Keuntungan Pemenang Tender Tanpa PMH Bukan Korupsi
Berita

Keuntungan Pemenang Tender Tanpa PMH Bukan Korupsi

Ada dissenting opinion sejak putusan banding hingga kasasi.

M-16/MYS
Bacaan 2 Menit
Keuntungan Pemenang Tender Tanpa PMH Bukan Korupsi
Hukumonline
Berita gembira itu mestinya datang ke kantor PT Kamara Idola di Jakarta. Direktur Utama perusahaan ini, Kartini Hutapea, lolos dari tuduhan korupsi. Kartini divonis bebas Mahkamah Agung, sebagaimana tertuang dalam putusan yang baru saja dilansir laman resmi Mahkamah Agung. Namun saat dihubungi via telepon, tak satu pun pegawai yang bisa memberikan tanggapan atas berita gembira itu.

Kartini sempat menjalani masa penahanan. Pengadilan Tipikor Banda Aceh menghukum perempuan kelahiran 29 April 1954 itu empat tahun penjara dan denda 200 juta, plus uang pengganti 400 juta rupiah. Di tingkat banding, vonis yang harus diterima Kartini tambah berat. Ia diharuskan membayar uang pengganti 8,2 miliar. Di tingkat kasasi, putusan berubah. Majelis hakim agung beranggotakan Artidjo Alkostar, Krisna Harahap, dan Surachmin membebaskan Kartini dari semua dakwaan. Tuduhan korupsi terhadap terdakwa dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.

Kaedah hukum yang bisa dipetik dari pertimbangan hakim adalah keuntungan yang diperoleh perusahaan pemenang tender tidak bisa dinilai sebagai hasil korupsi jika dalam memperoleh keuntungan ini perusahaan tak melakukan perbuatan melawan hukum (PMH) atau penyelahgunaan wewenang. Keuntungan 8,2 miliar yang diperoleh perusahaan terdakwa dan perusahaan lain tak bisa disebut kerugian negara kalau tak ada PMH dan penyalahgunaan wewenang. Kalaupun perusahaan terdakwa dinyatakan sebagai pemenang tender, itu sepenuhnya menjadi tanggung jawab panitia.

Namun hakim ketua Artidjo Alkostar mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion). Artidjo berpendapat ada hubungan kausal antara kerugian negara yang timbul dengan persyaratan yang tidak benar dari perusahaan terdakwa saat memasukkan penawaran ke panitia. Kerugian negara juga sejalan dengan laporan audit BPKP per 16 November 2011.

Berdasarkan penelusuran hukumonline, pendapat berbeda juga terjadi di tingkat banding. Dua dari lima anggota majelis tingkat banding Pengadilan Tinggi Tipikor Banda Aceh mengajukan pendapat berbeda.

Pengadaan alkes
Kasus ini bermula saat PT Kamara Idola dinyatakan sebagai pemenang tender proyek pengadaan alat kesehatan (alkes) radiologi berupa MRI 3 TESLA di Rumah Sakit Zainoel Abidin Banda Aceh, 2009 lalu. Panitia pengadaan menyeleksi tiga calon perusahaan pemenang: PT Kamara Idola, PT Ghanna Riffa dan PT Rajawali Nusindo. Setelah melalui serangkaian evaluasi, Panitia Pengadaan mengusulkan Idola sebagai pemenang.

Idola akhirnya mendapatkan proyek bernilai 34,5 miliar rupiah itu. Untuk membeli peralatan, perusahaan meminjam modal dari pengusaha asal Aceh. Belakangan terungkap ada pemalsuan pada syarat Kemampuan Dasar (KD) perusahaan. Idola melampirkan pengalaman mendapat proyek di Kesdam Wirabuana senilai 8,4 miliar, padahal sebenarnya bernilai 3,9 miliar rupiah.

Kartini dan Suriani (Ketua Panitia Pengadaan Barang/Jasa) akhirnya diproses hukum. Jaksa menuduh perbuatan keduanya menyebabkan kerugian negara 8,2 miliar.

Majelis hakim agung berpendapat lain. Kemenangan PT Idola, dalam pandangan majelis kasasi, adalah tanggung jawab Panitia Pengadaan. Kalaupun ada pemalsuan dokumen persyaratan, bukan kewenangan Pengadilan Tipikor untuk membuktikannya. Apalagi Kesdam Wirabuana tak pernah menyebutkan surat keterangan yang dipakai Idola adalah palsu.
Tags:

Berita Terkait