakan hak asasi manusia sebagai warga negara dan Pekerja Migran Indonesia serta terjaminnya pelindungan hukum, ekonomi, dan sosial Pekerja Migran Indonesia dan keluarganya.

Perlindungan tersebut mencakup perlindungan sebelum bekerja, selama bekerja, dan setelah bekerja, yang dalam pelaksanaannya perlu diawasi dan dilakukan penegakkan hukum manakala terjadi pelanggaran atas jaminan perlindungan yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.

Judicial Review UU PPMI ke MK

Namun dalam teknis pelaksanaannya, diundangkannya UU 18/2017 tersebut, ternyata menurut beberapa pihak masih saja ada yang berpandangan bahwa undang-undang tersebut telah melanggar hak konstitusional mereka. Salah satunya adalah Asosiasi Organisasi Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (ASPATAKI) yang mengajukan permohonan pengujian UU 18/2017 yang terdiri dari tiga pasal yakni:

Pasal 54 ayat (1) huruf a dan huruf b:

  1. Untuk dapat memperoleh SIP3MI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1), Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia harus memenuhi persyaratan:
  1. memiliki modal disetor yang tercantum dalam akta pendirian perusahaan paiing sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah);
  2. menyetor uang kepada bank pemerintah dalam bentuk deposito paling sedikit Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) yang sewaktu-waktu dapat dicairkan sebagai jaminan untuk memenuhi kewajiban dalam Pelindungan Pekerja Migran Indonesia;

Pasal 82 huruf a:

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah), setiap Orang yang dengan sengaja menempatkan Calon Pekerja Migran Indonesia pada:

  1. jabatan dan jenis pekerjaan yang tidak sesuai dengan perjanjian kerja sehingga merugikan Calon Pekerja Migran Indonesia tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf a; atau

Pasal 85 huruf a:  

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), setiap orang yang:

  1. menempatkan Pekerja Migran Indonesia pada pekerjaan yang tidak sesuai dengan Perjanjian Kerja yang telah disepakati dan ditandatangani Pekerja Migran Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf a;

Dalam argumentasi konstitusionalnya, ASPATAKI berpandangan bahwa ketiga pasal tersebut telah menyebabkan terlanggarnya hak konstitusional ASPATAKI sebagai badan hukum privat yang menaungi organisasi perusahaan penempatan para Pekerja Migran Indonesia ke luar negeri yang anggotanya berjumlah 142 perusahaan.

Menurut ASPATAKI, ada dua isu konstitusional yang menyebabkan mereka mengajukan permohonan judicial review ke MK, yakni, pertama, isu tentang kewajiban pembayaran modal disetor perusahaan sebesar Rp5 miliar dan setoran deposito sebesar Rp1,5 miliar yang menurut ASPATAKI sangat memberatkan, kedua, sanksi pidana yang diberlakukan kepada perusahaan (P3MI) apabila ada PMI yang bekerja tidak sesuai dengan perjanjian kerja.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 83/PUU-XVII/2019

Untuk menjawab isu konstitusional terkait norma pasal tersebut, MK membagi pertimbangan hukumnya menjadi dua bagian, pertama, dalam paragraf awal [3.14] MK mencoba memberikan gambaran secara utuh tentang bagaimana pentingnya negara hadir dalam upaya memberikan perlindungan secara yang maksimal terhadap para TKI/PMI yang bekerja di luar negeri.

Selain itu, MK juga menegaskan bahwa UU 39/2004 yang sudah sering diajukan pengujian ke MK juga secara kasat mata memang tidak maksimal mengakomodir perlindungan terhadap para TKI/PMI sehingga dengan adanya UU baru yakni UU 18/2017 yang juga telah memasukan Konvensi Internasional Mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran Dan Anggota Keluarganya yang kemudian diundangkan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pengesahan International Convention on The Protection of The Rights of All Migrant Workers And Members of Their Families diharapkan dapat memberikan warna baru dalam upaya memberikan perlindungan TKI/PMI secara maksimal.

Kedua, dalam pertimbangan hukumnya, MK juga menjawab seluruh dalil yang dikemukakan oleh ASPATAKI sebagai berikut:

  • Isu Konstitusional Terkait Setoran dan Deposito

Menurut MK, regulasi yang dibuat oleh pembentuk undang-undang dengan menaikkan modal yang disetor dan deposito setoran ke bank pemerintah merupakan bagian dari upaya memberikan jaminan kualifikasi dan krediblitas perusahaan sebagai pelaksana penempatan Pekerja Migran Indonesia. Dengan melihat fakta hukum terjadinya berbagai kasus yang dialami oleh para TKI/PMI yang selalu diawali dengan adanya kelalaian perusahaan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya baik pada saat dimulainya proses rekrutmen TKI/PMI hingga sampai pekerja migran selesai bekerja, maka kenaikan modal yang disetor dan setoran tersebut adalah sebuah keniscayaan yang memang harus dilakukan seiring berubahnya nilai mata uang dan juga yang lebih utama adalah sebagai upaya untuk meningkatkan marwah TKI/PMI yang dalam hal ini juga diwakili oleh perusahaan sebagai partner dari Pemerintah dalam pelaksanaan penempatan Pekerja Migran Indonesia.

Menurut MK, perusahaan yang mendapatkan SIP3MI haruslah peruashaan yang bukan hanya profesional dan bonafide tetapi juga memiliki komitmen yang sungguh-sungguh untuk menjaga dan menjamin hak-hak asasi warga negara yang bekerja di luar negeri agar tetap terlindungi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (2) UUD 1945.

Selain itu, menurut MK, syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 54 dimaksudkan agar perusahaan sebagai pelaksana penempatan TKI/PMI dapat secara sungguh-sungguh membuat perencanaan secara profesional yang didasarkan kepada kemampuan perusahaan dan fakta-fakta yang diperkirakan secara cermat dan rasional yang berpengaruh terhadap realisasi dari rencana yang telah ditetapkan. Menurut MK dengan adanya syarat tersebut bertujuan sebagai upaya untuk mencegah pendirian perusahaan penempatan Pekerja Migran Indonesia yang tidak bersungguh-sungguh. Terlebih lagi, apabila hal tersebut dikaitkan dengan objek usaha penempatan PMI adalah manusia dengan segala harkat dan martabatnya, maka persyaratan demikian merupakan bentuk lain dari upaya perlindungan terhadap TKI/PMI.

  • Isu Konstitusional Terkait Sanksi Pidana

Menurut MK, frasa “setiap orang” dalam ketentuan pidana berarti berlaku kepada siapa saja yang melanggar ketentuan pidana tersebut, baik perorangan termasuk kelompok orang maupun badan hukum. Oleh karenanya, menurut MK, ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 82 huruf a dan Pasal 85 huruf a UU 18/2017, berlaku bagi siapa saja yang melanggar ketentuan pasal tersebut.

Selain itu, menurut MK, penulisan frasa "setiap orang" juga dimaksudkan untuk menindak orang-orang yang terlibat dalam kegiatan penempatan TKI/PMI yang melanggar ketentuan pidana. MK berpandangan, perumusan frasa "setiap orang" sudah tepat karena berdasarkan doktrin vicarious liability apabila badan hukum melakukan tindak pidana, maka bukan badan hukum yang dikenakan tindak pidana melainkan orang yang menjalankan badan hukum tersebut.

Ditambah lagi, menurut MK, pasal a quo yang mengatur tentang larangan dan juga sanksi pidana yang diberlakukan bukan hanya untuk orang tetapi juga badan hukum yang juga merupakan subjek hukum yang ikut bertanggung jawab dalam penempatan PMI yang dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum atas perbuatan hukum yang dapat menimbulkan kerugian. Hal tersebut semakin menegaskan adanya pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Hal lain yang juga menjadi penting dan harus diperhatikan oleh Pemohon, menurut MK, adalah adanya pandangan Pemohon yang menyatakan bahwa dengan berlakunya pasal terkait sanksi pidana yang diatur dalam bab ketentuan pidana yang terkesan tidak adil dan seolah-olah hanya perusahaan saja yang akan terkena sanksi pidana, hal tersebut adalah pandangan yang keliru. Menurut MK, dengan berubahnya regulasi pengurusan perizinan yang lebih menitikberatkan pada perlindungan TKI/PMI dengan sistem yang terpadu dan satu atap maka pengaturan sanksi pidana yang diatur dalam pasal tersebut bukan hanya dititikberatkan kepada perusahaan sebagai pelaksana penempatan TKI/PMI di luar negeri tetap juga seluruh stakeholder yang terkait dengan penempatan TKI/PMI di luar negeri baik orang perseorangan maupun korporasi.

Menurut MK, seluruh stakeholder yang terkait dengan penempatan PMI mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, P3MI, mitra usaha, pemberi kerja, pejabat terkait, harus memiliki persepsi atau pandangan yang sama dalam hal memberikan perlindungan yang menyeluruh bagi PMI sehingga seluruh PMI harus dilindungi dari perdagangan manusia, perbudakan dan kerja paksa, korban kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat manusia, serta segala perlakuan lain yang melanggar hak asasi manusia.

Untuk mewujudkan hal tersebut dibutuhkan pengawasan dan penegakan hukum yang tegas dan konsisten. Dalam konteks ini, pengawasan mencakup perlindungan baik sebelum bekerja, selama bekerja, maupun setelah bekerja. Sementara itu, penegakan hukum meliputi sanksi administratif dan sanksi pidana. Dengan demikian menurut Mahkamah hal tersebut telah sejalan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.

Secara keseluruhan MK menolak seluruh dalil argumentasi Pemohon dan secara garis besar MK kembali memberikan semacam guideline kepada kita semua sebagai masyarakat yang terikat dengan UU tersebut dan juga kepada seluruh stakeholder yang terkait dengan penempatan TKI/PMI di luar negeri agar benar-benar menjalankan regulasi perlindungan TKI/PMI secara utuh dengan mengedepankan hak asasi manusia yang dilindung oleh Konstitusi Indonesia (UUD 1945).

Semoga putusan MK tersebut dapat menjadi patokan bagi seluruh stakeholder yakni pemerintah pusat, pemerintah daerah, P3MI, mitra usaha, pemberi kerja, pejabat terkait, sehingga memiliki persepsi atau pandangan yang sama dalam hal memberikan perlindungan yang menyeluruh bagi TKI/PMI dari perdagangan manusia, perbudakan dan kerja paksa, korban kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat manusia, serta segala perlakuan lain yang melanggar hak asasi manusia.

*)Hani Adhani, PhD Candidate, Faculty of Law, IIUM Malaysia. Alumni, FH UMY, FH UI dan The Hague University.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait