Ketua MK Kritik Pendidikan Hukum yang Hanya Ajarkan Teori
Berita

Ketua MK Kritik Pendidikan Hukum yang Hanya Ajarkan Teori

Seharusnya mahasiswa juga memperoleh materi seputar moral dan integritas.

HAG
Bacaan 2 Menit
Ketua MK Arief Hidayat saat memberikan sambutan pada deklarasi Lembaga Sertifikat Profesi Pendidikan Hukum di Universitas Tarumanegara, Jakarta, Rabu (20/5).. Foto: RES.
Ketua MK Arief Hidayat saat memberikan sambutan pada deklarasi Lembaga Sertifikat Profesi Pendidikan Hukum di Universitas Tarumanegara, Jakarta, Rabu (20/5).. Foto: RES.

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof. Arief Hidayat menyatakan terdapat hubungan antara kondisi hukum Indonesia saat ini dengan pendidikan hukum. Ini disampaikannya saat menyampaikan sambutan dalam deklarasi Lembaga Sertifikat Profesi Pendidikan Hukum di Universitas Tarumanegara, Jakarta, Rabu (20/5).

Dia mempertanyakan dengan kondisi hukum Indonesia saat ini, seperti adanya hakim yang selingkuh ataupun hakim yang menerima suap. Menurutnya, hal tersebut karena pengajaran saat pendidikan hukum hanya berdasarkan, padahal seharusnya diajarkan juga moral dan intergritas.

“Cita-cita hukum di Indonesia itu lebih tinggi dibandingkan dengan cita-cita hukum di negara lain. Sehingga seharusnya saat melakukan pendidikan hukum juga diajarkan integritas dan moral, bukan hanya teknik saja, agar bisa mencapai cita-cita hukum,” ujarnya.

Arief juga mengapresiasi progresifitas yang dilakukan oleh perguruan tinggi swasta. Namun, menurut dia seharusnya Perguruan Tinggi Hukum harus menyamakan kualitas sehingga dapat menghasilkan alumni hukum yang memiliki kualitas yang bagus. Ia menilai selama ini terdapat disparitas mutu pendidikan.

“Ada progesifitas yang dilakukan oleh perguruan tinggi swasta. Mengapresiasi atas inisiatif yang luar biasa. Dalam perkembangannya mendirikan fakultas hukum punya ruko tiga lantai jadi fakultas hukum, berbeda dengan teknik atau kedokteran. Sehingga di Indonesia ada 35 FH negeri hampir 200 lebih FH swasta. Sehingga kita harus menjaga bisa menjaga kualitasnya. Ini yang harus kita jaga, yaitu menjaga kualitasnya. Sehingga dengan pengajar yang berbeda, tetapi dapat menghasilkan alumni dengan mutu kualitas yang sama,” jelasnya.

“Perkembangan yang negative, disparitas mutu lulusan yang luar biasa. Pembelajaran bidang hukum itu sangat bersifat teknokratis, padahal menjalankan hukum perlu moralitas dan integritas. Bagaimana komponennya kalau hanya lulus menguasai hukum pidana atau perdata dan lain-lain itu gampang, tetapi menjalankan hukum hanya teknik saja jadi sekarang ini rusak. Seharusnya dimasukan moralitas, humanisme, filosofis harus dimasukan ke pendidikan tinggi hukum,” tambahnya.

Selain itu, Arife juga mempersoalkan sulitnya menjadi guru besar hukum di Indonesia. Pasalnya untuk menjadi guru besar menyaratkan untuk meng-upload paper di jurnal Internasional. Padahal, tantangan hukum di Indonesia lebih bersifat lokal sehingga menjadi sulit ketika konten lokal diangkat di jurnal Internasional. “Hukum itu tantangan lokalnya banyak, hukum Indoensia dibangun berdasarkan konstitusi Indonesia sehingga berkonten local,” jelasnya.

“Kita kalau berkonten lokal supaya diupload di jurnal internasional sulit. Tapi bidang hukum ada aspek local berdasarkan ideologi atau konten local. Sehingga pada 2 sampai 4 tahun ini menjadi guru besar sangat sulit di Indonesia. Sekarang banyak Doktor Muda yang terhenti karena makalah di jurnal internasional di Indoensia tidak ada. Sehingga ini harus dipikirkan, apakah kita perlu lembaga sendiri walaupun scope nasional tapi mutunya internasional," paparnya.

Namun, saat ini melalui MK, dia sedang mengusahakan agar jurnal MK berstandar internasional sehingga akan membantu para doktor di Indonesia dapat mengupload jurnal Internasional. “Sekarng ini MK baru berusaha menjadikan majalah MK terakreditasi secara internasional. Sehingga ini bisa menjadi sarana untuk menjadi tempat menulis,” jelasnya.

Selain menyatakan harapannya terhadap pendidikan hukum di Indonesia, Areif juga mengulas mengenai hukum Indonesia. Menurutnya, hukum di Indonesia sekarang tidak sesuai dengan cita-cita hukum yang sesungguhnya. Indonesia adalah negara yang mencita-citakan kesejahteraanya lahir dan batin, tetapi bidang hukum belum bisa memberikan kesejahteran lahir batin.

“Indonesia merupakan negara yang berkeTuhanan. Putusan MK atau MA semuanya mendasarkan pada irah-irah. Berarti hukum harus didasarkan oleh sinar Ketuhanan Yang Maha Esa. Tapi sekarang beda, orang yang seharusnya menetapkan tersangka atau memidanakan harus disinari oleh sinar Ketuhanan Yang Maha Esa, kalau sekarang malah dengan gagah berani atau arogan, tidak ada belas kasihan dalam penetapan itu. Mestinya hukum harus dijalankan dengan kasing sayang dan sinar ketuhanan. Hukum Indonesia harus dibangun berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa,” paparnya.

“Di Indonesia ada tiga jenis hakim. Hakim yang masuk surga, ada hakim yang masuk neraka, dan ada hakim yang nerakapun tidak mau menerimanya. Sehingga Hakim mestinya menjalankan hukum berdasarkan ketuhanan tetapi sekarang perkaranya di-jual belikan,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait